Sejak kemunculannya, cryptocurrency seperti Bitcoin telah menjadi perbincangan global terkait potensinya dalam menantang sistem keuangan saat ini. Ada pula yang menyebutnya sebagai bentuk radikal dari liberalisasi sistem keuangan. Dengan meningkat drastisnya harga Bitcoin karena dibeli Tesla baru-baru ini, bagaimana seharusnya Presiden Jokowi menyikapi persoalan ini?
Harga Bitcoin terus merangsek naik. Terbaru, harganya bahkan telah menyentuh angka Rp 650 juta per koin. Harganya melonjak 20 persen setelah Tesla membeli Bitcoin sebesar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
Menariknya, selain Tesla, perusahaan-perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa saham global juga tengah ramai-ramai berinvestasi di cryptocurrency (mata uang digital). Mulai dari Silvergate Capital (Bank Kanada), Mogo (fintech Kanada), Microstrategy (perusahaan IT), PayPal (pembayaran digital), Square (pembayaran digital), dan Galaxy Holdings (perusahaan investasi).
Fenomena ini tentu menarik. Pasalnya, di awal kemunculan cryptocurrency, berbagai ekonom menyebutnya sebagai bentuk liberalisasi pasar keuangan. Pembuatannya juga disebut sebagai respons atas krisis ekonomi global 2008 yang menunjukkan sistem keuangan global ternyata cukup rapuh.
Di Indonesia, dan juga negara-negara lainnya, penggunaan cryptocurrency sebagai alat tukar juga belum diperbolehkan. Respons Tiongkok bahkan lebih menarik. Tidak hanya melarang transaksi menggunakan Bitcoin, negeri Tirai Bambu ini bahkan membuat mata uang digitalnya sendiri, yakni Yuan digital.
Tentu menjadi pertanyaan sendiri, apakah respons berbagai pemerintahan negara atas perkembangan cryptocurrency didasari atas pertimbangan ekonomi semata, atau justru terdapat intrik politik di baliknya. Lalu, bagaimana seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons hal ini?
Pelebaran Fungsi Uang
Dalam buku yang berjudul Freakonomics: A Rogue Economist Explores the Hidden Side of Everything, Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner memperlihat kemampuan menarik dari uang. Pada bab yang berjudul What Do Schoolteachers and Sumo Wrestlers Have in Common?, diceritakan peristiwa menarik yang terjadi di suatu pusat penitipan anak di Haifa, Israel.
Di tempat tersebut terdapat kebijakan agar anak yang dititipkan harus dijemput paling lambat pada pukul 4 sore. Namun, karena hampir semua orang tua kerap terlambat menjemput anaknya, kebijakan pemberian denda sebesar US$ 3 (sekitar Rp 43 ribu) jika terlambat menjembut lebih dari 10 menit kemudian diterapkan. Menariknya, alih-alih menciptakan efek jera, denda sebesar US$ 380 (sekitar Rp 5,5 juta) per orang tua justru didapatkan di akhir bulan.
Peristiwa itu menjadi pembuktian tesis sosiolog Jerman Georg Simmel bahwa uang ekuivalen dengan nilai-nilai personal. Maksudnya, peristiwa itu menunjukkan bahwa membayar denda adalah trade off dari perasaan bersalah orang tua karena terlambat menjemput anaknya.
Dalam perkembangannya, fungsi uang memang mengalami transformasi. Dari awalnya hanya sekadar alat tukar, kemudian menjadi trade off emosi seperti kasus tempat penitipan anak di Israel. Lalu, uang bahkan menjadi simbol dan pengukuhan kekuasaan negara.
Pada persoalan simbol politik, kita dapat melihat contoh terbarunya pada uang Rp 75 ribu yang dikeluarkan dalam rangka memperingati HUT ke-75 RI. Menariknya, dalam uang tersebut tidak hanya terdapat budaya dan tokoh pahlawan nasional, melainkan juga gambar infrastruktur yang dibangun di pemerintahan Jokowi, yakni Tol Trans-Jawa, jembatan Youtefa Papua, dan Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta.
Mengacu pada Andrew Champagne dalam tulisannya At the Intersection of Place Branding and Political Branding yang menjelaskan tentang pentingnya gambar dalam cetakan uang, itu dapat membantu kita memahami bahwa gambar infrastruktur tersebut dapat dibaca sebagai pesan bahwa pemerintahan Jokowi telah sukses membangun infrastruktur.
Baca Juga: Jokowi dan Politik Uang Rp 75 Ribu
Lalu terkait pengukuhan kekuasaan negara, konteks tersebut yang tampaknya sedang ditantang oleh kehadiran cryptocurrency, seperti Bitcoin.
Verdy Septian Nugraha dalam penelitiannya Revitalisasi Sistem Keuangan Liberal: Afirmasi Cryptocurrency Melalui Konsep Tatanan Spontan F.A. Hayek menyebutkan bahwa cryptocurrency yang tidak terikat oleh otoritas negara manapun telah mengembalikan uang sebagai alat tukar yang nilainya ditentukan berdasarkan pasar bebas.
Menurut Verdy, uang saat ini, yakni fiat money (uang fiat/uang kertas) adalah alat tukar yang menunjukkan kekuasaan negara. Pasalnya, masyarakat secara “terpaksa” harus mengakui mata uang yang ditetapkan negara, seperti Rupiah, Dollar, Yuan, Euro, dan seterusnya.
Dalam penentuan nilai, terdapat intervensi negara, negara lain, dan juga lembaga internasional. Menariknya, nilai uang juga menjadi simbol kekuasaan suatu negara terhadap negara lainnya. Misalnya, satu Dollar Amerika Serikat (AS) sama dengan Rp 14 ribu. Itu menunjukkan kekuasan politik dan ekonomi AS lebih tinggi dari Indonesia.
Nah, dengan cryptocurrency yang tidak terikat oleh otoritas negara manapun dan transaksinya bersifat anonim karena menggunakan sistem blockchain, cryptocurrency dapat dibaca sebagai penantang atas sistem keuangan global saat ini.
Pasalnya, kedua hal tersebut membuat negara ataupun lembaga internasional tidak memiliki kesempatan untuk melakukan intervensi terhadap nilai dan transasksi cryptocurrency, terkecuali regulasi hukum terkait legalitas penggunaannya.
Big Tech akan Berkuasa?
Di titik ini, kita tentu telah memahami mengapa berbagai pemerintahan negara tidak memperbolehkan, bahkan melarang transaksi menggunakan cryptocurrency. Itu bukanlah alasan ekonomi semata, seperti cryptocurrency yang secara teknis memang tidak bisa menggantikan uang fiat karena peredarannya yang terbatas.
Bitcoin misalnya, hanya dikeluarkan sebanyak 21 juta keping. Artinya, nilainya tergantung atas seberapa besar minat pembeli dan investor yang masuk. Ini kerap disebut sebagai greater fool theory, yakni nilai atau harga suatu objek (komoditas) ditentukan bukan oleh nilai intrinsiknya, melainkan oleh permintaan lokal dan relatif dari konsumennya.
Nilai cryptocurrency tergantung atas seberapa besar konsumen menaksir harganya. Contoh sederhananya seperti penjualan barang antik. Nilai suatu barang antik sangat ditentukan oleh minat dan seberapa besar pembeli menaksir harganya.
Dalam penelitiannya, Verdy menyebutkan bahwa cryptocurrency telah mengembalikan cara kerja penentuan nilai uang seperti sebelum adanya uang fiat, yakni nilainya bergantung atas konsensus individu.
Nah sekarang pertanyaannya, mengapa perusahaan-perusahaan besar, yang notabene merupakan Big Tech ramai-ramai membeli cryptocurrency baru-baru ini? Lalu, mengapa Tiongkok sampai membuat Yuan digital sebagai respons atas cryptocurrency?
Ryan Browne dalam tulisannya Europe tries to set the global narrative on regulating Big Tech menyebutkan fakta menarik bahwa Uni Eropa ternyata memiliki usaha untuk membuat regulasi terhadap Big Tech, seperti Google. Pasalnya, perkembangan Big Tech ternyata juga melahirkan ketakutan tersendiri karena kemampuannya dalam melakukan monopoli.
Tidak hanya pengaruh di ekonomi, Big Tech seperti Google, Twitter, dan Facebook bahkan seperti merasa memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi politik. Kasus pemblokiran permanen akun Twitter mantan Presiden AS Donald Trump, misalnya, menjadi indikasi kuat bahwa raksasa media sosial benar-benar begitu berpengaruh.
Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?
Sekarang coba bayangkan, bagaimana jika setiap sendi transaksi global berhubungan dengan Big Tech? Apa yang terjadi? Mereka tidak hanya memiliki kekuatan ekonomi, melainkan juga pengaruh politik yang luar biasa.
Lalu, bagaimana jika Big Tech tersebut menggunakan cryptocurrency sebagai alat transaksinya? Apa yang terjadi? Sistem keuangan global saat ini dapat lumpuh dan digantikan oleh Big Tech. Alasannya sederhana, karena negara dan lembaga internasional tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap nilai dan transaksi uang yang terjadi.
Kendati mungkin terkesan terlalu berlebihan, kemungkinan terburuk semacam itu tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Di sini, berbagai pemerintahan negara, termasuk pemerintahan Jokowi tampaknya perlu menerapkan “paranoia konstruktif” seperti yang dijelaskan oleh Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday.
Paranoia konstruktif sendiri adalah ketakutan yang membuat seseorang menjadi awas dan mengantisipasi berbagai potensi ancaman.
Berbeda dengan Verdy yang melihat cryptocurrency sebagai perwujudan kebebasan ekonomi, Big Tech yang mengadopsi cryptocurrency tampaknya dapat menjadi antitesis atas simpulan tersebut. Pasalnya, kebebasan ekonomi akan sulit terwujud karena Big Tech yang menggunakan cryptocurrency menjadi pemain dominan dalam ekonomi dunia.
Kita lihat saja bagaimana langkah pemerintah Jokowi dalam menyikapi hal ini. Apakah akan memberikannya karpet merah, atau justru berupaya untuk membuat regulasi seperti yang diusahakan oleh Uni Eropa. (R53)