HomeNalar PolitikJokowi, Tiongkok, dan Bayangan Nazi

Jokowi, Tiongkok, dan Bayangan Nazi

Seri Pemikiran John Mearsheimer

Kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi salah satu negara dengan pengaruh terbesar di dunia sedikit mengingatkan tentang memori sejarah Jerman Nazi dan Perang Dunia II. Perlukah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia waspada?


PinterPolitik.com

Pada awal Juli 2021 ini, sebuah hari bersejarah di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) diperingati. Tepat pada tanggal 1 Juli 2021, sebuah partai yang berkuasa selama bertahun-tahun di negara itu lahir. Partai itu adalah Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Meski begitu, tanggal kelahiran PKT ini pun disebut kurang tepat oleh sejumlah sejarawan. Sejumlah ahli malah menyatakan bahwa partai yang kini dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu lahir pada tanggal 23 Juli 1921 – bertepatan dengan pelaksanaan Kongres Nasional I PKT.

Terlepas dari itu, 1 Juli hingga kini masih diperingati sebagai kelahiran PKT. Parade dan perayaan besar pun dilaksanakan pada tahun 2021 ini.

Hal yang menarik dari perayaan tersebut ialah pidato yang disampaikan oleh Xi. Dalam sambutannya, politikus yang dulu pernah menjabat sebagai Gubernur Fujian itu menyampaikan sejumlah visi dan kebijakan pemerintahannya.

Dalam beberapa kobaran semangatnya, Xi menyampaikan bahwa negaranya tidak akan mau dirundung lagi oleh negara-negara lain. Bahkan, pemimpin terkuat di PKT tersebut menyebutkan bahwa Tiongkok akan membuat siapa saja yang mengganggu kedaulatannya menyesal.

Ketidakpuasan Xi kepada negara-negara lain yang dianggap sebagai ancaman ini seakan-akan mengangkat kembali memori dari pidato pemimpin Nazi Jerman Adolf Hitler. Pada Januari 1941, Hitler pun berpidato di kegiatan Partai Nazi dan menuding bahwa Britania Raya dan Prancis memiliki niatan buruk untuk mencegah bangkitnya kembali masyarakat Jerman.

Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

100 Tahun Partai Komunis Tiongkok

Kemiripan ini bukan tanpa alasan. Baik Tiongkok maupun Jerman Nazi, keduanya merupakan negara yang tengah mengalami kebangkitan masif. Dua negara ini juga menghadapi kekuatan-kekuatan dominan yang sudah terlebih dulu berdiri kuat, yakni Britania Raya dan Prancis pada awal abad ke-20, serta Amerika Serikat (AS) pada pertengahan abad ke-20 hingga sekarang.

Jika mengacu pada pendapat profesor politik yang bernama John J. Mearsheimer dari University of Chicago, perang besar pun bisa terjadi di antara dua negara adidaya – AS dan Tiongkok – di abad ke-21 layaknya Britania Raya dan Prancis melawan Jerman. Ketegangan antara Naga (Tiongkok) dan Elang (AS) ini juga terus memanas di banyak aspek, mulai dari sengketa wilayah di Laut China Selatan (LCS) hingga perebutan pengaruh dalam penanganan pandemi Covid-19.

Lantas, mungkinkah sejarah  perang besar di masa lampau dapat terulang kembali di masa depan? Bila benar begitu, perlukah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia waspada akan kemungkinan-kemungkinan di masa depan?

Mirip Jerman Nazi?

Tidak hanya pidato-pidato itu saja yang dianggap memiliki kemiripan, asumsi yang sama pun pernah diungkapkan oleh para politisi di Australia. Setidaknya, asumsi soal kemiripan Tiongkok dan Jerman Nazi ini pernah diungkapkan oleh Andrew Hastie – mantan Ketua Komisi Parlemen Australia untuk Intelijen dan Keamanan yang kini menjabat sebagai Asisten Menteri Pertahanan Australia.

Secara strategis, Hastie melihat bahwa Tiongkok bisa saja menjadi ancaman terhadap negaranya. Mirip gagalnya Prancis yang menggunakan Garis Maginot – garis pertahanan di perbatasan antara Italia dan Jerman – dalam menghalau Jerman Nazi pada Perang Dunia II, politikus Australia itu menyebutkan bahwa negaranya boleh jadi terlalu meremehkan Tiongkok yang kini dipimpin oleh Xi.

Asumsi strategis atas kemiripan Tiongkok dan Jerman Nazi ini bukan tidak mungkin tanpa alasan. Secara teoretis, kedua negara ini juga memiliki kemiripan dalam mempengaruhi dinamika politik internasional.

Baca juga :  TAKSI VINFAST VIETNAM

Baik Tiongkok dan Jerman Nazi adalah dua negara yang telah bangkit dalam waktu yang cepat. Dengan kekuatan yang tumbuh besar, bukan tidak mungkin dua negara ini memiliki keinginan lebih – layaknya orang-orang kaya baru (OKB).

Teori yang dapat menjelasakan hal ini adalah teori transisi kekuatan (power transition theory) dari A.F.K. Organski. Pemikir yang dikategorikan sebagai realis dalam Hubungan Internasional (HI) tersebut menilai bahwa negara-negara penantang berpotensi (potential challenger) akan semakin ingin menantang tatanan dunia yang sudah dibangun oleh negara-negara dominan (hegemon) seiring dengan mengecilnya kesenjangan kekuatan di antara mereka.

Dalam sejarah, ada sejumlah negara yang memenuhi kriteria Organski sebagai negara yang berpotensi menjadi penantang. Beberapa di antaranya adalah Jerman Nazi dan AS.

Namun, ada perbedaan di antara kedua negara itu. Kala AS menggantikan Britania Raya sebagai negara hegemon, transisi berjalan tanpa konflik. Sementara, kebangkitan Jerman Nazi justru menimbulkan reaksi berbagai negara yang akhirnya berujung pada Perang Dunia II.

Baca Juga: Mengapa Luhut ‘Sayang’ Tiongkok?

Di titik ini lah, Organski menjelaskan mengapa kemunculan negara penantang bisa menimbulkan konflik. Bila negara penantang tersebut memiliki sejumlah ketidakpuasan (dissatisfaction) dengan tatanan dunia, bukan tidak mungkin konflik akan pecah – seperti apa yang terjadi di Perang Dunia II.

Jerman Nazi, misalnya, memiliki sejumlah ketidakpuasan dengan tatanan dunia yang didominasi oleh Britania Raya dan Prancis. Keluhan ini terlihat jelas dari cara berpikir Hitler dan Nazi yang melihat segala keterpurukan yang dihadapi Jerman adalah hasil dari kekuatan-kekuatan asing, mulai dari dua negara dominan tersebut hingga kelompok komunis dan Yahudi.

Selain itu, Hitler juga kerap menyesalkan perjanjian damai Perang Dunia I yang dinilai banyak merugikan Jerman. Kala itu, negara yang juga memiliki nama Deutschland tersebut diharuskan membayar segala kerugian yang dialami oleh para negara pemenang.

Bukan tidak mungkin, segala keterpurukan yang dialami oleh Jerman ini berseberangan dengan cara pikir Hitler dan Nazi – dikenal sebagai Nazisme. Nazisme sendiri adalah sejenis ideologi fasisme yang menempatkan Jerman sebagai orang-orang yang memiliki supremasi secara komunitas dan rasial – berakar dari gerakan yang disebut Völkisch yang bila diterjemahkan dapat dipahami sebagai bangsa atau masyarakat (folks).

Bila Jerman Nazi memiliki dasar –isme demikian yang menopang ketidakpuasannya, bagaimana dengan Tiongkok di masa kini? Apakah kebangkitan Tiongkok juga memiliki –isme-nya tersendiri?

Kebangkitan Middle Kingdom?

Memori buruk masa lalu yang memengaruhi cara pikir Hitler ini bukan tidak mungkin menjadi salah satu pemicu yang membuat Jerman Nazi merasakan ketidakpuasan yang berujung pada Perang Dunia II. Masalahnya, memori kolektif buruk semacam ini juga dimiliki oleh Tiongkok modern yang kini dikuasai oleh PKT.

Dalam sebuah wawancara, John J. Mearsheimer menjelaskan mengapa Tiongkok dalam ramalannya tidak mungkin hanya tetap diam dan bersikap damai kala menghadapi AS dan negara-negara Barat. Terdapat satu frasa yang disebutkan oleh Mearsheimer kala itu, yakni century of haumiliation (abad penghinaan).

Abad penghinaan ini merujuk pada 100 tahun keterpurukan yang dialami oleh masyarakat Tiongkok pada tahun 1849 hingga 1949 – dari masa Dinasti Qing hingga masa Tiongkok modern. Menariknya, istilah “abad penghinaan” ini menjadi populer pada tahun 1920-an dan 1930-an, yakni kala PKT lahir.

Sebenarnya, tidak hanya PKT saja yang menggunakan istilah tersebut. Istilah itu juga digunakan oleh Partai Nasionalis Tiongkok (Kuomintang) yang menguasai 38 kursi legislatif pada pemilihan umum (Pemilu) 2020 di Republik Tiongkok – atau lebih dikenal sebagai Taiwan.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Baca Juga: Jokowi Riding The Dragon Tiongkok

Amerika AS di Batam

Istilah itu dinilai menggambarkan kebangkitan nasionalisme Tiongkok. Meski Mao Zedong (atau Mao Tse-tung) pernah mengumumkan bahwa abad ini berakhir pada 1949 – kala RRT berdiri dengan berkuasanya PKT, istilah ini kembali diadopsi di abad ke-21 dengan pemerintahan Xi yang kerap menekankan pada kedaulatan dan integritas Tiongkok. Seperti yang diucapkan dalam pidatonya pada peringatan 100 tahun berdirinya PKT pada awal Juli lalu.

Bukan tidak mungkin, mirip seperti Hitler di tengah kebangkitan Jerman Nazi sebagai penantang potensial, Xi kini juga membangkitkan kembali gelombang nasionalisme Tiongkok. Bila mengacu pada teori Organski yang dijelaskan sebelumnya, bisa saja Tiongkok  akan menjadi penantang yang memiliki ketidakpuasan terhadap negara-negara Barat dan Jepang yang dulu membuat Tiongkok menderita di abad penghinaan dengan berbagai peristiwa seperti Perang Opium I (1839-1842), Perang Opium II (1856-1860), hingga Perang Jepang-Tiongkok II (1937-1945).

Apalagi, pemerintah Xi juga dinilai terinspirasi oleh kejayaan Tiongkok di masa lampau yang dulu kerap disebut sebagai Middle Kingdom. Ini juga mengapa Tiongkok kini berusaha menghidupkan kembali Jalur Sutera – baik darat maupun maritim – melalui program pembiayaan infrastrukturnya yang dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR).

Ancaman bagi Jokowi?

Bila benar Xi ingin Tiongkok bangkit seperti di masa lampau, lantas, strategi apa yang perlu dipersiapkan oleh negara-negara Asia lainnya – serta AS dan negara-negara Barat lainnya? Yang jelas, banyak ahli menilai strategi appeasement (penenangan) bukanlah hal yang tepat.

Pasalnya, pemerintah AS sebelum dipimpin Donald Trump lebih menekankan pada strategi penenangan ini – seperti Presiden Barack Obama yang tidak ingin “mengonfrontasi” Tiongkok. Padahal, bila belajar pada sejarah Jerman Nazi yang mendapatkan upaya penenangan dari Britania Raya dan Prancis dulu, Hitler malah tetap haus akan ekspansi meski telah diberi sejumlah konsesi oleh pemerintahan Neville Chamberlain di London, Inggris.

Bila mengacu pada Mearsheimer, strategi penenangan dengan mengakomodasi sejumlah kepentingan lawan seperti ini adalah strategi percuma karena pasti negara tersebut akan menjadi lebih “haus” dibandingkan sebelumnya. Ini sejalan dengan penjelasan di bukunya yang berjudul The Tragedy of Great Power Politics yang menyebutkan bahwa negara-negara akan selalu berusaha mengoptimalkan kekuatannya tanpa henti di tengah anarki – guna meraih hegemoni.

Uniknya, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara melalui Association of South East Asian Nations (ASEAN) kini dinilai berusaha melakukan penenangan terhadap Tiongkok melalui rencana pembahasan code of conduct (CoC) terkait LCS. Apalagi, CoC yang akan mengatur tata laku di LCS ini dinilai bisa menguntungkan Tiongkok – memberikan legitimasi atas klaimnya di wilayah laut yang kaya sumber daya alam tersebut.

Pemerintahan Jokowi melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi bahkan menawarkan diri sebagai tuan rumah pembahasan CoC ini. Terlepas dari peran apa yang akan diambil oleh Indonesia , bukan tidak mungkin Tiongkok akan menginginkan lebih layaknya kesalahan strategi appeasement terhadap Hitler dulu.

Pada intinya, pemerintahan Jokowi bisa saja harus berhati-hati dalam menghadapi sang Naga yang tengah bangkit ini. Alhasil, pemerintahan Jokowi dan ASEAN mau tidak mau harus bertaruh dengan mengundang sang Elang (AS) guna menghalau Naga yang tengah “kelaparan” ini. (A43)

Baca Juga: Saatnya Jokowi “Kelabui” AS-Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?