HomeNalar PolitikRezim Jokowi Kombinasikan Orwellian dan Huxleyan?

Rezim Jokowi Kombinasikan Orwellian dan Huxleyan?

Sejak Pilkada DKI 2017, penggunaan buzzer dalam agenda politik disebut mulai masif. Menariknya, tidak hanya membanjiri media sosial dengan buzzer, berbagai bentuk penyensoran informasi juga disebut dilakukan. Lantas, mungkinkah pemerintahan Jokowi telah menerapkan Orwellian dan Huxleyan sekaligus?


PinterPolitik.com

Democracy is most appealing when expressed as a universalistic value and practice, not as a status marker to join an exclusive club.” Kalimat tersebut adalah simpulan Profesor Ilmu Politik University of Michigan, Dan Slater, dalam tulisan terbarunya yang berjudul In a polarised Asia Pacific, democracy should be a goal, not a club.

Simpulan Slater tersebut membawa kita pada perdebatan radikal terkait, apakah demokrasi merupakan “alat” politik atau sebagai “tujuan” politik? Ngomong-ngomong tentang kata “radikal”, berbeda dalam rezim politik Indonesia yang kerap memahaminya secara peyoratif, kata radikal dalam filsafat adalah kata mulia yang seharusnya dituju.

Kembali pada pertanyaan tersebut, selaku salah satu sistem politik, demokrasi sebenarnya lebih tepat dipahami sebagai alat politik. Dalam artian, demokrasi adalah metode yang digunakan untuk menggapai common good (kebaikan bersama) masyarakat.

Akan tetapi, menimbang pada kebaikan bersama, seperti kebebasan, jauh lebih mungkin digapai melalui demokrasi, maka pernyataan Slater bahwa demokrasi seharusnya menjadi nilai dan praktik universal sepertinya harus menjadi pemahaman umum.

Baca Juga: Demokrasi Perkeruh Situasi Habib Rizieq?

Konteks tersebut juga ditekankan oleh Francis Fukuyama dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right. Dalam simpulannya, Fukuyama sulit membayangkan terdapat ideal lain, selain demokrasi – tepatnya demokrasi liberal – sebagai jawaban atas keberagaman dan kebebasan masyarakat.   

Jika telah bersepakat pada simpulan tersebut, sekarang kita dapat menentukan sikap terhadap laporan The Economist Inteligence Unit (EIU) terkait indeks demokrasi Indonesia pada 2020 yang menurun dari 6,48 menjadi 6,30. Ini adalah yang terendah dalam 14 tahun terakhir.

Mengacu pada demokrasi sebagai tujuan, secara logis dapat dikatakan bahwa penurunan itu menunjukkan kebaikan bersama semakin menjauh. Terkhusus pada indikator kebebasan sipil yang notabene merupakan tujuan utama reformasi, Indonesia justru mencatatkan skor rendah, yakni 5,59.

Tentu pertanyaannya, kira-kira mengapa ini bisa terjadi?

Orwellian: Sensor Informasi

Jika berbicara mengenai kebebasan sipil, di tengah era media sosial saat ini, salah satu aspek vital yang menunjangnya adalah kebebasan berekspresi di media sosial. Akan tetapi, getirnya media sosial justru disebut dibanjiri oleh buzzer politik. Celetukan “hati-hati tukang bakso di depan rumah” sebenarnya adalah indikasi kuat bahwa represi kebebasan di media sosial telah disadari oleh masyarakat luas.

Terkait hal tersebut, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memiliki pandangan menarik. Menurutnya, pemerintah seperti mengombinasikan Orwellian dan Huxleyan dalam melakukan kontrol masyarakat.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Lantas, tepatkah dugaan Fahmi tersebut?  

Terkait Orwellian, istilah itu diambil dari penulis novel Nineteen Eighty-Four (1984), George Orwell yang menggambarkan bagaimana menakutkannya distopia yang terjadi di Negara Imajinasi Oceania.

Orwell mengambarkan mengenai kejahatan pikiran (thoughtcrimes), yakni kondisi di mana negara memonopoli narasi dengan cara memonopoli bahasa. Akibatnya, setiap bahasa yang tidak keluar dari negara dikategorisasi sebagai kejahatan.

Konteks Orwellian ini dapat kita tarik dari pernyataan Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora yang menyebut ada kesan bahwa setiap pernyataan tentang Papua yang tidak berasal dari pemerintah dapat dikategorikan sebagai berita bohong (hoaks) dan dapat dijerat pidana.

Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Orwellian di Papua?

Yang terbaru, publik mungkin menyadari terdapat konten-konten tertentu di media sosial yang tidak boleh diunggah, seperti foto atau berita tentang Habib Rizieq Shihab (HRS). Konten-konten terkait HRS di Instagram misalnya, banyak diturunkan sepihak oleh pihak Instagram dengan alasan melanggar kebijakan komunitas lokal.  

Lalu, publik juga tentu ingat dengan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate yang menyebut jika pemerintah telah tetapkan suatu informasi sebagai hoaks, maka itu adalah hoaks, sehingga tidak perlu dibantah lagi.

Huxleyan: Buzzer Politik

Sedangkan Huxleyan adalah istilah yang diambil dari penulis novel Brave New World (BNW), Aldous Huxley. Sama halnya dengan 1984, BNW juga menyajikan distopia atas bagaimana negara mengontrol warga negaranya secara total.

Namun bedanya, jika dalam 1984, Orwell menyajikan sosok negara yang merampas informasi sehingga menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh rasa takut dan kebencian. Di dalam BNW, Huxley menyajikan sosok negara dengan kemajuan teknologi yang justru membanjiri informasi.

Banjir informasi digunakan untuk menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh kenikmatan (pleasure) dan ketidaktahuan.

Melalui tumpahan informasi, akan tercipta disinformasi masif yang membuat masyarakat tidak mampu membedakan mana informasi yang semestinya dipercaya. Konsekuensinya, itu melahirkan kondisi masyarakat yang justru tak acuh terhadap informasi – menjadi pasif dan cenderung egois.

Fenomena buzzer politik yang membanjiri media sosial saat ini jamak disebut sebagai pengejawantahan Huxleyan, di mana kontrol dilakukan dengan cara membanjiri informasi.

Baca Juga: Buzzer Pro-Pemerintah, Penerapan Huxleyan?

Kate Lamb dalam tulisannya ‘I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories menyebutkan buzzer politik di Indonesia mulai masif digunakan sejak Pilkada DKI 2017. Lamb menyebut baik kubu pro dan kontra Ahok sama-sama menggunakan buzzer sebagai senjata politik.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Di kubu kontra, ada Muslim Cyber Army (MCA) yang menggunakan ratusan akun palsu dan anonim untuk menyebarkan konten rasis agar Ahok tidak dipilih. Sementara di kubu pro Ahok, Lamb mencontohkan salah satu tim buzzer yang diketuai Alex, yang dibayar sekitar US$ 280 per bulan untuk mengunggah 60-120 kali konten dalam sehari di berbagai akun media sosial palsu mereka.

Sejak saat itu, seperti di Pilpres 2019, penggunaan buzzer tampaknya telah menjadi strategi lumrah. Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dalam penelitiannya The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, bahkan menyebutkan bahwa fenomena manipulasi persepsi publik melalui media sosial – buzzer – telah masif terjadi di 70 negara.

Lebih spesifik, peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Rinaldi Camil juga menegaskan bahwa buzzer untuk kepentingan politik praktis memang lazim digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik.

Demokrasi Diterkam Media Sosial?

Di titik ini, dugaan bahwa pemerintah mengombinasikan Orwellian dan Huxleyan mungkin dapat diafirmasi. Akan tetapi, pemerintah memang tidak dapat menjadi satu-satunya pesakitan atas persoalan ini. Pasalnya, fenomena buzzer politik juga merupakan strategi yang digunakan oleh oposisi.

Pada 25 Oktober 2020 lalu, misalnya, politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menyebutkan bahwa media sosial telah didominasi oleh oposisi pemerintah. Konteks itu kemudian membuat masyarakat mudah mengkritik dan memandang buruk laju pemerintahan karena narasi yang ada didominasi oleh oposisi.

Selain itu, mengacu pada Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, perkembangan teknologi informasi, seperti media sosial memang menjadi salah satu faktor kemunduran demokrasi saat ini. Pasalnya, media sosial telah menjadi wadah untuk menguatkan politik identitas, serta menghilangkan batas-batas kesopanan dalam berekspresi.

Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev dalam tulisannya Democracy Dies in Disinformation bahkan menyebutkan bahwa media sosial seperti menjadi tempat peluapan amarah dan memberikan panggung bagi kelompok non-demokratis, seperti ekstremis dan populis untuk membuat propaganda.

Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?

Mengacu pada dampak destruktif media sosial terhadap demokrasi, penyensoran dan pembanjiran informasi, tampaknya dapat pahami sebagai respons atas hal tersebut. Bagaimana pun juga, jika tidak bergerak, pemerintah akan kalah dalam perang wacana dengan kelompok oposisi, atau bahkan dengan  kelompok non-demokratis jika tidak mengondisikan media sosial.

Akan tetapi, tentu penekanannya bukan pada pelumrahan tersebut, melainkan pada bagaimana pemerintah tidak terlena dalam menggunakan media sosial sebagai alat penjaga status quo semata. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...