Belakangan ini timbul isu-isu politik yang menciptakan kebisingan politik. Dua yang paling menonjol adalah isu kudeta Partai Demokrat dan presiden tiga periode. Tidak berlebihan, kebisingan politik tersebut membuat perhatian publik teralihkan dari isu krusial, khususnya pandemi Covid-19. Antara pemerintahan Jokowi atau media, siapa yang patut disalahkan?
“In politics, sometimes noise is useful and serves an effective purpose, and sometimes it’s just noise.” – Ed Rogers, dalam The politics of noise
Cukup menarik, sejak 2019 lalu berbagai survei kandidat capres sudah bermunculan meskipun Pilpres 2024 masih empat tahun lagi. Kendati persoalan itu mudah dipahami sebagai strategi “tes ombak” atau trial balloon, yang bertujuan untuk memetakan persepsi publik. Namun harus diakui, seliweran survei tersebut mendorong diskursus publik berkutat pada the next leader. Imbasnya, perhatian pada kinerja pemerintahan kedua Joko Widodo (Jokowi) menjadi berkurang.
Tidak hanya soal survei kandidat 2024, belakangan ini juga mencuat isu-isu politik yang menarik atensi luas. Pada awal Februari, kita dikejutkan dengan pernyataan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terkait adanya upaya kudeta yang diduga dimotori oleh Kepada Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Setelah terjadi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat, isu upaya kudeta ini semakin meruncing dan membawa-bawa nama pemerintah, tidak terkecuali Presiden Jokowi.
Dan baru-baru ini, diskursus politik publik juga diramaikan dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Meskipun Presiden Jokowi telah melayangkan penolakan resmi melalui berbagai media sosialnya, berbagai pihak nyatanya tetap meramaikan isu ini, mulai dari politisi Partai Gerindra Arief Poyuono hingga Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari yang menggunakan kaos “Jokowi-Prabowo 2024”.
Baca Juga: Di Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY
Mengacu pada mantan konsultan politik Gedung Putih, Amerika Serikat (AS) Ed Rogers dalam tulisannya The politics of noise, isu-isu politik memang lumrah “dimainkan” untuk kepentingan tertentu oleh pemerintah yang tengah berkuasa.
Lantas, jika praktik manajemen isu lumrah dilakukan oleh pemerintah suatu negara, apakah pemerintahan Jokowi harus dijadikan sebagai pesakitan atas kebisingan politik yang terjadi belakangan ini? Atau justru ini adalah fenomena lumrah di tengah geliat bisnis media?
Demokrasi di Persimpangan Jalan
Di sini, mungkin ada yang mempertanyakan, apa pentingnya pertanyaan tersebut? Mungkin ada pula yang memandangnya sinis. Untuk memahami urgensinya, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bagaimana cara common good atau kebaikan bersama dapat terwujud, khususnya dalam politik demokrasi.
Namun, apabila kita melihat realita implementasi demokrasi, pertanyaan yang lebih tepat diajukan adalah, apakah demokrasi dapat menggapai common good tersebut?
Terkait pertanyaan ini, salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama memberikan pengakuan menarik. Dalam buku yang melambungkan namanya The End of History and the Last Man, Fukuyama memberi tesis bahwa demokrasi, tepatnya demokrasi liberal, adalah pemenang dari dialektika sistem politik.
Kendati awalnya sangat optimis dengan kemenangan demokrasi, akhir-akhir ini, Fukuyama justru mempertanyakan apakah demokrasi, khususnya nilai-nilai liberal dapat menjadi jawaban atas kebutuhan politik manusia. Ini misalnya terlihat dalam buku terbarunya, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment.
Jauh sebelum Fukuyama memberikan keraguan, sekitar 400 tahun sebelum masehi, Plato (Platon) telah memberikan kritik terhadap pelaksanaan demokrasi di Athena, Yunani. Van Bryan dalam tulisannya Plato and the Disaster of Democracy mengurai kritik tersebut.
Berbeda dengan berbagai pihak yang melihat kebebasan adalah kemewahan yang diberikan demokrasi, Plato justru memberikan penilaian negatif. Kebebasan justru dilihat memabukkan. Ketika merasakan kebebasan, kita menjadi mabuk karenanya.
Baca Juga: UU ITE Bukan Akar Masalah Kita
Plato bahkan meramalkan masyarakat akan menuntut kebebasan di setiap kesempatan, melawan segala bentuk otoritas dan menuntut lebih banyak kebebasan. Kita akan terobsesi dengan kebebasan dan menjadi rela mengorbankan hal-hal penting, seperti tatanan dan struktur sosial, untuk mencapai kebebasan tersebut.
Kebisingan Politik
Menariknya, kritik Plato diangkat kembali oleh Fukuyama saat ini. Ihwal itu sebenarnya tidak mengejutkan karena Fukuyama menjadikan konsep thumos atau thymos dari Plato dalam buku Republic sebagai jantung dalam pemikiran politiknya. Sederhananya, thymos adalah hasrat untuk diakui oleh orang lain. Masalahnya, thymos tidak hanya menuntut hasrat kesetaraan, melainkan juga hasrat untuk diakui lebih tinggi dari orang lain.
Fukuyama melihat media sosial adalah pengejawantahan atas ramalan Plato terkait kebebasan. Saat ini, masyarakat dimabukkan oleh media sosial karena merasa dapat menulis apa pun yang diinginkannya. Masyarakat tidak lagi peduli dengan keteraturan sosial, melainkan lebih mengejar freedom of expression (kebebasan berekspresi).
Di sistem demokrasi modern, pemerintah sepertinya telah memiliki cara untuk mengatasi rasa mabuk atas kebebasan. Apa yang dilakukan saat ini adalah mengondisikan narasi dan persepsi masyarakat. Ini dikenal sebagai manajemen isu.
Secara filosofis, manajemen isu dapat kita pahami melalui pemikiran filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan psikoanalisis Prancis, Félix Guattari. Marc Roberts dalam tulisannya Capitalism, Psychiatry, and Schizophrenia: A Critical Introduction to Deleuze and Guattari’s Anti-Oedipus, menjelaskan bahwa dalam pemikiran Deleuze dan Guattari, hasrat dipahami sebagai mesin (desiring-machines). Hasrat terus memproduksi secara terus menerus.
Namun menariknya, karena hasrat tidak memiliki identitas tetap atau tujuan yang jelas, hasrat dapat diarahkan atau dikondisikan arah penjalarannya. Contoh, kita memiliki hasrat untuk terus mengonsumsi barang. Hasrat tersebut memang tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikontrol barang apa yang akan dikonsumsi. Caranya sederhana, batasi pilihan barangnya. Ini digunakan dalam strategi marketing.
Dalam pemerintahan demokratis, kontrol hasrat tersebut dilakukan melalui manajemen isu. Untuk menghindari kristalisasi suatu masalah, pemerintah kerap melempar isu baru agar perhatian publik menjadi teralihkan. Ini disebut sebagai strategi red herring.
Baca Juga: Menguak Strategi Jokowi di Ciptaker
Nah yang menjadi masalah bukanlah manajemen isunya, melainkan, seperti yang disebutkan oleh mantan konsultan politik Gedung Putih, Ed Rogers, sering kali pelemparan isu yang dilakukan hanya untuk menciptakan kebisingan politik semata.
Di sini persoalannya menjadi genting, dan menjadi jawaban mengapa dalam beberapa tahun terakhir ini Fukuyama memberi perhatian serius terhadap bahaya media bagi demokrasi. Pertanyaannya sederhana, bagaimana mungkin demokrasi deliberatif dapat terjadi apabila masyarakat disuguhkan oleh kebisingan-kebisingan politik yang membuatnya teralihkan dari isu-isu krusial.
Di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang seharusnya menjadi perhatian bersama, misalnya, perhatian kita justru lebih banyak ke isu kudeta Partai Demokrat yang melibatkan Kepala KSP Moeldoko. Pun begitu dengan isu presiden tiga periode yang beberapa waktu lalu dihembuskan oleh pendiri Partai Ummat, Amien Rais.
Imbas Bisnis Media?
Yang menjadi persoalan adalah, isu-isu semacam itu justru ditanggapi oleh pemerintahan Jokowi, bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri. Tidak heran kemudian masyarakat menjadi semakin tertarik pada isu-isu tersebut.
Konteks ini mungkin adalah pengejawantahan dari pendapat penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari. Dalam wawancara terbarunya bersama Alec Russell, Harari menyebut bahwa masyarakat selalu lebih tertarik pada isu-isu politik daripada isu bencana alam, seperti pandemi.
Yang lebih menarik, Harari menyebutkan pandemi telah berubah dari sebagai bencana alam, menjadi bencana politik atau kesalahan politik.
Poin Harari tersebut sekiranya sangat relevan kita refleksikan saat ini. Di tengah dampak multi-aspek akibat pandemi Covid-19, pemerintahan Jokowi justru menyibukkan diri merespons isu-isu politik. Ada pula kesalahan-kesalahan kebijakan, seperti mempromosikan pariwisata ataupun pernyataan-pernyataan dari pejabat pemerintah yang terkesan underestimate terhadap Covid-19.
Akan tetapi, mungkinkah kebisingan politik yang mengalihkan perhatian publik dari pandemi Covid-19 semata-mata kesalahan pemerintahan Jokowi? Sepertinya tidak.
Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev dalam tulisannya Democracy Dies in Disinformation menyebutkan, untuk menghasilkan uang di internet, media harus mengikuti pasar iklan yang lebih menghargai berita clickbait dan isu polarisasi.
Singkatnya, media berada di posisi dilematis, di mana harus memilih antara memberikan berita yang “apa adanya” atau harus membuat framing berita untuk kepentingan mengejar views. Dengan demikian, kendatipun pemerintah nantinya tidak melakukan manajemen isu, kebisingan politik akan tetap terjadi karena media juga memiliki kepentingan untuk memproduksi isu.
Baca Juga: Jokowi Justru Butuhkan UU ITE?
Dalam buku Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama menjelaskan bahwa negara-negara otoriter seperti Tiongkok dan Rusia melakukan represi ketat terhadap media agar dapat mengontrol arus informasi. Akan tetapi, di negara demokratis seperti Indonesia, strategi semacam itu tentunya akan mendapatkan resistensi kuat dari masyarakat, akademisi, dan oposisi pemerintahan.
Pada akhirnya, kebisingan politik yang kita saksikan belakangan ini tampaknya adalah relasi berkelindan antara kepentingan pemerintah dan media. Selain itu, seperti yang disebutkan oleh Harari, jangan-jangan, kita memang menyukai isu kudeta Partai Demokrat atau presiden tiga periode daripada isu pandemi Covid-19. (R53)