HomeNalar PolitikKasus Pornografi, Kominfo Tak Konsisten?

Kasus Pornografi, Kominfo Tak Konsisten?

Kemenkominfo yang dianggap lebih responsif pada kasus video yang diduga melibatkan salah satu aktris tanah air, dibandingkan kasus lain yang juga jadi tupoksinya, mendapat sorotan minor dari publik di jagat maya. Lantas mengapa sorotan minor itu bisa terjadi? Apakah konstruksi perspektif yang ada memiliki keterkaitan dengan ihwal yang bersifat politis?


PinterPolitik

Istilah populer di jagat maya kekinian yang menyatakan bahwa isu maupun konten mengenai pornografi kerap kali dijadikan “simbol persatuan” tak resmi, tampaknya memang cukup rumit untuk dipahami.

Namun pada sisi berbeda, simbol tersebut seolah dapat bertransformasi dengan derajat yang tak terduga, ketika isu diterjemahkan secara lebih kompleks dan beririsan dengan urusan lain, utamanya dalam aspek politik dan tata kelola pemerintahan.

Hal inilah yang kiranya tengah terjadi pada dinamika kasus video viral beratmosfer pornografi yang diduga melibatkan salah satu aktris ternama tanah air. Upaya penanganan kasus tersebut oleh pemerintah tak ketinggalan mendapat lirikan publik yang tak kalah tajam.

Ini setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) tampak cukup serius merespons kasus tersebut. Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Stafsus Menkominfo) Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia yang juga juru bicara Kemenkominfo, Dedy Permadi menyebut bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan platform digital terkait untuk dapat men-take down video tersebut.

Bahkan Kominfo bersinergi dengan pihak Kepolisian untuk mereduksi potensi dampak tertentu dan mengatakan akan mengusut tuntas kasus itu. Sontak respons pemerintah tersebut mendapat atensi bernada kekecewaan dari publik.

Secara kontekstual, hal utama yang disoroti adalah komparasi. Publik menilai bahwa reaksi Kominfo lebih gercep dibandingkan penanganan kasus lain yang menjadi tupoksinya.

Kasus seperti spam dan fraud SMS atau pesan singkat, penanganan buzzer dan disinformasi yang belum proporsional, hingga kebocoran data yang terjadi pada kasus e-ktp maupun e-commerce dan sebagainya, dianggap publik tak sepadan dengan gesitnya respons Kominfo atas kasus video pornografi tersebut.

Realitanya, tentu Kominfo tak tinggal diam begitu saja pada kasus lain yang disebutkan di atas. Akan tetapi, interpretasi yang ada dinilai telah menorehkan intrik dan menjadi sedimentasi stigma baru dari publik terhadap pemerintah pada isu bergenre IT dan pornografi ini. Apalagi intrik serupa bukan kali ini saja terjadi dan tampak meninggalkan impresi yang serupa.

Lantas, mengapa intrik aksi-reaksi antara publik dan pemerintah dalam konteks terkait pornografi ini dapat eksis? Mungkinkah dilatarbelakangi substansi bernuansa politis tertentu di baliknya?

Pornografi Adalah “Senjata Politik”?

Agaknya terdapat cukup banyak sudut yang digunakan dalam memandang konteks bagaimana pemerintah dan masyarakat bereaksi atas isu pornografi secara komprehensif. Apalagi ketika isu tersebut beriringan dengan hal lain seperti teknologi informasi maupun landasan hukum yang membuatnya menjadi tak sederhana.

Ditambah, dalam tulisan yang berjudul Pornography and Censorship, Caroline West mengatakan bahwa isu pornografi disiratkan selalu menghadirkan atensi dan perdebatan sengit antara segmen yang konservatif, liberal, maupun mereka yang berideologi feminis dalam dimensi etis yang komprehensif.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Pada konteks pornografi itu sendiri, Frida L. Nilsson dalam Politics of Pornography: A critical human rights approach to the pornography legislation in Indonesia menjabarkan riset mengenai bagaimana peliknya merekonstruksi peraturan terbaik dan proporsional yang mengatur pornografi akibat faktor sosial dan politik di Indonesia.

Regulasi di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia mengenai pornografi, dikatakan adalah proyek nasionalis, yakni dalam hal upaya akomodatif untuk mempertahankan struktur agama tradisional mengenai seksualitas dan gender.

Tak hanya itu, pada praktiknya pornografi dalam berbagai dimensi – tak hanya regulasi – disebut Nilsson sebagai konsep yang diperebutkan secara signifikan. Terutama oleh berbagai kelompok dengan politik moral dalam agenda mereka, untuk mengisinya dengan makna khusus untuk tujuan mereka sendiri.

Sintesa Nilsson itulah yang kiranya dapat menyingkap bahwa secara spesifik isu mengenai pornografi secara lebih luas, kemungkinan dapat pula dijadikan semacam alat tertentu untuk tujuan politis, dengan cara dan skala penggunaan yang berbeda-beda.

Pun dengan himpunan atensi masif secara “impulsif” seperti yang dikemukakan oleh West sebelumnya, menjadikan di titik ini probabilitas isu pornografi sebagai alat tertentu yang dapat berguna secara politik tampaknya menemui relevansinya.

Mungkin hal itulah yang membuat di Indonesia sendiri, isu terkait pornografi tak dipungkiri kerap kali mendistorsi citra kubu maupun sosok yang ada dalam dunia politik dan pemerintahan.

Mantan Presiden Soekarno bahkan menjadi sampel historis yang disebut-sebut sempat berupaya dijegal dengan isu skandal pornografi oleh badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA. “Keintiman” dengan pihak komunis dituding mendasari pemanfaatan isu pornografi sebagai alat politik itu oleh AS.

Sementara di era kontemporer dan seiring dengan kemajuan teknologi informasi, trik yang “kotor” itu juga acapkali muncul untuk mendiskreditkan pihak tertentu dalam blantika politik, seperti mereka yang sedang dalam kontestasi elektoral maupun mereka yang sedang menjabat.

Selain untuk merusak citra pihak tertentu secara politik, isu pornografi juga tak jarang dikorelasikan dan menjadi salah satu taktik pengalihan isu. Sesungguhnya, tujuan mendistorsi citra pun tampaknya secara tidak langsung juga menjadi bagian dari proses pengalihan isu, ketika alat yang digunakan – yakni pornografi – dapat memantik sorotan tersendiri.

Dengan kata lain, isu mengenai pornografi tampaknya menjadi cukup aplikatif sebagai taktik politik tertentu pada berbagai level dimensi dan cara penggunaan yang beragam.

Lalu, apakah langkah cepat Kominfo dalam isu pornografi kekinian terkait dengan presumsi tersebut?

Taktik Politis atau Masalah Regulasi?

Satu hal yang mengganjal dari reaksi Kominfo atas penanganan cepat pada kasus pornografi yang disebut mirip dengan salah satu aktris ialah terkait dengan konsistensi.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Bukan rahasia lagi jika eksistensi konten bertendensi negatif, khususnya berbau pornografi serupa di jagat maya dianggap bagai cendawan di musim hujan. Variabel ini juga tampaknya menambah kekecewaan publik atas reaksi pemerintah melalui Kominfo akibat terkesan mendapat perbedaan penanganan.

Dari sinilah praduga mengemuka atas kemungkinan apakah isu pornografi tersebut hanya menjadi pengalihan isu semata berlandaskan basis perspektif yang dijelaskan sebelumnya?

Apalagi terdapat beberapa isu tersendiri yang memang dinilai masih belum “menguntungkan” bagi pemerintah sampai saat ini. Salah satunya ialah masih terus membaranya resistensi terhadap Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), yang hingga hari ini masih bermuara pada aksi unjuk rasa.

Belum lagi kepulangan Habib Rizieq Shihab yang dinilai menjadi penyeimbang yang menyulitkan bagi pemerintah. Utamanya berbagai narasi masif di media sosial yang cukup optimis bahwa sang Imam Besar akan berkontribusi pada kekuatan oposisi “penantang” pemerintah.

Kendati demikian, presumsi tersebut belum tentu benar adanya. Yang jelas, pemerintah melalui Kominfo memang telah berupaya menangkal segala hal negatif di jagat maya, termasuk pornografi yang jumlahnya sangat banyak dan membutuhkan energi ekstra.

Menurut anggota Komisi I DPR, Willy Aditya, menyiratkan bahwa Kominfo tak bisa menjadi aktor tunggal penangkal konten negatif di media sosial. Dirinya menyebut kementerian yang dipimpin oleh Johnny G. Plate itu dinilai mengalami kendala secara teknis dan yuridis.

Namun, disinggungnya regulasi terkait perlindungan data pribadi oleh Willy dinilai belum cukup. Terlebih ketika berbicara isu pornografi, yang barang tentu membutuhkan sinergi, optimalisasi, maupun perbaikan regulasi, baik itu terkait dengan informasi dan transaksi elektronik (ITE) maupun terkait pornografi itu sendiri.

Dan yang juga tak kalah penting, keseriusan juga harus ditunjukkan pada persoalan urgent lain yang relevan dengan tupoksi Kominfo seperti merespons kebocoran data, utamanya di e-commerce, yang dalam tiga tahun terakhir jumlahnya terus meningkat.

Kasus terakhir yang melibatkan 91 juta data pengguna dinilai kurang mendapat respons cepat Kominfo. Kasus yang terlihat berlarut tentu diharapkan segera diselesaikan dan diharapkan menjadi yang terakhir.

Hal itu juga tidak dapat dikesampingkan mengingat terus meningkatnya tren belanja maupun transaksi daring, di mana jika penyalahgunaan data terjadi, tak menutup kemungkinan merembet pada persoalan lain yang lebih serius.

“Penindakan” konten negatif di media sosial seperti pornografi pun harus dilakukan Kominfo secara konsisten dan menyeluruh. Tentunya agar tidak menimbulkan dugaan tertentu yang justru kontraproduktif terhadap tujuan positif pemerintah secara umum.

Bagaimanapun, sepak terjang Kominfo akan terus dinantikan di era pesatnya tantangan teknologi, informasi, dan komunikasi di Indonesia. Khususnya dalam menciptakan iklim digital yang progresif. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?