HomeNalar PolitikMuhadjir Afirmasi Represi Pemerintah?

Muhadjir Afirmasi Represi Pemerintah?

Merespons polemik resistensi UU Ciptaker, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebut pemerintah dapat berbalik bertindak keras jika masyarakat terus memberikan tekanan, seperti yang terjadi di Orde Baru (Orba). Lalu, apakah pernyataan ini merupakan pengejawantahan atas sebuah tendensi represif yang sistematis di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini?


PinterPolitik.com

Resistensi terhadap Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) plus bagaimana pemerintah memberikan reaksinya terus memantik interpretasi tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan pemerintahan dan atmosfer demokrasi di Indonesia saat ini.

Tak terkecuali interpretasi yang berangkat dari pernyataan sosok-sosok di pemerintahan itu sendiri, seperti apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy dalam sambutannya di sebuah acara kemarin.

Menurutnya, pemerintah akan berbalik bertindak keras jika masyarakat terus memberikan tekanan, yang mana Ia refleksikan berdasarkan pengalamannya menjadi mahasiswa dan aktivis di era Orde Baru (Orba).

Bagi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu, ketika pihaknya berdemonstrasi dan melakukan gerakan lainnya terkait ketimpangan, pemerintah Orba justru tak peduli. Muhadjir berpendapat bahwa kritik dengan pendekatan yang halus justru akan mendapat perhatian dari pemerintah.

Entah disadari atau tidak, pernyataan Muhadjir itu sendiri sesungguhnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, tampaknya dapat mendefinisikan pula reaksi “keras” yang tercermin pada bagaimana pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam merespon resistensi UU Ciptaker.

Dan ketika membandingkannya dengan Orba, seperti apa yang disampaikan oleh seorang Profesor Ilmu Politik sekaligus Indonesianis asal Ohio State University, R. William Liddle dalam tulisannya yang berjudul Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institutions, sulit kiranya untuk menghindari kecenderungan pengerahan berbagai bentuk tindakan represif atas berbagai kritik terhadap kekuasaan.

Relevansi kekiniannya tentu dapat publik lihat dari bagaimana polemik dan demonstrasi mengenai UU Ciptaker direspons dengan berbagai tindakan bertendensi “keras” terhadap demonstran, jurnalis, hingga tokoh-tokoh yang diasumsikan memperkeruh keadaan.

Amnesty International Indonesia juga telah mendesak aparat untuk menghentikan represi dan penggunaan kekuatan berlebih dalam menghadapi para pengunjuk rasa, berkenaan dengan laporan adanya insiden kekerasan dan penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa serta jurnalis di berbagai kota pekan lalu.

Sementara pada konteks penangkapan sejumlah tokoh dan masih dalam konteks UU Ciptaker, dikatakan oleh anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon merupakan bagian dari upaya untuk melakukan represi terhadap aktivis kritis.

Kecenderungan pengerahan bentuk-bentuk represif di era Presiden Jokowi pun tampaknya dapat terlihat, paling tidak sejak bagaimana pemerintah merespon demonstrasi mahasiswa atas sejumlah regulasi serta protes terkait isu Papua di tahun 2019 lalu.

Lantas, apakah pernyataan Muhadjir sebelumnya dapat dikatakan pula merupakan afirmasi dari karakteristik pemerintahan Presiden Jokowi yang represif seperti halnya di era Orba? Dan jika memang benar demikian, sampai di mana level represi yang sedang terjadi saat ini?

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Represi Hanya Reaksi “Netral”?

Diskursus mengenai state repression atau represi negara yang dapat pula dikatakan sebagai political repression atau represi politik sendiri telah menjadi salah satu kajian dalam ilmu politik terkait konteks bagaimana negara menggunakan kekuatan yang dimilikinya.

Dalam sebuah buku yang berjudul State Repression and the Domestic Democratic Peace, Christian Davenport secara spesifik melihat represi negara dari bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam membatasi kebebasan sipil seperti pelarangan hak politik maupun penyensoran, hingga pelanggaran terhadap hak pribadi seperti penyiksaan dan penghilangan paksa.

Dan dalam mengimplementasikan represi tersebut, Travis B. Curtice dan Brandon Behlendorf dalam Street-level Repression: Protest, Policing, and Dissent menyebut bahwa di banyak negara, aparat keamanan dan penegak hukum selain adalah penjaga keamanan publik, juga merupakan instrumen utama represi negara.

Lebih lanjut Davenport menjelaskan mengapa negara melakukan bentuk-bentuk tindakan represif. Ia menyebut represi yang kebanyakan negara-negara demokratis lakukan di abad-21, berbeda dengan apa yang terjadi di periode saat jamak negara menganut totalitarianisme.

Kini represi dikatakan Davenport cenderung merupakan mekanisme pengaruh yang “netral”, karena memang merupakan sebuah opsi dari banyak strategi yang digunakan negara atau pemerintah atas mereka yang menjadi bagian atau berada dalam tanggung jawab, termasuk kepentingan mereka.

Menggunakan pendekatan rasionalis-strukturalis, Davenport menjelaskan bahwa dalam melaksanakan agendanya, pemerintah memiliki kalkulasi dan pertimbangan tersendiri mengenai kapan dan apakah mereka harus menggunakan cara-cara represi atau tidak, dalam koridor demokratis dan justifikasi konstitusional.

Tendensi represif yang terjadi pada pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, penjabaran tersebut juga agaknya menjadi pisau analisa yang cukup komprehensif bahwasanya represi yang ada hanya merupakan kalkulasi relatif dan tak serta merta menggambarkan karakter absolut negara saat ini.

Kalkulasi dan pertimbangan yang ada dan mengarah pada tendensi represif sendiri tampaknya berasal dari kekuatan politik yang memang dimiliki dan telah dibangun oleh Presiden Jokowi selama ini.

Seperti yang publik ketahui, koalisi politik pemerintah saat ini begitu besar. Hal ini disinggung Liam Gammon dalam Second Thoughts About Jokowi’s Second Term yang menyebut bahwa di periode keduanya, Presiden Jokowi mengakomodasi sebagian besar faksi elite politik hingga kelompok-kelompok sosial.

Selain itu, dalam sebuah tulisan di East Asia Forum mengatakan Presiden Jokowi juga telah membangun hubungan dekat yang unik dengan Kepolisian, di mana entitas ini sendiri merupakan instrumen yang berperan dalam implementasi bentuk-bentuk represif seperti yang Curtice dan Behlendorf katakan sebelumnya.

Oleh karenanya, penggunaan tindakan represif dengan derajat tertentu memang menjadi opsi yang “masuk akal” demi “kelancaran” agenda pemerintahan Presiden Jokowi saat ini jika dilihat dari pendekatan rasionalis-strukturalis yang Davenport kemukakan.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Lantas, jika memang dikatakan memiliki opsi dan kecenderungan melakukan tindakan-tindakan represif, sudah pada level apakah represif tersebut saat ini?

Mengarah Pada State Terrorism?

Bentuk-bentuk represi negara sendiri cukup beragam. Nicholas Kittrie dalam The War Against Authority: From the Crisis of Legitimacy to a New Social Contract menyebut bentuk represi negara dapat termanifestasikan pada pelanggaran HAM, kebrutalan polisi, pemenjaraan, pengekangan hak-hak tertentu, penyiksaan, hingga penghilangan paksa dan hukuman ekstrayudisial bagi para pengkritik pemerintah.

Pada kondisi tertentu, represi negara sendiri dapat bertransformasi dalam hal level kekerasan yang lebih tinggi seperti state terrorism, genosida, hingga kejahatan terhadap kemanusiaan.

Carmel Budiardjo dalam State Terror in Indonesia, Past and Present mencatat sejumlah bentuk represi di Indonesia yang levelnya dinilai telah sampai pada bentuk state terrorism atau teror negara kepada warganya.

Sebagian besar dari ihwal itu sendiri terjadi saat Orba di bawah kepemimpinan Soeharto seperti penembakan misterius (petrus), sejumlah insiden berdarah di Timor Timur hingga insiden Tanjung Priok.

Menariknya, tindakan tersebut tampaknya bertransformasi secara gradual ketika represi negara yang Soeharto lakukan di awal “hanya” sebatas mengekang para pengkritik pemerintah, baik mahasiswa maupun kelompok masyarakat lainnya pada medio 1970-an.

Tanpa mengharapkan eskalasi gradual ke arah yang lebih buruk, namun dengan komparasi tersebut agaknya dapat sedikit tersingkap pada level manakah kecenderungan represi negara yang sejauh ini jamak dikatakan terjadi, terutama setelah aksi-reaksi atas UU Ciptaker.

Dari penjabaran itulah, tendensi represif yang muncul belakangan ini dari pemerintahan di bawah Presiden Jokowi di satu sisi sesungguhnya hanya merupakan cerminan dari kalkulasi relatif yang tak serta merta menggambarkan karakteristik represi sistematis atau absolut maupun mengarah pada state terrorism, seperti yang terjadi pada era Orba dan disiratkan Muhadjir sebelumnya.

Meski dikatakan Davenport menjadi konsekuensi yang cukup logis secara politik, pada hakikatnya bentuk apapun dari represi negara adalah sebuah pelanggaran, utamanya dalam sebuah iklim demokrasi yang positif dan menjunjung tinggi hak asasi setiap anak bangsa.

Frasa “keras” yang Muhadjir katakan juga diharapkan bukan merupakan perbandingan apalagi afirmasi sesungguhnya dari karakteristik pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.

Saat ini tinggal apakah di sisa masa pemerintahannya, Presiden Jokowi akan mengeliminir dan menghilangkan tendensi penggunaan bentuk-bentuk represif yang ada secara konkret, atau justru akan meneruskan dan bahkan meningkatkan skala kecenderungan represi tersebut. Tentu probabilitas pertama lah yang menjadi harapan kita bersama. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?