Berbagai pihak mulai membandingkan PDIP dengan Partai Demokrat di periode keduanya. Dengan berbagai kasus rasuah yang menjerat PDIP, apakah itu membuatnya jatuh seperti halnya Partai Demokrat. Namun, dengan hubungan dekat dengan NU, apakah itu modal berharga PDIP untuk tetap berkuasa di 2024?
Di tengah terpaan berbagai kasus rasuah serta meningkatnya sentimen minor publik terhadap PDIP, berbagai pihak mulai mempertanyakan apakah partai banteng dapat mempertahankan singgasananya di 2024 nanti. Pasalnya, kondisi PDIP saat ini terlihat mengalami sindrom atau gejala yang sama dengan Partai Demokrat di periode kedua kekuasaannya.
Saat itu, berbagai kader Partai Demokrat – termasuk kader utama – terjerat kasus rasuah, yang disebut membuat memengaruhi elektabilitas partai mercedes.
Ini juga dikemukakan oleh politisi Partai Demokrat Jemmy Setiawan dalam tulisannya Pemberantasan Korupsi di era SBY Tercatat Paling Progresif di Dunia. Menurutnya, terkuaknya kasus-kasus korupsi yang menjerat kader Demokrat telah membuat elektabilitas Partai Demokrat mencapai titik terendah.
Lalu, ada pula persoalan regenerasi karena sulitnya menemukan sosok pengganti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anehnya lagi, Partai Demokrat yang memeroleh 20,85 persen suara di Pemilu 2009 justru gagal mengusulkan nama capres atau cawapres di Pilpres 2014.
Sama dengan PDIP, saat ini partai banteng juga didera oleh berbagai kasus rasuah. Mulai dari kasus Harun Masiku pada awal tahun 2020, banyaknya kepala daerah dari PDIP yang digelandang KPK, hingga korupsi bansos Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Menimbang pada saat ini negara telah mengalami kondisi sulit akibat pandemi Covid-19, korupsi terakhir bahkan membuat warganet sampai mengeluarkan wacana pembubaran PDIP.
Baca Juga: Madam Bansos, Mungkinkah PDIP Dibubarkan?
Sama dengan kasus SBY, saat ini PDIP juga tampaknya masih kesulitan dalam menemukan siapa sosok yang mampu menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum. Berbagai pengesahan produk hukum, seperti Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja juga disebut telah mencoreng nama PDIP sebagai partai wong cilik, dan sekarang lekat dengan pelabelan oligarki.
Lantas, seperti yang dikemukakan oleh filsuf Italia Vilfredo Pareto tentang sirkulasi elite, mungkinkah PDIP akan mengulangi kejatuhan Partai Demokrat?
NU adalah Kunci?
Terkait kejatuhan suara Partai Demokrat di Pemilu 2014 (dari 20,85 persen menjadi 9,43 persen), pemerhati politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti memiliki analisis yang begitu menarik. Menurutnya, kejatuhan tersebut terjadi karena massa Nahdliyin kembali mendukung PKB.
Simpulan Ikrar Nusa Bakti juga sejalan dengan temuan Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap. Menurut Asissten Profesor Australian National University ini, terdapat perbandingan lurus antara dukungan NU dengan jumlah suara yang diperoleh PKB di Pemilu.
Ketika NU mulai mendukung PKB di Pemilu 1999 dan 2004, misalnya, PKB mendapatkan jumlah suara yang lebih banyak dari partai politik Islam lainnya, yakni 12,6 persen di Pemilu 1999, dan 10,6 persen di Pemilu 2004. Ketika relasi keduanya mengendur, pada Pemilu 2009, suara PKB turun drastis menjadi 4,94 persen.
Di sini, Fealy melihat peran vital Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam mengeratkan kembali hubungan partainya dengan NU. Sebagai hasilnya, suara PKB melejit menjadi 9,04 persen di Pemilu 2014 dan 9,69 persen di Pemilu 2019.
Namun menariknya, ternyata bukan PKB yang menjadi tempat pelabuhan utama massa Nahdliyin, melainkan PDIP. Pada Pemilu 2014, peneliti senior Indikator, Kuskrido Ambardi menyebutkan bahwa PKB ternyata hanya menempati peringkat ketiga dari partai politik yang dipilih massa Nahdliyin. Persentase 11 persen PKB masih di bawah PDIP dan Partai Golkar dengan persentase masing-masing 14 dan 12 persen.
Baca Juga: PDIP-NU Makin Mesra?
Jika temuan Kuskrido Ambardi tersebut tepat, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor utama yang membuat suara PDIP terus tinggi karena memiliki kedekatan dengan massa Nahdliyin atau NU di akar rumput. Simpulan ini misalnya dapat kita temukan bukti empiris pada Pilkada edisi 2020.
Pada 31 Januari 2021, Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) – sayap organisasi PDIP – Zuhairi Misrawi (Gus Mis) menuturkan fakta menarik bahwa 109 kepala daerah yang diusung PDIP ternyata merupakan kader NU. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dari partai politik lainnya.
Dalam ajang Pilpres 2004 lalu, Megawati Soekarnoputri juga menggandeng mantan Ketua Umum PBNU, Ahmad Hasyim Muzadi sebagai pasangannya.
Kedekatan PDIP dengan NU sebenarnya dapat dilacak sejak era kepemimpinan Soekarno. Dalam penuturan Gus Mis, misalnya, kiai-kiai NU disebut memberikan dukungan penuh kepada Soekarno dalam menegakkan Pancasila. Sampai saat ini, ulama NU juga merupakan garda terdepan dalam mendukung Pancasila sebagai norma persatuan.
Tetap Berjaya?
Sedikit mengulas sejarah pra kemerdekaan, PDIP mungkin dapat disebut tengah belajar dari kesalahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pasalnya, terdapat analisis yang menyebutkan bahwa awal perlawanan pribumi terhadap VOC terjadi ketika korporasi raksasa asal Belanda itu berani menyentuh ranah agama.
Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila menyebutkan, selama hampir 200 tahun (sekitar tahun 1602-1800), VOC tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri persoalan keagaman dan institusi tradisional kaum pribumi.
Dalam perkembangannya, ketegangan tercipta setelah pemerintah kolonial menerapkan kebijakan sekuler guna melumpuhkan potensi-potensi perlawanan yang berbasis keagamaan, khususnya Islam. Pada tahun 1810, misalnya, Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels mengeluarkan sebuah dekrit yang mengharuskan kiai untuk memiliki izin perjalanan di dalam negeri Hindia.
Namun, asumsi dicampurinya urusan peribadatan Islam sebagai awal perlawan, sebenarnya sangat mudah dipahami secara politik. Pasalnya, saat itu agama Islam telah menjadi kelompok mayoritas. Ceritanya mungkin berbeda apabila VOC mengusik agama atau kepercayaan minoritas. Dengan kata lain, perlawanan sebenarnya terjadi karena VOC telah mengusik kepercayaan mayoritas.
Dalam simpulan bahwa PDIP mungkin belajar dari VOC, mungkin ada yang membantahnya dengan menyebut hubungan partai banteng dengan kelompok Islam tidak harmonis dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak Ahok naik menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Bantahan itu mungkin benar, namun, apabila dirinci, perseteruan PDIP dengan kelompok Islam sebenarnya hanya terjadi dengan kelompok-kelompok tertentu, seperti Front Pembela Islam (FPI), yang notabene memiliki ekspresi spiritual yang lebih keras dari kelompok lainnya.
Baca Juga: Setelah HTI, FPI Dilarang Ikut Pemilu?
Kemudian, apabila kita mengaitkannya dengan NU, sejak era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU juga diketahui memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan FPI. Bahkan pada 5 Juni 2008 lalu, Gus Dur sempat mengutarakan keinginannya untuk membubarkan ormas yang identik dengan Habib Rizieq Shihab tersebut. Dengan kata lain, tudingan PDIP memiliki hubungan yang tidak baik dengan kelompok Islam sebenarnya kurang tepat.
Nah sekarang pertanyaannya, kira-kira mana yang mayoritas atau dominan, apakah NU atau FPI? Tentunya adalah NU bukan. Artinya, PDIP telah menerapkan langkah yang sangat strategis, atau mungkin tepatnya cukup beruntung karena NU juga memiliki tujuan untuk mendukung Pancasila seperti halnya partai banteng.
Singkatnya, kendatipun PDIP diterpa berbagai isu rasuah ataupun isu-isu minor lainnya, apabila PDIP mampu mempertahankan hubungannya dengan massa Nahdliyin atau NU di akar rumput, maka partai banteng dapat tetap berjaya di Pemilu 2024.
Namun, kita lihat saja nanti di 2024, apakah PDIP akan mengulangi kejatuhan Partai Demokrat atau justru berhasil mempertahankan dominasinya. (R53)