Pada awalnya, berbagai pihak pesimis atas kemampuan vaksinasi Indonesia. Ada pula dugaan vaksinasi akan selesai dalam 10 tahun. Namun, secara mengejutkan vaksinasi dapat berjalan cepat, bahkan menempati peringkat keenam dunia. Apakah ini menunjukkan kehebatan diplomasi vaksin pemerintahan Jokowi?
“If you see something beautiful in someone, speak it!” — Ruthie Lindsey, penulis buku There I Am, The Journey From Hopelessness to Healing
Per 31 Agustus 2021, Indonesia mencatat 100 juta lebih penyuntikan vaksin Covid-19. Rinciannya, dosis pertama berjumlah 63.265.720, dosis kedua 36.050.866, dan booster 640.532 penyuntikan. Angka ini terbilang fantastis. Pasalnya, sejak awal terdapat keraguan apakah Indonesia mampu melakukan vaksinasi dengan baik.
Seperti yang disebutkan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, sebelumnya terdapat berbagai sentimen minor yang menyebutkan vaksinasi di Indonesia membutuhkan waktu 10 tahun.
“Awalnya di-bully vaksinasinya akan selesai 10 tahun, InsyaAllah sekarang ranking keenam dunia untuk jumlah orang yang divaksinasi,” ungkapnya pada 30 Agustus 2021.
Keraguan yang ada memang terbilang masuk akal. Yang utama, Indonesia tidak memiliki pabrik vaksin seperti di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Ada pula persoalan bagaimana mengamankan pasokan vaksin yang ketersediaannya terbatas.
Namun, seperti yang dapat kita saksikan, saat ini Indonesia menempati ranking keenam dunia dengan vaksinasi terbanyak. Keraguan-keraguan yang ada tampaknya telah terbantahkan.
Pada Selasa, 14 September 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui berbagai media sosialnya juga telah memberikan pujian terhadap Menkes Budi Sadikin. “Menteri Kesehatan kita, Budi Gunadi Sadikin, adalah sebuah contoh tentang seseorang yang berkarier jauh dari ilmu yang didapatkannya pada masa kuliah,” ungkap Presiden Jokowi.
Baca Juga: Diplomasi Vaksin AS-Tiongkok, Sebuah Mitos?
Pujian tersebut dengan jelas dapat dibaca sebagai jawaban atas kritik berbagai pihak yang mempertanyakan alasan Budi Sadikin diangkat sebagai Menteri Kesehatan. Kira-kira pertanyaannya, “bagaimana mungkin lulusan teknik fisika nuklir dan mantan bankir mengurus masalah kesehatan?”
Well, faktanya, berbagai Menteri Kesehatan di negara maju justru tidak berasal dari bidang kesehatan. Sebut saja Hugo Mattheüs de Jonge, Menkes Belanda yang merupakan lulusan manajemen sekolah. Lalu, ada Menkes Singapura Gan Kim Young yang merupakan lulusan teknik elektro.
Begitu juga dengan Andrew James Little, Menkes Selandia Baru yang merupakan lulusan ilmu hukum, filsafat, dan kebijakan publik di Victoria University of Wellington.
Kembali pada vaksinasi. Apakah capaian ini menunjukkan kehebatan diplomasi vaksin pemerintahan Jokowi?
Kehebatan Diplomasi Vaksin
Menimbang pada berbagai kendala yang ada, khususnya tidak memiliki pabrik vaksin, kunci capaian vaksinasi saat ini adalah kemampuan pemerintah dalam mengamankan stok vaksin. Ini jelas menunjukkan peran vital diplomasi vaksin.
Melodena Stephens dan Mohammed Bin Rashid dalam tulisannya Soft power and vaccine diplomacy: what can we learn?, menyebutkan pada November 2020, banyak negara telah membuat perjanjian pra-pembelian dengan produsen vaksin, yang mana ini membuat 51 persen pasokan vaksin global dicadangkan untuk 14 persen populasi dunia.
Penjelasan tersebut selaras dengan laporan Tempo bertajuk Lobi Merombak Formasi Kabinet pada 23 Desember 2020. Disebutkan, Budi Sadikin telah melakukan perjalanan ke Jenewa dan London untuk melobi sejumlah produsen vaksin Covid-19 sejak Oktober 2020.
Langkah cepat tersebut besar kemungkinan menjadi salah satu alasan Presiden Jokowi menyebut Indonesia termasuk negara yang beruntung dapat mengamankan akses dan pasokan vaksin Covid-19 pada 23 Februari 2021. Bukannya berlebihan, faktanya berbagai negara memang kesulitan mengamankan stok vaksin. Di Afrika, misalnya, sampai saat ini hanya 3 persen populasi yang mendapatkan vaksinasi lengkap.
Menurut Michael Leigh dalam tulisannya Vaccine diplomacy: soft power lessons from China and Russia?, keterbatasan akses ini telah dijadikan peluang oleh Tiongkok dan Rusia untuk mengetuk pintu negara-negara Eropa dan Balkan dengan menawarkan bantuan vaksin Covid-19.
Baca Juga: Tugas Berat Budi Sadikin: Rangkul IDI
Pada Juli 2021, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi juga menyebutkan bahwa diplomasi vaksin adalah salah satu kunci penanganan pandemi di Indonesia. Terangnya, sejak awal pandemi, sejumlah menteri dalam Kabinet Kerja telah bekerja untuk mengamankan pasokan vaksin Covid-19.
Selain kerja para menteri, Presiden Jokowi juga perlu mendapat apresiasi khusus. Pasalnya, RI-1 telah berulang kali menekankan pentingnya membuka akses vaksin di berbagai forum internasional, seperti di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 21 November 2020, KTT Developing Eight (D-8) pada 8 April 2021, dan di Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOC) pada 13 Juli 2021.
Humphrey Wangke dalam tulisannya Indonesia’s Vaccine Diplomacy for the World Health juga memberi perhatian khusus terhadap langkah inisiatif Presiden Jokowi yang membujuk berbagai negara agar membuka akses vaksin demi memutus rantai penyebaran Covid-19.
Penunjukan yang Tepat
Jika boleh menyebut nama, setidaknya ada empat nama yang harus mendapat apresiasi. Pertama adalah Presiden Jokowi atas dorongan kepada masyarakat internasional. Kedua adalah Menlu Retno yang melakukan komunikasi dengan berbagai negara. Ketiga adalah Menkes Budi Sadikin yang telah melobi produsen vaksin sejak Oktober 2020.
Dan keempat adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilai mengamankan bantuan vaksin dari Tiongkok. Melihat datanya, per 12 Juli, dari 132.727.140 dosis vaksin yang dimiliki Indonesia, 118 juta dosis merupakan Sinovac.
Terkhusus Budi Sadikin dan Luhut, ada dua hal lagi yang dapat disimpulkan. Pertama, seperti dalam pujian Presiden Jokowi, penunjukan Budi Sadikin sebagai Menkes adalah langkah tepat dan krusial.
Pasalnya, menurut Ketua Komisi VI DPR yang juga Ketua DPP PKB Faisol Riza, eks-Menkes Terawan Agus Putranto disebut menolak menandatangani kontrak kerja sama dari sejumlah produsen vaksin, seperti AstraZeneca dan Sinopharm. Tidak heran kemudian terdapat dugaan bahwa posisi Terawan digantikan Budi Sadikin karena menolak kerja sama tersebut.
Kedua, latar belakang Budi Sadikin sebagai bankir dan Luhut yang merupakan pebisnis tampaknya merupakan faktor keberhasilan diplomasi vaksin Indonesia. Pasalnya, menurut Fahad M. Alammar dan David J. Pauleen dalam tulisannya Business Diplomacy in Practice: What Do the Experts Say?, pebisnis membutuhkan kemampuan diplomatik untuk menangani kompleksitas dan ketidakpastian, mencegah potensi konflik, dan mempertahankan kesuksesannya.
Baca Juga: Luhut, Panglima “Perang” Covid-19?
Artinya, pengalaman panjang Budi Sadikin dan Luhut di bidang bisnis telah memberi mereka keterampilan diplomasi, yang mana itu terlihat dari keberhasilan diplomasi vaksin saat ini. Langkah cepat Budi Sadikin melobi sejumlah produsen vaksin pada Oktober 2020 juga menunjukkan bagaimana dirinya memiliki visi ke depan yang bagus.
Well, pada akhirnya, terlepas dari berbagai kekurangan penanganan pandemi yang ada, kita perlu memberikan apresiasi terhadap kemampuan diplomasi vaksin pemerintahan Jokowi untuk mengamankan stok vaksin Covid-19. Seperti kutipan pernyataan Ruthie Lindsey di awal tulisan, jika melihat sesuatu yang indah pada seseorang, katakanlah. (R53)