Publik kembali dihebohkan dengan kasus korupsi setelah Bupati Probolinggo dan sang suami Hasan Aminuddin terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Mendagri Tito Karnavian menyebut sulit Kepala Daerah tidak korupsi karena gaji plus tunjangan tidak dapat menutup biaya kampanye. Jika demikian, apakah masalah korupsi dapat ditangani?
“Corruption is like a ball of snow, once it’s set a rolling it must increase.” – Charles Caleb Colton, penulis Inggris
Terkait kasus korupsi Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, ada komentar menarik dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada 31 Agustus kemarin. Menurutnya, selain karena keserakahan (greedy), korupsi juga terjadi karena merupakan kebutuhan (need).
Konteks need ini sangat menarik. Pasalnya, menurut Tito, dapat dikatakan sulit Kepala Daerah tidak korupsi karena gaji plus tunjangannya tidak mencukupi untuk menutup biaya politik yang sangat mahal.
Pada Maret 2018 lalu, saat masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Tito juga pernah menyarankan agar sistem pemilu langsung di Pilkada dikaji ulang karena memiliki banyak dampak negatif, khususnya terkait tingginya biaya politik yang sangat rentan memancing perilaku koruptif. Tegasnya, biaya politik yang ditanggung jauh di atas gaji yang diterima.
Setelah menjadi Mendagri, tepatnya pada 6 November 2019, Tito kembali menegaskan hal serupa. Bahkan lebih lugas, Ia menyebut tidak mungkin pejabat daerah mau mengabdi kepada nusa dan bangsa jika mereka mengalami kerugian.
Tito mencontohkan, biaya yang harus dikeluarkan untuk maju menjadi Bupati dapat mencapai Rp 30-50 miliar. Sedangkan gaji yang diperoleh selama lima tahun tidak lebih dari Rp 12 miliar. Tentunya ini membuat Bupati akan mencari pendapatan tambahan, seperti melakukan korupsi.
Baca Juga: Menebak Tito Hapus Pilkada Langsung?
Pada Februari 2018, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang, Ahmad Rofiq juga mengeluarkan argumentasi serupa. Dengan gaji Gubernur sebesar Rp 15 juta sebulan, secara matematis tidak mungkin dapat menutup biaya politik yang kisarannya dapat mencapai Rp 350 miliar.
Selain itu, bahkan sebelum berlaga, kandidat juga disebut perlu membayar mahar ke partai politik (parpol) agar mendapat rekomendasi. Pada Januari 2018, misalnya, kita menyaksikan perselisihan La Nyalla Mattalitti dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto karena polemik mahar politik sebesar Rp 40 miliar.
Lantas, jika cost politik demikian tinggi, apakah kesalahan semata-mata berada pada partai politik?
Habituasi Masyarakat
Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru memberikan penjelasan menarik terkait persoalan ini. Menurutnya, sejak jatuhnya rezim Orde Baru (Orba), masifnya kemunculan parpol justru menjadi preseden kuat atas lahirnya budaya politik uang sebagai strategi pemilu.
Menariknya, budaya tersebut tidak hanya terbentuk dalam iklim parpol, melainkan juga di tengah masyarakat. Menurut Muhtadi, politik uang menjadi lingkaran setan yang tidak terputus karena praktik ini tengah mengubah habituasi dan persepsi masyarakat dengan memahami pemilu mestilah berisi praktik semacam itu. Oleh karenanya, masyarakat tidak hanya memandang lumrah, melainkan juga menanti praktik tersebut.
Christian A. Klöckner dan Sunita Prugsamatz dalam tulisannya Habits as Barriers to Changing Behaviour menyebutkan, habituasi atau kebiasaan memegang peranan yang besar dalam membentuk tingkah laku dan juga turut menjadi pengambil keputusan otomatis.
Jika benar praktik politik uang telah menjadi habituasi di tengah masyarakat, seperti penegasan Klöckner dan Prugsamatz, persoalan ini sekiranya akan begitu sulit untuk diubah. Lagipula, berapa banyak orang yang akan menolak ketika diberikan uang?
Baca Juga: Juliari, Saatnya Bubarkan Parpol?
M. Arief Virgy dalam tulisannya Perburuan Rente Hantui Pilkada? menyebutkan, alasan dimakluminya praktik politik uang karena masyarakat masih berkutat pada masalah ekonomi. Ini membuat mereka mengambil keputusan pragmatis, alih-alih menjadi pemilih rasional.
Virgy juga mengutip temuan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, di mana satu persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Tidak heran kemudian peringkat kesenjangan Indonesia menempati posisi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.
Konteks kesenjangan dan kekayaan yang terpusat ini menjadi jawaban atas temuan Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia.
Tegas mereka, faktor penting mengapa praktik politik uang dan transaksional mengakar kuat karena oligarki telah menjadi pemasok dana bagi para calon kepala daerah yang maju di Pilkada. Dana tersebut diberikan untuk melakukan kontrol ekonomi dan kebijakan politik.
Pada 12 September 2020, Menko Polhukam Mahfud MD juga menegaskan hal serupa. Tuturnya, 92 persen calon yang bertarung di Pilkada dibiayai oleh pengusaha besar selaku pemilik modal yang disebutnya sebagai cukong.
Tiga Solusi
Dr. Wim Tangkilisan dalam disertasinya Jaminan Kepastian Hukum Atas Keamanan Penyimpanan Data KTP Elektronik pada Cloud Storage dan Ancaman Penyalahgunaannya dalam Konstelasi Pemilu di Indonesia, menggunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman untuk menjelaskan mengapa cost pemilu begitu tinggi.
Friedman menyebut hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum adalah peraturan tertulis, struktur hukum adalah aparat dan institusi penegak hukum, dan budaya hukum adalah respons atau kebiasaan masyarakat dalam menyikapi suatu hukum.
Dalam teorinya, Friedman melihat hukum sebagai suatu sistem. Artinya, penegakan hukum akan sulit terjadi apabila ketiga komponen tersebut tidak saling menunjang.
Menurut Dr. Wim Tangkilisan, terdapat masalah di tiga komponen hukum dalam pemilu. Pertama, ada substansi hukum yang bertentangan, khususnya antara Pasal 260 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Dalam UU Adminduk, terdapat ancaman pidana dan denda terhadap setiap orang yang melakukan pencurian, pemalsuan, dan penggandaan atau cloning data kependudukan dalam KTP-el. Namun dalam UU Pemilihan Umum, persoalan tersebut justru tidak disebut demikian.
Kedua, ada persoalan di lembaga penegak hukum. Merujuk pada Peraturan Bawaslu No. 13/2018 tentang Sentra Penegakkan Hukum Terpadu, Sentra Gakkumdu merupakan pusat dari kegiatan penegakan hukum terkait tindak pidana pemilu yang terdiri dari unsur Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan Agung. Menurut Wim, dalam pelaksanaannya, perkara pemilu justru kerap terhenti di Sentra Gakkumdu itu sendiri.
Ketiga, ada masalah pada aspek budaya hukum masyarakat. Karena lemahnya penegakan hukum, ini mengakibatkan kolusi dan suap-menyuap menjadi terbudaya di tengah masyarakat. Penegasan ini sama dengan penjelasan sebelumnya, di mana politik uang telah menjadi habituasi masyarakat.
Tegas Wim, karena ketiga komponen hukum tersebut bermasalah, tidak heran kemudian terjadi masalah berulang di pemilu, seperti sengketa, dugaan penggandaan suara, hingga politik uang.
Baca Juga: Kecurangan Bayangi Pilpres 2024?
Sebagai kesimpulan, untuk menjawab bagaimana menjawab masalah korupsi, khususnya yang dilakukan oleh Kepala Daerah, sekiranya ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, selesaikan masalah kemandirian finansial partai politik agar mahar tidak perlu diberikan oleh kandidat. Ini dapat dilakukan dengan merevisi Pasal 40 Ayat 4 UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, agar parpol diizinkan untuk mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Jika tidak ingin merevisi, maka negara harus mengambil langkah konsekuen dengan membiayai partai politik.
Kedua, kesenjangan ekonomi masyarakat harus menjadi perhatian serius. Tentu naif mengharapkan masyarakat menjadi pemilih rasional dan menolak pemberian uang ketika pemilu, apabila masyarakat masih berkutat pada masalah perut.
Ketiga, seperti penegasan Dr. Wim Tangkilisan, harus ada perbaikan pada aspek penegakan hukum dan pertentangan peraturan hukum agar kolusi yang telah terbudaya maupun masalah-masalah pemilu lainnya dapat ditangani.
Kita lihat saja, apakah ketiga saran tersebut dapat menjadi pertimbangan atau tidak. (R53)