Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyebarkan data pribadi seorang orator yang menyebut vonis Ahok dibebankan pada kesalahan Jokowi. Aksinya ini menuai beragam respon di dunia maya.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]umolo berhasil membuat sang korban kaget dan tak bisa berkata apapun. Veronica Koman, yang bisa dikatakan sebagai korban karena data dan informasi pribadinya disebarkan oleh Kumolo, hanya bisa berkata “shock”.
Secara emosional, Veronica berorasi pada Selasa malam di depan Rutan Cipinang atas jerat pasal penodaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam orasinya, Veronica menyebut bahwa vonis penjara selama dua tahun merupakan kesalahan Jokowi. Ia juga menyebut bahwa rezim Jokowi jauh lebih parah dibandingkan dengan SBY.
Veronica Koman Liau sendiri adalah seorang aktifis kelahiran Medan. Ia merupakan pengacara publik yang kerap berhubungan dengan isu-isu Papua, pengungsian internasional dan pencari suaka. Menurut data yang dihimpun melalui womenunlimited.id, dirinya juga kerap memberikan bantuan hukum kepada kaum marjinal yang buta hukum secara cuma-cuma.
Pernyataan Veronica saat orasi, membuat Menteri Dalam Negeri dari fraksi PDI-Perjuangan tersebut berang. Mantan Sekertaris Jendral DPP PDI Perjuangan ini berkilah bahwa, aspirasi apapun yang datang dari pendukung Ahok dipersilahkan. Namun, jangan sampai mengaitkan kasus Ahok dengan Jokowi. Apalagi jika sampai dianggap bernada fitnah dan kebencian.
“Salah Jokowi apa? Kok selalu dikait-kaitkan masalah Ahok?” Ia menambahkan Dirjen politik Kemendagri dalam waktu cepat telah mampu melacak dan mendata serta menelisik siapa yang bersangkutan termasuk keluarga dan aktifitasnya.
Selain membocorkan data identitas serta aktifitas Veronica Koman melalui video berdurasi 30 detik dan foto kartu e-KTP ke media sosial Whatsapp, Kumolo juga memaksa Veronica untuk meminta maaf secara terbuka kepada Jokowi. Untuk menggenapi niatnya itu, ia juga akan melayangkan surat kepada Veronica dan memberi waktu selama sepekan untuk melakukan klarifikasi.
Kumolo mengklaim bahwa apa yang diakukannya adalah sebagai pendidikan politik agar tidak ada seorang pun yang memaki dan memfitnah presiden. “Pendidikan politik buat siapa pun tidak boleh memaki-maki dan memfitnah presiden RI dan siapa pun tanpa bukti yang jelas.” ujarnya.
Pengamat politik, Emrus Sihombing, mengemukakan bahwa orasi yang disampaikan Veronica terkait tingkat ‘keparahan’ belum jelas. Sangat rawan terjadi multitafsir, sehingga dirinya bisa saja terseret ke meja hijau atas tuduhan yang tidak mengenakkan. Maka dari itu, menurut Emrus, Veronica perlu menjelaskan data dasar berpikir dari isi orasinya. “Atau melakukan ralat di ruang publik.” ujarnya.
Ada Apa, Tjahjo?
Sebagai seorang ‘pembantu’ presiden RI memang sudah tugas Kumolo melindungi nama baik ‘atasannya’. Namun, penyebarluasan informasi pribadi Veronica Koman yang dilakukannya untuk melindung Jokowi, juga tak lepas dari persoalan hukum baru. Ia terancam melanggar UU ITE.
Pasal 26 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mensyaratkan penggunaan data pribadi dalam sebuah media elektronik harus mendapat persetujuan pemilik data bersangkutan. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat digugat atas kerugian yang ditimbulkan.
Selain itu, sebagai pejabat publik yang memiliki wewenang menjalankan suatu kebijakan, penyebaran informasi yang dilakukannya, tak berlebihan jika disebut sebagai aksi penyalahgunaan jabatan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ia beserta jajaran Kemendagri dalam waktu yang cepat sudah mengumpulkan data-data Veronica, lalu menyebarkannya di media sosial.
Jika kita kembali ke tahun lalu, pernyataan dan respon yang dilakukan Tjahjo Kumolo tentunya sangat bertolak belakang. Ketika memberi amanat pada peringatan Hari Pahlawan, Kumolo secara gamblang mengimbau kepada masyarakat untuk lebih cermat memilah dan memilih informasi dengan baik.
“Kalau saya atau Anda menerima informasi dari sms atau media-media sosial, baca cermati dengan baik. Jangan langsung Anda kirim ke teman atau orang lain. Karena UU ITE itu bisa menjerat saya atau Anda seklaian yang mengirimkan kembali berita yang menruut saya dan Anda benar, tapi menurut hukum, menurut pihak ketiga ini dianggap pelecehan, dianggap tidak benar, ini haru hati-hati.” ucap Thahjo.
Sekali lagi, kita secara gamblang menyaksikan bagaimana ironisnya produk hukum yang diciptakan oleh negara dan dipuja oleh pejabat, pada akhirnya malah dilanggar oleh dari pihak yang memiliki otoritas tinggi dalam pemerintahan.
Sepak Terjang Tjahjo Kumolo
Tjahjo Kumolo memang memiliki otoritas tinggi sebagai pemangku jabatan Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Kerja periode 2015-2019. Sebelumnya ia menggantikan Gamawan Fauzi di posisi yang sama. Dalam dua tahun, belum begitu banyak kebijakannya yang populer atau yang dapat diingat oleh masyarakat.
Dalam partai, ia menapaki karir politik dengan berangkat bersama Partai Golongan Karya atau Golkar mulai dari tahun 1987 sampai tahun 1998. Selain Golkar, ia juga pernah menjadi ketua umum partai Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNIP). Selanjutnya, ia meloncat ke partai yang menjadi pelampiasan massa pasca Orde Baru, yakni PDI Perjuangan. Pada tahun 2009 sampai 2014, ia berhasil menduduki kursi DPR melalui PDI Perjuangan dengan pemilihan wilayah Jawa Tengah I, daerah di mana ia dilahirkan.
Saat itu, ia duduk di Komisi I DPR RI yang membawahi pertahanan luar negeri dan informasi di DPR RI. Secara mengejutkan, ia dipilih oleh pemimpin abadi PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, sebagai Sekretaris Jendral DPP Bidang Politik PDI Perjuangan.
Tahun 2015, saat masih duduk di kursi DPR Komisi I, ia pernah menyarankan untuk menggelontorkan dana sebanyak Rp. 1 triliyun per tahun demi melangsungkan perangkat hukum Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang disebut dengan Dana Aspirasi.
Program ini adalah pembekalan yang dijatuhkan kepada badan legislatif negara untuk ‘membangun’ distrik pemilihan mereka, Dana ini, disisihkan dari APBN. Namun, pada prosesnya, produk hukum ini rawan sekali dikorupsi.
Terbukti selama tahun 2016, sudah ada dua anggota dewan yang tertangkap tangan oleh KPK menyelewengkan dana tersebut, yakni I Putu Sudiartana anggota DPR dari fraksi Demokrat dan Damayanti dari PDI Perjuangan. Hingga, pada tahun 2017, Dana Aspirasi tidak diberlakukan lagi.
Yang Cemberut dan Terburu-Buru
“In politics, nothing is happened by accident. If it happens you can bet it was planned that way.” Franklin D. Roosevelt
Manuver politik yang dilakukan Kumolo memang sulit dideteksi, karena ia kerap bergerak ‘halus’. Sebelum menyebarkan informasi pribadi Veronica tanpa seizin yang bersangkutan, Kumolo terlihat melantik Djarot Saiful Hidayat, tandem Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017, sebagai Gubernur plt.
Seperti yang sudah diketahui bersama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, harus menjalani hukuman dua tahun penjara atas kasus penistaan agama yang menyeretnya. Djarot sebagai wakil, akhirnya menggantikan dirinya sebagai gubernur.
Acara pelantikan juga hanya berlangsung beberapa menit saja. Tak ada senyum maupun suka cita yang terlihat, baik dari wajah Djarot maupun Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jakarta, Tuty Kusumawaty.
Lalu, pertanyaan mengenai majunya Djarot sebelum Keppres Jokowi keluar untuk memberhentikan Ahok menjadi sebuah misteri tersendiri. Karena Ahok harus secara resmi diberhentikan oleh Jokowi melalui Keppres.
Ketika dimintai keterangan mengenai hal tersebut, Jokowi berkata akan mempelajarinya dengan lebih teliti terlebih dahulu. Mungkinkah sang presiden sebenarnya menolak mengeluarkan Keppres pemberhentian Ahok? Dengan demikian Tjahjo gesit membela Jokowi dengan mengancam Veronica?
Veronica Koman sendiri, bisa mengajukan gugatan ke Kepolisian. Karena dari awal, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, menyebarkan data pribadi Veronica, hal ini jelas melanggar UU ITE. Mengingat Kumolo yang tak mau kalah melaporkan Veronica jika dirinya tak sudi meminta maaf, maka keduanya bisa saling melaporkan.
“Karena itu hak dia. Ancaman hukumannya kan empat tahun, tidak mesti ditahan kalau jadi tersangka. Siapa saja yang merasa dirugikan akibat pemberitaan, termasuk data pribadi, privasi, diancam UU ITE. Silakan saja saling melapor ke kepolisian” jelas Anggota Komisi I DPR, Syaifullah Tamliha.
Dalam posisi yang lain, pernyataan Kumolo dan desakannya kepada Veronica untuk meminta maaf, turut menggambarkan berbahayanya rezim anti-kritik saat ini serta semunya kebebasan berpendapat di Indonesia, sehingga harus memohon maaf atas pendapat yang dikeluarkan. (Berbagai Sumber/A27)