HomeNalar PolitikMa’ruf Dibungkam atau Tidak Diinginkan?

Ma’ruf Dibungkam atau Tidak Diinginkan?

Tidak seperti sebelum menjabat sebagai Wapres, Ma’ruf Amin dinilai tidak begitu vokal saat ini. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menduga kondisi Ma’ruf saat ini adalah desain dari elite politik. Jika benar, apakah Ma’ruf adalah puppet leader?


PinterPolitik.com

Mereka yang mengikuti perjalanan karier Ma’ruf Amin pasti mengetahui bahwa mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini adalah ulama yang vokal mengomentari isu politik nasional.

Pada 13 November 2014, misalnya, ketika wacana pembubaran Front Pembela Islam (FPI) mengemuka, Ma’ruf yang saat itu masih menjadi Wakil Ketua MUI tampil membela dengan menyebut FPI sebaiknya jangan dibubarkan, melainkan dibina. Di tahun tersebut, Ma’ruf juga kerap menjadi penengah polemik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan FPI yang terus terlibat cekcok.

Pada 11 Oktober 2016, Ma’ruf yang telah menjadi Ketua MUI mengeluarkan fatwa bahwa ucapan Ahok yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 dikategorikan menghina Al-Qur’an dan/atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Fatwa tersebut kemudian menjadi legitimasi atas demonstrasi berjilid-jilid yang salah satunya dimotori oleh FPI, yang mana itu berujung pada dijebloskannya Ahok ke dalam jeruji besi.

Pada 12 November 2018, Ma’ruf juga mengaku bahwa dirinya menjadi penengah antara Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan Kapolri Tito Karnavian pada aksi 212. Saat itu HRS ingin menggelar salat Jumat di Jalan Thamrin, sementara Tito menginginkan di Masjid Istiqlal. Ma’ruf kemudian menengahi dan menyarankan salat Jumat dilakukan di Lapangan Monas.

Selain itu, Ma’ruf juga menyebut bahwa dirinya yang menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk hadir dalam aksi Bela Islam 212. Pada aksi 411, mantan Wali Kota Solo tersebut juga ingin hadir namun dilarang pihak protokoler.

Baca Juga: Ada Agenda Penenggelaman Ma’ruf Amin?

Pengakuan-pengakuan tersebut jelas menunjukkan bahwa Ma’ruf adalah sosok yang memiliki pengaruh yang besar. Greg Fealy dalam tulisannya Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic defender or deadweight? juga menegaskan hal serupa, bahwa Ma’ruf adalah salah satu ulama terkuat di Indonesia.

Namun, sosoknya yang vokal dan berpengaruh anehnya tidak terlihat setelah menjabat sebagai Wakil Presiden (Wapres). Menanggapi kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari memberi komentar yang sangat menarik. Menurutnya, situasi Ma’ruf saat ini adalah desain yang dibuat oleh elite politik.

Jika dugaan Qodari benar, apakah Ma’ruf adalah puppet leader saat ini? Jika demikian, mengapa itu bisa terjadi?

Puppet Leader

Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi menjelaskan satu fenomena pemimpin menarik yang disebut dengan puppet leader atau pemimpin boneka. Puppet leader adalah metafora untuk menggambarkan pemimpin yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pihak lain – tepatnya kekuatan lain.

Kendati puppet leader umumnya ditemukan di pemerintahan otoritarianisme, dalam pemerintahan demokratis, puppet leader dapat muncul dengan dua elemen fundamental.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Pertama, adanya penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang ingin mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin, tanpa dianggap melakukannya. Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi tersebut jika nantinya terpilih.

Saat ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky adalah sosok yang kerap disebut sebagai puppet leader. Kenneth Rapoza dalam tulisannya No, Ukraine’s New President Zelenksiy Is Not Putin’s Puppet menyebutkan Zelensky kerap disebut sebagai puppet leader dari Presiden Rusia Vladimir Putin – alat Kremlin.

Tidak hanya diisukan sebagai boneka Putin, Jonah Fisher dalam tulisannya Volodymyr Zelensky: Why Ukraine’s new president needs second election win juga menyebutkan Zelensky kerap diisukan sebagai boneka oligark kontroversial Ukraina Igor Kolomoisky.

Baca Juga: Ma’ruf Terjebak “Strategi Machiavelli” JK?

Di Indonesia, puppet leader kerap dilihat dalam diri Wapres di era Orde Baru. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto didampingi enam Wapres yang tidak pernah menjabat sebanyak dua kali. Selama tiga dekade tersebut, the Smilling General disebut sebagai satu-satunya matahari. Situasi tersebut tentu berbeda dengan era Reformasi, di mana Wapres juga memiliki peran, meskipun tetap tidak sebesar Presiden.

Ma’ruf adalah Puppet Leader?

Mengacu pada dua elemen fundamental yang disebutkan Dennis R. Young, ada kemungkinan Ma’ruf memenuhi kondisi sebagai puppet leader. Jika pernyataan Qodari benar bahwa situasi Ma’ruf saat ini diakibatkan oleh desain elite politik, maka itu telah memenuhi elemen fundamental kedua.

Secara langsung, itu juga menunjukkan bahwa Ma’ruf memenuhi elemen fundamental pertama karena terikat oleh elite politik yang mendesainnya. Namun tentunya, persoalannya ini sulit untuk dibuktikan.

Pada kasus Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, misalnya, isu bahwa dirinya adalah boneka Putin ataupun boneka Igor Kolomoisky dibantah oleh Kenneth Rapoza dan Jonah Fisher. Bagi mereka, itu hanyalah isu yang jauh pembenarannya.

Selain itu, secara umum posisi Wapres memang kerap dinilai tidak begitu signifikan, baik secara politik maupun pengampu kebijakan. Michael Nelson dalam tulisannya The Curse of the Vice Presidency  bahkan menyebutkan ada semacam “kutukan” terhadap Wakil Presiden.

Nelson melihat ada kecenderungan mereka yang menjabat sebagai Wapres justru mengalami penurunan pengaruh politik. Ini juga tidak terlepas dari posisi Wapres yang memang lemah secara konstitusional.

Namun, kondisi umum tersebut nyatanya tidak terjadi pasa semua kasus. Di sini, kita perlu membedakan antara position power dengan personal power. Maksudnya, kendati posisi Wapres memang tidak berpengaruh (position power), namun Wapres yang memiliki personal power yang kuat seperti Jusuf Kalla (JK), nyatanya mampu tampil menonjol dalam pemerintahan.

Ketika menjadi Wapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, karena begitu menonjol, tidak sedikit pihak yang menyebut ada matahari kembar atau dua matahari di pemerintahan. Saat itu, JK berperan sebagai kepala staf kabinet yang bertugas melakukan koordinasi dan sinkronisasi di antara menteri-menteri kabinet.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga diperankan untuk lebih menangani bidang-bidang tertentu, seperti pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, hingga percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia.

Baca Juga: Ma’ruf Amin dan Kutukan Wakil Presiden

Pada Pilpres 2014, berbagai pihak juga menduga akan muncul matahari kembar di pemerintahan apabila Jokowi-JK keluar sebagai pemenang. Meskipun kemudian peran JK dilihat tidak sebesar ketika mendampingi SBY, peran Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ini tetap dilihat cukup besar, khususnya dalam urusan diplomasi, baik dalam dan luar negeri.

Mengacu pada kasus JK, mengapa Ma’ruf tidak begitu terlihat berperan saat ini?

Mengapa Terjadi?

Atas persoalan ini, Ma’ruf sebenarnya pernah memberi jawaban pada 29 Januari 2020 lalu. Tuturnya, sudah seharusnya yang lebih menonjol adalah posisi Presiden. Selain itu, Ia tidak ingin ada matahari kembar di pemerintahan.

Akan tetapi, berbagai pihak justru memberikan testimoni berbeda. Yang paling menohok adalah pernyataan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane pada 27 Agustus 2020 lalu.

Menurutnya, sejak terpilih sebagai Wapres, baru pada 20 Agustus 2020 para pendukung Ma’ruf bisa menemui dan berdialog dengan sang kiai. Para pendukung bahkan menyebut Ma’ruf dijadikan seperti “burung dalam sangkar emas”. Neta juga menyebut peran Ma’ruf begitu minim karena tidak dilibatkan dalam penentuan kabinet ataupun pembahasan reshuffle.

Jika pernyataan Neta benar, mengapa ihwal tersebut bisa terjadi? Yang pertama, seperti temuan Michael Nelson, Ma’ruf mungkin telah terkena Kutukan Wakil Presiden. Pasalnya, pengaruhnya terlihat turun drastis sejak menjadi RI-2.

Kedua, bisa jadi karena Ma’ruf adalah sosok yang sebenarnya “tidak diinginkan”. Seperti yang diketahui, pada awalnya Mahfud MD adalah sosok yang ditunjuk Jokowi sebagai pendampingnya. Namun, seperti dalam pengakuan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, Jokowi kemudian memilih Ma’ruf karena mendapat tekanan politik.

Ketiga, ini kemungkinan terkait skill dari Ma’ruf sendiri. Misalnya, berbeda dengan JK, Ma’ruf dinilai tidak memiliki kemampuan hubungan internasional. Selama lima tahun berturut-turut, JK bahkan selalu menggantikan Jokowi dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Aaron L. Connelly dalam tulisannya Indonesian foreign policy under President Jokowi menyebutkan bahwa Jokowi memang memiliki pengalaman yang minim dalam hubungan internasional. Ini kemudian dapat menjawab mengapa JK yang justru menghadiri Sidang Umum PBB.

Baca Juga: Menakar Peran Internasional JK vs Ma’ruf

Pada akhirnya seperti yang disebutkan Jonah Fisher, terkait apakah Ma’ruf adalah puppet leader atau bukan itu tergantung cara kita memandangnya. Ihwal tersebut juga menjadi jawaban terkait mengapa Ma’ruf tidak tampil menonjol di pemerintahan saat ini. Ini adalah masalah persepsi atau perspektif. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...