Polemik Front Pembela Islam (FPI) sampai membuat pemerintah menetapkannya sebagai ormas terlarang. Menelusuri akar persoalannya, kebangkitan FPI sejak 2014 sepertinya memiliki korelasi kuat dengan kebijakan Soeharto di era Orde Baru. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Pada 17 Agustus 1998 adalah tanggal didirikannya Front Pembela Islam (FPI). Namun menariknya, baru pada 2014, ormas besutan Habib Rizieq Shihab (HRS) ini mulai terjun ke dalam politik praktis. Tepatnya sewaktu menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, HRS bersama FPI juga terjun di Pilpres 2014 dengan mendukung Prabowo Subianto.
Sejak saat itu, secara bertahap FPI mulai mendulang simpati massa. Jika bukan karena kasus Ahok, sampai seterusnya image FPI mungkin hanya sebagai ormas yang gemar melakukan sweeping dan menjadi salah satu yang terdepan ketika terjadi bencana.
Momentum emasnya pada Pilgub DKI Jakarta 2017, FPI akhirnya diakui sebagai ormas yang memiliki pengaruh politik besar. Keberhasilan FPI menghantarkan Anies Baswedan sebagai DKI-1 bahkan diimitasi di Pilpres 2019. Kendati berakhir pada kekalahan, kemampuan FPI dalam menghimpun massa memang patut untuk diakui kehebatannya.
Baca Juga: Pelarangan FPI, Akhir Karier Politik Anies?
Namun akhir-akhir ini, FPI yang dikenal garang tersebut tampaknya tengah menjadi “macan ompong”. Pembubaran dan pelarangan FPI menjelang akhir tahun 2020 adalah antitesis dari asumsi sejumlah pihak bahwa kepulangan HRS akan menambah daya gedor oposisi.
Suka atau tidak, FPI seolah tidak berdaya dengan berbagai masalah yang ada. Ini juga tidak terlepas dari FPI yang telah ditinggalkan oleh gerbong politik yang mendukungnya sebelumnya.
Menariknya, penetapannya sebagai ormas terlarang tampaknya tidak menjadi akhir bagi FPI. Tidak lama setelah dibubarkan, Front Persatuan Islam (FPI) dideklarasikan. Yang terbaru, Front Persaudaraan Islam (FPI) juga telah diusulkan sebagai nama baru.
Terkait hal ini, ada satu pertanyaan penting yang harus diajukan, yakni mengapa ormas besutan HRS tersebut dapat bangkit dan mendapatkan simpati luas?
Politik Identitas adalah Niscaya
Jika berbicara mengenai FPI, mungkin alasan utama dari antipati terhadapnya adalah politik identitas yang digunakan sebagai narasi politik. Meskipun juga menyinggung isu nasionalisme dan perlawanan terhadap oligarki, sentimen publik umumnya memberi perhatian lebih pada politik identitas yang FPI digunakan.
Terkait politik identitas, sangat penting untuk melihat buku Francis Fukuyama yang ditulisnya untuk merespons kemenangan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, yakni Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian.
Alasan Fukuyama menulisnya jelas, karena Trump menggunakan politik identitas secara masif dan sistematis sebagai strategi untuk menjadi pemenang. Menariknya, dalam buku tersebut, Fukuyama menyinggung penjungkalan Ahok pada 2017 lalu sebagai contoh menguatnya politik identitas.
Namun, meskipun memberi kritik tajam atas politik identitas karena dapat mengakibatkan pembusukan demokrasi, pada saat yang sama, Fukuyama juga mengakui bahwa sekiranya tidak mungkin menghindari politik identitas.
Sama seperti dalam bukunya yang fenomenal The End of History and the Last Man, Fukuyama juga mengungkit konsep thymos sebagai akar masalahnya. Thymos adalah psikologi universal manusia akan hasrat untuk diakui. Ini membuat setiap individu ataupun kelompok sosial merasa memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan atas identitasnya.
Menariknya, gelombang demokratisasi terjadi di akhir abad ke-20 bertepatan dengan gelombang pengakuan atas identitas yang sebelumnya terpinggirkan dari identitas arus utama, seperti kulit hitam, imigran, LGBT, dan Muslim di negara-negara Barat.
Jika merujuk pada Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, demokratisasi di masa tersebut disebut sebagai gelombang demokratisasi ketiga. Sama dengan Fukuyama, dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington juga melihat bahwa gelombang demokratisasi yang terjadi bertepatan dengan kebangkitan peradaban Islam yang ingin terlepas dari hegemoni nilai-nilai Barat.
Baca Juga: Rizieq dan FPI Bangkitkan Islamofobia?
Mengacu pada konsep thymos dari Fukuyama, dan pertengkaran peradaban dari Huntington, membuat kita mudah memahami bahwa politik identitas yang diusung oleh FPI sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan. Persis seperti penegasan Huntington, kita jamak melihat narasi anti-liberal, anti-kapitalisme, atau anti-Barat dari FPI, yang mana itu menunjukkan pertengkaran antar nilai – Islam vs Barat.
Di Indonesia, kebangkitan politik Islam, seperti FPI dapat kita lacak setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Lantas, apakah itu menunjukkan kebangkitannya saat ini adalah buah dari kebijakan Soeharto?
Orde Baru dan Represi Islam
Kendati di akhir-akhir pemerintahannya Soeharto mulai mendekati kelompok Islam, misalnya dengan menggandeng BJ Habibie dan menginisiasi pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), memang harus diakui bahwa sebelumnya represi terhadap kelompok Islam justru yang dilakukan.
Konteks represi tersebut dapat kita lihat dari buku Greg Barton, Kelly Bird, dan Susan Blackburn yang berjudul Indonesia Today: Challenges of History. Pada tahun 1970-an, intelijen kepercayaan Soeharto, Ali Moertapo menginisiasi pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Saat itu, CSIS banyak membawa sosok yang belajar di AS, khususnya yang menimba ilmu dari Seymour Martin Lipset dan Samuel Huntington, yang mana tujuannya untuk melakukan akselerasi modernisasi dan menduplikasi demokrasi AS.
Meskipun terdengar progresif, namun pada praktiknya, Pancasila yang digunakan sebagai asas tunggal justru digunakan sebagai alat politik (political tool), yang menargetkan segala bentuk kelompok kiri dan politik Islam.
Lalu, entah disengaja atau tidak, dilibatkannya lulusan AS tampaknya yang memicu perkembangan orientalisme di Indonesia.
Orientalisme sendiri adalah cara pandang yang membayangkan, menekankan, dan membesar-besarkan perbedaan masyarakat dan budaya Timur, khususnya Arab dibandingkan dengan Eropa dan AS (Barat). Sering kali budaya Arab disebut terbelakang, tidak beradab, dan terkadang berbahaya.
Jika orientalisme memang berkembang saat itu, maka seperti yang disebutkan oleh Huntington, itu dapat menjadi preseden kuat atas kebangkitan nilai-nilai Islam. Apalagi, kelompok Islam telah direpresi sebelumnya. Itu tentunya akan melahirkan tuntutan atas hak untuk diakui dari kelompok Islam – konsep thymos.
Sadar atas semakin sulit meredam kelompok Islam yang sepertinya membuat Soeharto mendekati kelompok Islam di akhir pemerintahannya. Setelah Orde Baru jatuh, kelompok Islam kemudian mendapatkan momen kebangkitan.
Leni Winarni dalam tulisannya The Political Identity of Ulama in the 2014 Indonesian Presidential Election juga melihat kebangkitan politik Islam setelah keruntuhan Orde Baru. Pada Pemilu 1999, misalnya, 20 dari 48 partai politik yang ada merupakan partai politik Islam.
Bahkan pada Pilpres 2004, empat dari lima pasangan kandidat terafiliasi organisasi Islam dan partai politik Islam. Menurut Winarni, Megawati dan Wiranto yang saat itu memilih wakil dari Nahdlatul Ulama (NU) karena bertolak dari kemenangan Abdurrahman Wahid yang didukung oleh massa Islam.
Baca Juga: Menguak Alasan FPI Dibubarkan
Di sini, kita mungkin dapat mengatakan bahwa kebangkitan FPI adalah buah dari represi Soeharto kepada kelompok Islam ketika berkuasa. Namun, simpulan tersebut menyisakan tanda tanya, yakni mengapa kebangkitan FPI terjadi pada 2014? Bukankah FPI terbentuk sejak tahun 1998?
Riset Sholihul Huda yang berjudul Konversi Ideologi Muhammadiyah ke Gerakan Front Pembela Islam (FPI) tampaknya dapat menjadi jawaban pertanyaan tersebut. Menariknya, Sholihul Huda menemukan bahwa banyak aktivis Muhammadiyah yang kemudian bergabung ke FPI.
Dalam temuannya, perpindahan tersebut terjadi karena berbagai aktivis Muhammadiyah mulai tidak puas dengan gerakan Islam arus utama yang dianggap terlalu “lembek” dan terlalu sibuk di internal. FPI yang menggunakan pendekatan yang lebih keras kemudian dijadikan sebagai pelabuhan.
Jika temuan Sholihul Huda terjadi di berbagai daerah – risetnya dilakukan di Lamongan, Jawa Timur – maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kelompok Islam yang mulai tidak puas dengan gerakan Islam arus utama saat ini.
Ini kemudian membuat mereka mencari “kendaraan” yang dapat mengekspresikan semangat spiritualitasnya. Konteks tersebut yang tampaknya menjawab mengapa FPI dapat menghimpun massa yang berulang kali memutihkan Monas, ataupun gerakan-gerakan serupa di berbagai daerah.
Akan tetapi, kebangkitan politik Islam di kancah nasional juga menjadi bumerang tersendiri karena terjadi kebangkitan politik identitas. Masalahnya, ihwal tersebut telah menciptakan pembelahan politik yang dalam, khususnya pada Pilpres 2019.
Persoalan polarisasi politik tersebut yang tampaknya ingin diredam oleh pemerintah, sehingga memutuskan melakukan pembubaran dan pelarangan FPI pada 30 Desember 2020. Bagaimana pun, FPI memang menjadi salah satu motor penggerak utama dari masifnya penggunaan politik identitas di skala nasional.
Menarik akar variabelnya, pada titik tertentu, mungkin kita dapat menyebutkan bahwa pelarangan FPI baru-baru ini adalah buah dari represi Soeharto terhadap kelompok Islam di bawah kepemimpinannya.
Namun, selain faktor internal, seperti represi Soeharto di Orde Baru, ada pula faktor eksternal yang memicu kebangkitan politik Islam, yakni Revolusi Iran 1979. Dalam berbagai studi, revolusi tersebut disebut telah menginspirasi kebangkitan politik Islam di Indonesia. (R53)