Keputusan Presiden Jokowi untuk menggratiskan vaksin Covid-19 bagi masyarakat Indonesia menuai sambutan positif dari berbagai kalangan. Namun, mengapa akhirnya vaksin digratiskan mengingat sebelumnya sempat muncul kesan ada kendala masalah keseimbangan anggaran?
Sepanjang hari kemarin, atmosfer euforia seolah mewarnai tiap sudut jagat maya dan lini masa. Tampak pula seperti sebuah reaksi yang cukup langka ditemukan ketika konteksnya terkait dengan respons kolektif terhadap kebijakan pemerintah sepanjang 10 bulan pandemi.
Itu semua terjadi setelah angin segar datang dari Istana, di mana kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhirnya menjamin pemberian vaksin Covid-19 kepada masyarakat Indonesia tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Sebelumnya, sekitar 75 juta masyarakat Indonesia diminta untuk membayar sendiri vaksin Covid-19. Alasannya, Indonesia disebut memiliki keterbatasan anggaran dan hanya sanggup menyediakan vaksin secara percuma kepada 104 juta penduduk penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Hal tersebut sempat menuai beragam tanggapan publik yang sebagian besar kecenderungannya bertendensi minor. Mulai dari mereka yang mempertanyakan tanggung jawab pemerintah, berbicara proporsi keadilan, hingga tudingan tak memenuhi amanah konstitusi.
Kemudian itu semua tampak pudar saat eks Gubernur DKI Jakarta itu menyampaikan pengumuman, yang sekaligus memastikan pula bahwa dirinya akan menjadi orang pertama dari data 182 juta penduduk yang direncanakan akan divaksin.
Presiden juga langsung menginstruksikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk memprioritaskan dan merealokasi anggaran untuk ketersediaan vaksin Covid-19.
Untuk sementara, pemerintah Indonesia diketahui telah mengakuisisi 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 dari Sinovac. Saat ini vaksin tersebut masih menunggu izin penggunaan darurat dari BPOM plus verifikasi kehalalan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Vaksin tersebut akan diberikan dalam dua dosis per individu, yang artinya tahap pertama vaksinasi kemungkinan besar baru dapat dinikmati oleh 600 ribu masyarakat.
Baca juga: Vaksin Covid-19, Indonesia Proyek Beta?
Sementara pada sisi berbeda, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejauh ini menyebut bahwa 155 juta dosis vaksin telah “diamankan”. Sisanya, yang cukup banyak, terus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan target vaksinasi Indonesia.
Menarik ketika berbicara Kementerian BUMN yang sebelumnya menjadi salah satu episentrum persepsi minor publik atas vaksin berbayar.
Dengan holding BUMN memang diketahui terlibat dalam pengadaan vaksin dan keperluan vaksinasi Covid-19, vaksin mandiri dinilai dapat berkontribusi menyehatkan holding BUMN farmasi di kancah industri farmasi nasional.
Itulah yang kemudian membuka ruang pertanyaan tersendiri, mengapa pada akhirnya Presiden Jokowi memutuskan untuk menggratiskan vaksin Covid-19 meskipun realita sebelumnya tampak mengindikasikan eksistensi kendala anggaran, tarik menarik prioritas, maupun teknis pengadaan antivirus itu sendiri?
Populisme Jokowi Kembali?
Harus diakui, ada kesan berbeda memang yang diimpresikan Presiden Jokowi setelah mengumumkan gratisnya vaksin Covid-19. Ini seolah sedikit kontras dengan sejumlah kebijakannya ke belakang yang dinilai cenderung menjauhi karakter yang terkonstruksi di awal karier politiknya.
Wasisto Raharjo Jati, seorang pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya, menilai jika kepemimpinan Jokowi di periode kedua sangat berbeda. Dirinya menyebut bahwa di periode pamungkasnya ini RI-1 dapat dikatakan jamak mengambil kebijakan non-populis.
Postulat demikian nyatanya sempat diafirmasi oleh Medan Merdeka Utara. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengamini tendensi yang menyebut Presiden Jokowi memang berani mengambil kebijakan yang non-populis, namun dengan justifikasi kepentingan rakyat.
Lalu, apakah keputusan yang menggembirakan soal vaksin itu berarti bahwa populisme mantan Wali Kota Solo itu telah kembali?
Berkaca pada reaksi positif yang tercermin di lini masa dan berbagai media, mungkin saja hal itu benar adanya. Dalam Populism, A Very Short Introduction, Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser menyebutkan salah satu karakteristik populisme yakni populisme sebagai gaya politik folklor.
Dalam pengertian itu, populisme bertujuan memaksimalkan perhatian media dan dukungan rakyat. Aktor populis juga tampak menampilkan diri mereka tidak hanya sebagai sosok yang berbeda, namun juga sebagai pemimpin pemberani yang berdiri bersama rakyat.
Dan jika definisi tersebut disandingkan dengan latar belakang yang secara tersurat disampaikan Presiden Jokowi dalam pengumumannya, tampaknya kecenderungan itu memang berbanding lurus.
Jika diamati dengan saksama, Presiden Jokowi menyatakan tiga pertimbangan atas penggratisan vaksin Covid-19 untuk masyarakat luas. Pertimbangan itu antara lain masukan dari masyarakat, kalkulasi ulang, dan penghitung ulang mengenai keuangan negara.
Baca juga: Jokowi Dalam Pusaran Proksi Vaksin?
Dengan kata lain, prasyarat itu tampak menjawab sejumlah respons minor ketika pertama kali muncul wacana vaksin Covid-19 tak semuanya dapat diakses secara cuma-cuma.
Selain itu, Presiden Jokowi juga terbilang cepat dan lugas membuat keputusan vaksin gratis. Tentu jika dibandingkan dengan aksi-reaksi serupa pada beberapa kebijakan yang diserap negatif oleh publik seperti penerbitan Perppu KPK, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hingga Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang bahkan terkesan buntu di Istana.
Selain terlihat sangat positif dari segi menjawab keresahan publik, secara momentum, keputusan Jokowi agaknya memang cukup tepat secara politis. Perspektif ini yang mungkin dapat sedikit menyingkap gercep-nya keputusan vaksin gratis Covid-19.
Dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, Marcus Mietzner menyebutkan bahwa karakter populis yang dimiliki Presiden Jokowi cenderung merupakan populisme yang “beraliran” pragmatis.
Jika memang benar demikian, mungkin saja keputusan cepat Presiden Jokowi pada sisi berbeda juga ingin sedikit mengikis preseden minor atas sejumlah isu kekinian, seperti kasus rasuah sensitif mengenai bantuan sosial (bansos) Covid-19, maupun penanganan pandemi itu sendiri yang masih dinilai belum optimal, misalnya dalam melakukan tes harian.
Pada case terakhir, Indonesia sendiri memang masih dibilang tertinggal dari negara lower middle income lain seperti Ghana, Nepal, Bangladesh, maupun Filipina.
Komparasi eksternal itu juga relevan pada konteks vaksinasi Covid-19 ketika kritik awal vaksin berbayar atau mandiri, disandingkan dengan beberapa negara yang menggratiskan vaksin seperti India maupun Singapura.
Namun demikian, tendensi pragmatis itu tentu hanya sebuah kemungkinan di atas kertas semata. Yang jelas apresiasi tetap harus diberikan atas keputusan cepat dan kemungkinan kembalinya populisme Jokowi yang berpihak pada masyarakat.
Terlepas dari itu, pada dimensi yang berbeda, apakah keputusan Presiden Jokowi akan menimbulkan konsekuensi tertentu, terutama pada aspek penghitungan keuangan negara yang juga disampaikan oleh sang Kepala Negara?
Tugas Berat Sri Mulyani?
Pada kesempatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-20 Indian Ocean Rim Association (IORA) Leaders’ Summit 2017 lalu, Presiden Jokowi sempat berujar “Behind every great man, there is great woman. Di belakang pria yang hebat, ada wanita yang hebat”.
Pepatah itu yang mungkin relevan untuk melihat efek lanjutan dari keputusan Presiden Jokowi menggratiskan vaksin Covid-19.
Ya, persoalan anggaran sejak awal langsung mengiringi ketika Jokowi menginstruksikan Menkeu Sri Mulyani untuk mempersiapkan anggaran untuk agenda nasional itu.
Saat wacana vaksin masih berbayar, Juru Bicara (Jubir) Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, vaksin belum dapat diberikan secara gratis kepada seluruh penduduk karena terdapat kebutuhan anggaran untuk sektor lain.
Baca juga: Jokowi dan Jebakan Vaksin Tiongkok
Bansos, pendidikan, hingga pelayanan kesehatan lain plus kebutuhan dalam penanggulangan Covid-19 itu sendiri disebut masih sangat membutuhkan dukungan anggaran yang memadai.
Sampai saat ini sendiri, Kemenkeu dan Sri Mulyani belum secara gamblang menyebutkan anggaran pasti vaksinasi gratis. Namun Ani, sapaan akrab Menkeu, sebelumnya menyatakan pemerintah menyiapkan anggaran Rp 60,5 triliun untuk pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19 di Indonesia.
Anggaran itu disiapkan demi pengadaan lanjutan selain 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang telah masuk ke Indonesia.
Namun Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani, menyebut bahwa pihaknya masih akan terus mengkaji perhitungannya berdasarkan perkembangan terbaru yang dinamis dari Kemenkes.
Dilansir Kontan, untuk vaksinasi secara hitungan kasar, Menkeu harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp 114,2 triliun. Alokasi itu pun masih di luar tarif impor, biaya laboratorium, biaya tenaga medis, distribusi, penelitian dan sebagainya.
Pemerintah sendiri menganggarkan belanja negara sebesar Rp 2.750 triliun pada 2021, dengan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp1.032 triliun. Artinya, estimasi kebutuhan dana untuk vaksinasi gratis ke seluruh masyarakat hanya sekitar belasan persen dari total belanja K/L tahun depan.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, jika dikalkulasi, ruang fiskal untuk menggratiskan vaksin masih sangat cukup, bahkan tanpa harus berutang. Tinggal menurutnya, apakah secara politik anggaran mau apa tidak untuk diimplementasikan.
Dan dengan semangat dan atmosfer positif yang tercipta dari Presiden Jokowi saat mengumumkan vaksin gratis Covid-19, agaknya kebijakan itu kali ini tak akan sampai membuat Sri Mulyani “sakit perut”, seperti saat dirinya merespons kebijakan RI-1 pada konteks Kartu Pra Kerja di tahun 2019 silam.
Tinggal sekarang ke depan bagaimana Presiden Jokowi dapat konsisten pada kebijakan maupun keputusan terkait lainnya yang dapat memuaskan publik secara luas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Vaksin Harapan Jokowi, Apa Salahnya?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.