HomeNalar PolitikAbsensi Gatot, Tabuhan Genderang Psywar?

Absensi Gatot, Tabuhan Genderang Psywar?

Keengganan Gatot Nurmantyo untuk menghadiri pemberian penghargaan Bintang Mahaputera cukup menyita perhatian. Meskipun sejumlah alasannya telah diketahui, tampaknya tak lantas menutup pintu bagi beragam penafsiran politis lainnya. Lalu, apa kiranya yang dapat dimaknai di balik absensi Gatot tersebut?


PinterPolitik.com

Atmosfer kebanggaan dan antusiasme seharusnya eksis ketika seseorang diganjar dengan sebuah penghargaan. Utamanya, saat penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi tertinggi negara atas segala pengabdian yang telah dilakukan.

Namun tampaknya impresi universal tersebut kini sedikit berbeda bagi seorang Gatot Nurmantyo. Pasalnya, Gatot tak berkenan menghadiri penganugerahan Bintang Mahaputera Adipradana yang diberikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengabdiannya sebagai Panglima TNI periode 2015 hingga 2017.

Memang terdapat penerima penghargaan lain yang juga tak dapat hadir di Istana, seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Siwi Sukma Adjie, dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu.

Akan tetapi, alasan ketidakhadiran Gatot yang berbeda dari ketiga tokoh tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk disoroti karena jamak dinilai sarat akan motif politis.

Refly Harun sebagai sesama kolega di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), mengaku mendapat “bisikan” Gatot mengenai sejumlah alasan ketidakhadiran eks Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Gatot melalui Refly menyatakan bahwa keputusannya itu sebagai bentuk kepekaan dikarenakan masih banyak prajurit TNI yang saat ini tengah berjibaku membantu penanganan pandemi Covid-19.

Selain itu, alasan pamungkas Gatot disebutkan Refly ialah karena ada tugas negara yang diberikan Presiden padanya saat menjadi panglima TNI yang belum diselesaikan.

Tugas itu disebut sangat rahasia dan tidak boleh diungkapkan, kecuali Gatot sendiri yang mengatakannya. Refly mengatakan alasan inilah yang paling signifikan dan membuat Gatot memutuskan tidak hadir ke Istana Negara kemarin.

Meski begitu, situasi politik yang ada kiranya memang tak dapat dilepaskan begitu saja ketika Gatot selama ini tampil cukup vokal mengkritisi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Terlebih ketika sang mantan panglima tergabung dalam barisan KAMI.

Karenanya tak mengherankan bila pemberian penghargaan Bintang Mahaputera kepada Gatot, sejak awal dianggap sebagian kalangan merupakan upaya pemerintahan Jokowi untuk meredam kelompok yang berseberangan dengan Istana.

Lantas, apakah yang dapat dimaknai dari manuver Gatot itu jika memang dikatakan sarat dengan nuansa politis? Dan adakah motif personal lain dari manuver absensinya tersebut?

“Perang” Baru Saja Dimulai?

Frasa “perang” terlontar dari pakar komunikasi politik, Hendri Satrio ketika mengomentari ketidakhadiran Gatot dalam acara pemberian penghargaan oleh Istana kemarin.

Menurutnya, terdapat perang simbol yang memang terpampang dari intrik pemberian penghargaan yang berujung absensi Gatot sebagai sang penerima tersebut.

Meski pemberian penghargaan semacam itu adalah sebuah kelaziman, Hendri melihat intrik ini sebagai hasil dari manuver dengan tujuan politis tertentu, baik yang dilakukan oleh Gatot maupun pemerintah itu sendiri, dalam hal ini para pembisik presiden.

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

Namun demikian, benarkah intrik tersebut hanya sebatas perang simbol semata?

Dalam sebuah tulisan berjudul Psychological Operations: The Need to Understand The Psychological Plane of Warfare, Ryan Claw menjelaskan konsep psychological warfare atau psywar sebagai tindakan yang ditujukan untuk mempengaruhi nilai, kepercayaan, atau perilaku target ataupun audiens yang lebih luas dengan memanfaatkan reaksi psikologis tertentu.

Claw menyebut psywar tak hanya aplikatif sebagai bagian dari peperangan sesungguhnya, namun juga dapat digunakan di kancah dan bagi tujuan politik, tak terkecuali di level domestik.

Selain perang simbol seperti yang dikemukakan Hendri, psywar inilah yang kemungkinan juga baru saja dimulai pada level yang berbeda antara pemerintah dan Gatot sebagai representasi barisan yang berseberangan dengan pemerintah.

Bagi pemerintahan Presiden Jokowi, pemberian penghargaan kepada Gatot pada sisi berbeda tampaknya dapat diterjemahkan sebagai upaya aji mumpung untuk “berdamai” dengan segmen yang selama ini kritis.

Hal ini disoroti oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno yang menyebut selain berdamai, pemerintah ingin menunjukkan bahwa tidak ada jarak psikologis antara penguasa dan mereka yang berseberangan.

Kendati demikian, frasa “berdamai” kiranya dapat pula bermuara pada “melemahkan” dari efek psikologis yang ditimbulkan. Artinya, reaksi pelemahan itulah yang mungkin saja juga diharapkan muncul dari manuver pemberian penghargaan jika mengacu pada konteks psywar yang Claw sebutkan, serta apa yang dikemukakan Hendri sebelumnya.

Sementara dari sisi Gatot, manuver ketidakhadirannya bisa saja juga merupakan bagian dari psywar balasan. Walaupun ketidakhadirannya terkesan “sopan” karena terlebih dahulu berkirim surat ke Istana, tak menutup kemungkinan bahwa ada efek psikologis khusus yang ingin diciptakan dari absensinya itu.

Yang pertama tentu sebagai kontra narasi dari kesan akan dilemahkan. Dengan ketidakhadirannya itu, Gatot tampaknya ingin mempertahankan soliditas psikologis personalnya dan juga KAMI yang selama ini cukup tajam sikapnya kepada pemerintah.

Hal berikutnya mungkin adalah konteks penghargaan itu sendiri yang ditujukan atas kapasitasnya sebagai mantan Panglima TNI. Gatot dinilai ingin menunjukkan plus mempertahankan impresi psikologis atas klaimnya selama ini, bahwa “kejatuhan” dari jabatan Panglima TNI akibat alasan yang bernuansa politis di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi pada 2017 silam.

Oleh karenanya, presumsi mulai mengemukanya psywar pada level berbeda antara Gatot sebagai cerminan kubu oposisi, dan pemerintahan Presiden Jokowi tampak menemui relevansinya. Intrik ini juga seolah mempertahankan atmosfer divergensi antara kedua belah pihak.

Nuansa konfrontatif antara dua kubu, yakni sosok eks jenderal dan pemerintah memang bukanlah hal langka. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, tiga eks Joint Chiefs of Staff yakni Martin Dempsey, Colin Powell, sampai Mike Mullen kerap bermanuver dengan mengkritik keras kebijakan administrasi Presiden Donald Trump, utamanya soal pertahanan dan keamanan.

Baca juga :  Adu Mekanik Endorse Anies vs Jokowi

Di era Orde Baru pun, terdapat sejumlah nama mantan jenderal yang berseberangan dengan pemerintah. Mulai dari A.H. Nasution hingga Ali Sadikin yang ketika itu tak ragu berhadapan dengan Soeharto dalam tajuk Petisi 50.

Namun pertanyaannya, selain kemungkinan psywar, apakah terdapat hal lain yang ingin ditunjukkan Gatot secara personal dari manuver absensinya itu?

Reputasi Adalah Segalanya?

Armen Aghabekov dalam The Importance of Reputation in Politics mengatakan bahwa reputasi dalam politik adalah segalanya, dan untuk mendapatkan perhatian serta simpati publik, segala cara akan dilakukan untuk meningkatkan kredibilitasnya.

Pada konteks Gatot, ketidakhadiran dalam pemberian penghargaan tersebut kiranya juga dapat dilihat dari bagaimana selama ini sang eks Panglima TNI membentuk reputasinya.

Saat masih berdinas, masih lekat dalam memori mereka yang mengikuti dunia militer tanah air bahwa Gatot bisa dibilang adalah sosok dengan reputasi tersendiri. Saat akan diberikan brevet komando kehormatan dari Kopassus, alih-alih hanya menerimanya begitu saja, Gatot memilih untuk mengikuti rangkaian pendidikan pasukan elite TNI itu, meski hanya selama tiga minggu dari tujuh bulan pendidikan seharusnya.

Kiranya variabel tersebut cukup dapat mendefinisikan bagaimana reputasi Gatot jika direfleksikan pada pemberian penghargaan yang oleh sejumlah kalangan, mungkin termasuk Gatot sendiri, dianggap memiliki tujuan politis tertentu.

Apalagi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penghargaan yang ditujukan atas jasanya sebagai Panglima TNI mungkin dianggap Gatot kontraproduktif jika secara terbuka Ia terima begitu saja. Mengingat Gatot pernah mengklaim jika ada alasan politis tertentu ketika dirinya diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima TNI tiga tahun silam.

Selain itu, secara personal mantan KSAD itu agaknya ingin menghindari beban resiprokal seperti apa yang dikatakan Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly, atas diberikannya penghargaan itu. Beban inilah yang bisa saja merusak reputasi Gatot jika harus Ia tanggung di kemudian hari.

Bagaimanapun, Gatot secara personal ialah sosok yang diperhitungkan dalam bursa kontestasi elektoral kepala negara tahun 2024 mendatang. Dan dalam perjalanan menatapnya, reputasi dinilai menjadi sangat esensial bagi Gatot dalam setiap langkah dan keputusannya yang erat kaitannya dengan konstelasi politik tanah air.

Oleh karena itu, dinamika politik selanjutnya antara pemerintah dan barisan oposisi pasca ketidakhadiran Gatot dalam pemberian penghargaan oleh negara, kiranya akan menjadi cukup menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).