HomeNalar PolitikMcD-BTS Meal, Jokowi Perlu Waspada?

McD-BTS Meal, Jokowi Perlu Waspada?

Perusahaan waralaba asal Amerika Serikat (AS), McDonald’s (McD), merilis sebuah paket makanan yang berhasil menarik animo sebagian besar masyarakat Indonesia, yakni BTS Meal. Mengapa meal ini dapat menarik banyak perhatian? Mungkinkah ada alasan sosial dan politik di baliknya?


PinterPolitik.com

“Yeah, we’re here for the BTS Meal.” – RM, salah satu anggota BTS

Siapa yang tidak kenal dengan boyband asal Korea Selatan (Korsel) yang bernama Bangtan Sonyeondan atau Bangtan Boys (BTS)? Boyband dengan aliran musik (genre) yang dikenal sebagai Korean Pop (K-Pop) ini telah menjadi fenomena global dalam beberapa tahun terakhir ini.

Betapa tidak, boyband K-Pop satu ini disebut-sebut menjadi salah satu boyband Korsel tersukses dalam sejarah. Selain digemari oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, BTS kini telah memiliki sejumlah lagu berbahasa Inggris dan juga berkolaborasi dengan banyak musisi internasional papan atas yang berasal dari Amerika Serikat (AS) – seperti Halsey, Desiigner, Steve Aoki, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, boyband yang beranggotakan tujuh orang (RM, Jin, J-Hope, Jimin, Suga, V, dan Jungkook) ini juga berhasil meraih pengaruh di luar dunia musik dan hiburan. Dalam beberapa kesempatan, BTS mendapatkan kehormatan untuk berbicara di depan forum-forum resmi internasional, seperti di Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dengan popularitas yang tinggi di berbagai belahan dunia ini, sudah sewajarnya apabila BTS mampu menjadi daya tarik dalam dunia komersial. Mungkin, inilah mengapa akhirnya perusahaan makanan waralaba asal AS, McDonald’s (McD), menggandeng boyband asal Korsel tersebut.

McD akhirnya meluncurkan sebuah paket makanan yang bertemakan BTS dengan bungkus yang unik. Sontak saja, paket yang dijuluki BTS Meal ini mampu menarik animo sebagian besar masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Di Balik Tutupnya McD Sarinah

Ada Apa dengan McD McDonald's

Hal ini terlihat dari bagaimana antrean panjang yang terbentuk di banyak gerai milik McD. Bahkan, saking ramainya, pemerintah setempat dan pemerintah pusat ikut mengkhawatirkan akan adanya potensi penularan Covid-19 di antara konsumen-konsumen McD.

Selain BTS, McD sendiri dinilai telah lama menjadi simbol dan bagian dari budaya AS yang turut tersebar di berbagai negara. Di Indonesia, misalnya, McD telah memiliki sebanyak 227 gerai di banyak kota.

Bukan hanya BTS Meal, berbagai produk makanannya juga telah lama membius masyarakat Indonesia – entah itu ayam goreng, kentang goreng, hingga burger. Tidak jarang, McD merilis produk-produk makanan yang dikaitkan dengan budaya lokal – seperti burger rendang.

Tentu, kehadiran McD bersama BTS Meal-nya ini merupakan fenomena sosial yang menarik. Meski begitu, bukan tidak mungkin fenomena ini juga terkait dengan bagaimana politik berjalan di tingkat internasional.

Mengapa McD dengan BTS Meal-nya ini mampu menarik animo masyarakat di berbagai negara – tidak hanya Indonesia, melainkan juga negara-negara seperti Malaysia? Lantas, apa konsekuensinya terhadap dinamika politik luar negeri Indonesia?

Simbol McWorld?

Fenomena ramainya BTS Meal di Indonesia mungkin tidak bisa dilepaskan dari jaringan global McD sendiri. Bukan rahasia umum lagi bahwa McD kini telah menjadi fenomena budaya asal AS yang telah mendunia dan hadir di berbagai negara.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Bahkan, sejumlah pakar dan pengamat sosio-politik turut tertarik untuk membahas fenomena McD ini. Benjamin Barber, misalnya, menggunakan istilah McWorld untuk menggambarkan adanya gesekan antara dua kelompok di dunia, yakni komersialisasi internasional (globalisme) dan kelompok fundamentalis (retribalisasi) yang dijuluki sebagai kelompok jihad.

Istilah McWorld sendiri kerap digunakan untuk menggambarkan efek globalisasi dari McD yang disebut sebagai McDonaldisasi (McDonaldization). Tentunya, McDonaldisasi ini telah membawa banyak dampak, baik secara ekonomi maupun kultural.

McDonaldisasi ini bisa juga berkaitan dengan apa yang disebut oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree sebagai Golden Arches Theory (Teori Lengkungan Emas) – mengacu pada lambang McD yang terbentuk dari dua lengkungan berwarna emas. Teori ini setidaknya mengatakan bahwa McD telah membawa manfaat ekonomi bagi negara-negara.

Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?https://platform.twitter.com/embed/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH19&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1403010540201562112&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fmcd-bts-meal-jokowi-perlu-waspada&sessionId=1633f671de8062ee8df7122a8f6080acdd23e963&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px

Maka dari itu, dengan kehadiran McD di wilayah mereka, negara-negara tersebut tidak akan pergi berperang satu sama lain. Ini dikarenakan negara-negara tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang terikat satu sama lain.

Oleh sebab itu, negara-negara tersebut akan merasa merugi lebih besar apabila konflik terjadi di antara mereka. Friedman pun yakin bahwa negara akan tidak tertarik berperang setelah menjadi “negara McD” – sebuah negara yang telah memiliki pembangunan ekonomi dan kelas menengah yang cukup kuat untuk mendukung jaringan McD.

Apa yang dijelaskan oleh Friedman ini sejalan dengan pemikiran neoliberalisme dalam Hubungan Internasional, khususnya dalam konsep complex interdependence (ketergantungan kompleks). Konsep ini dikemukakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye.

Kurang lebih, konsep ini menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan koersif akan semakin menurun di antara negara-negara dengan semakin banyaknya interaksi, keterhubungan, dan interdependensi yang terbangung antarnegara. Dengan semakin banyaknya interdependensi – baik dalam bidang ekonomi maupun lainnya, negara-negara akan semakin ingin untuk bekerja sama sekaligus meminimalisir potensi konflik.

Namun, bila benar McD dan unsur globalisasi lainnya – seperti BTS – mampu membuat dunia lebih damai, lantas, apakah mungkin dinamika hubungan antarnegara kini tidak disertai dengan persaingan lagi? Apa sikap yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia?

Jokowi Perlu Waspada?

Meski interdependensi antarnegara turut terbangun melalui McDonaldisasi, bukan berarti hubungan internasional tidak luput dari persaingan antar-kekuatan. Buktinya saja, AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kini menjadi dua negara adidaya yang saling berebut pengaruh secara geopolitik.

Pasalnya, jika mengacu pada berbagi karya John J. Mearsheimer – seorang profesor politik dari University of Chicago – seperti The Tragedy of Great Power Politics, negara-negara akan saling bersaing untuk mencapai status hegemoni di tengah anarki politik internasional. Inilah mengapa interdependensi kompleks tidak selalu menjadi pencegah utama bagi terjadinya persaingan antar-kekuatan besar.

Tentu, bukan berarti perang akan selalu terjadi, melainkan dimensi persaingan bisa terjadi melalui interdependensi yang ada. Geo-ekonomi, misalnya, menjadikan ekonomi sebagai instrumen baru dalam hubungan antarnegara. Penggunaan instrumen ekonomi ini mungkin bisa diamati dari bagaimana AS pada era Presiden Donald J. Trump menggalakkan perang dagang terhadap Tiongkok.

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Lantas, apa hubungannya persaingan antarnegara yang terjadi dalam hubungan AS-Tiongkok dengan fenomena McD dan BTS Meal? Pertanyaan ini menjadi menarik untuk dijawab.

Dengan adanya interdependensi kompleks antarnegara, bukan tidak mungkin persaingan malah terjadi di dimensi-dimensi lain, termasuk dimensi budaya (cultural). Inilah mengapa kekuatan lunak (soft power) menjadi salah satu kekuatan yang patut diperhitungkan dalam politik internasional di abad ke-21 ini.

Konsep kekuatan lunak ini juga dijelaskan oleh Nye dalam bukunya yang berjudul Soft Power. Pada intinya, kekuatan lunak merupakan kemampuan negara A untuk membuat negara B memiliki keinginan yang sama dengan negara A. Sumber kekuatan jenis ini berasal dari budaya, nilai, dan arah kebijakan.

McD, misalnya, bisa dijadikan contoh bagaimana AS memiliki kekuatan lunak yang cukup besar terhadap negara-negara lain. Pasalnya, McD sendiri telah berhasil menjadi unsur budaya yang telah merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dunia.

Baca Juga: Menguak Siasat Kapitalisme Hijau Jokowi

Washington Beijing Memanas Lagi

Selain McD, Korsel disebut juga telah mengembangkan kekuatan lunak yang besar melalui kebudayaannya – seperti K-Pop dan drama Korea (drakor). Gelombang kekuatan lunak ala Korsel ini dikenal sebagai halyu atau bisa diterjemahkan sebagai gelombang Korea.

Kekuatan lunak yang bersumber pada unsur budaya ini bukan tidak mungkin dapat memengaruhi citra dan pengaruh suatu negara di negara penerima. Mearsheimer dalam suatu wawancara pernah menjelaskan bahwa negara yang pintar dapat memanfaatkan kekuatan lunaknya sekaligus bersamaan dengan hard power (kekuatan dan kapabilits militer) yang dimilikinya.

Fenomena ramainya McD dengan BTS Meal-nya bisa jadi menggambarkan bahwa unsur budaya AS dan Korsel cukup diterima baik di Indonesia. Bukan tidak mungkin, kedua negara ini mendapatkan kekuatan lunak yang besar di masyarakat Indonesia.

Namun, dengan besarnya kekuatan lunak AS dan Korsel ini, Indonesia justru harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin, kedua negara yang dikenal sekutu ini memanfaatkan kekuatan lunak ini untuk bersaing dengan negara adidaya lainnya, yakni Tiongkok.

Bila dibandingkan dengan AS dan Korsel, Tiongkok bisa dibilang masih memiliki kekuatan lunak yang minim di kalangan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Produk-produk budaya asal AS dan Korsel – bahkan juga Jepang dengan anime dan manga-nya – jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.

Boleh jadi, dengan kekuatan lunak Tiongkok yang masih minim di Indonesia, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus berhati-hati bila mengambil kebijakan yang dekat dengan Tiongkok. Sentimen buruk atas negara tersebut akan selalu menimbulkan backlash terhadap kerja sama yang disepakati.

Tidak mengherankan apabila Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kerap mengeluhkan sentimen masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok. Bila kekuatan lunak Tiongkok masih minim di Indonesia, bukan tidak mungkin sentimen negatif dan backlash bakal terus-menerus muncul apabila pemerintahan Jokowi dinilai makin dekat dengan negara Tirai Bambu tersebut. (A43)

Baca Juga: Jokowi Kurang Tegas Menghadapi Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?