“Presidential threshold ini akan menyebabkan potensi kepemimpinan kita hilang begitu saja. Kenapa? Akan dipaksa calon presiden itu dua saja”. – Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara
Setelah 22 tahun bergulir, demokrasi memang telah bergulir di Indonesia. Kita mengalami adanya Pemilu langsung, di mana mulai dari anggota legislatif pusat dan daerah serta kepala daerah hingga presiden semuanya langsung dipilih oleh masyarakat. Mulai dari level RT/RW juga sih kalau sampai ke tingkatan terbawah.
Nah, tapi banyak pihak yang menganggap demokrasi ini nggak demokratis. Hmm, wait, gimana-gimana? Demokrasi tapi nggak demokratis? Itu ibarat kayak makan soto tapi bukan soto, atau makan martabak tapi bukan martabak. Rada gimana gitu ya. Hehehe.
Walaupun begitu, masuk akal juga sih pernyataan tersebut. Soalnya, bolehlah kita udah bisa memilih pemimpin secara langsung, secara khusus untuk kursi presiden ya. Tapi, sebagai masyarakat kita tugasnya cuma nyoblos aja siapa yang udah disiapkan di kertas suara.
Apalagi, dengan adanya aturan kayak presidential threshold yang menjadi semacam prasyarat pencalonan seseorang untuk posisi puncak tersebut, sulit rasanya bagi calon perseorangan atau independen untuk melewati kekuasaan partai politik.
Bahkan, bisa dibilang satu-satunya jalan seseorang untuk mencalonkan diri di Pilpres adalah lewat jalur partai politik. Tanpa Parpol, sepertinya mustahil bagi seseorang untuk bisa mencapai kursi tersebut. Kondisi ini juga menutup peluang orang tanpa modal politik dan finansial besar untuk merengkuh kursi nomor satu di negeri ini.
Hal inilah yang membuat mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait presidential threshold tersebut. Buat yang belum tahu, aturan ini memang mengharuskan seorang calon presiden untuk mendapatkan rekomendasi dari partai atau gabungan partai dengan kekuatan minimal 20 persen dukungan suara di DPR atau 25 persen suara nasional.
Rizal Ramli mengajukan gugatan itu bersama dengan pakar hukum tata negara Refly Harun. Mereka menyebut aturan ambang batas ini adalah demokrasi kriminal. Wih, sangar nih tuduhannya.
Hmm, penasaran juga sih kenapa gugatan ini diajukan sekarang? Apakah ini tanda-tanda Pak Rizal Ramli mau mencoba peruntungan nih di 2024? Kalau gugatan dikabulkan MK dan ambang batas dihapuskan, sangat mungkin loh sosok seperti Rizal Ramli untuk maju sebagai capres.
Apalagi doi punya pengalaman panjang dalam tata kelola negara sejak era Gus Dur. Jadi udah pasti bisa lah untuk mencalonkan diri. Soalnya kalau lewat jalur partai sepertinya bakal sulit nih buat doi.
Pak Rizal mau jadi the chosen one nih ye. Hehehe. Tapi wajar sih, soalnya dengan kondisi seperti sekarang ini – ada krisis kesehatan dan ekonomi juga terpuruk – banyak orang merasa punya kapasitas untuk membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
Hmmm, patut ditunggu nih gimana hasil gugatannya Pak Rizal Ramli. Kalaupun beneran mau nyalon, semoga siap dengan kondisi politik Indonesia yang sarat baku hantam di dalamnya. Lha, ada yang udah ukur baju dan disuruh datang ke restoran untuk siap-siap diumumkan, ujung-ujungnya malah disalip orang lain kok. Uppps.
Politik itu keras men. (S13)