Dengan manuver terbarunya untuk menjamin penangguhan penahanan terhadap HRS, Amien Rais tampak masih cukup aktif terlibat langsung dalam isu politik pemerintahan terkini. Lalu, ambisi apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh sang Lokomotif Reformasi itu?
Tinggal menghitung pekan bagi Amerika Serikat (AS) untuk secara resmi memiliki kepala negara baru. Pada 20 Januari 2021 mendatang atau saat pelantikannya, Joe Biden akan ditasbihkan menjadi presiden tertua dalam sejarah AS.
Meski begitu, selama kampanyenya Biden dinilai masih memperagakan performa fisik dan kemampuan narasi politik yang cukup baik meski secara usia mulai memasuki periode senja.
Dalam sebuah kesempatan wawancara bersama The New York Times, Biden menyebut bahwa dirinya masih memiliki kapabilitas kognitif dan energi yang mumpuni untuk memimpin rakyat AS.
Di tanah air, determinasi yang ditunjukkan Biden itu tampaknya mengilhami sosok yang juga telah cukup senior di kancah politik nasional, Amien Rais. Sebagai salah satu tokoh prominen dan legenda hidup reformasi, Amien masih kerap menunjukkan eksistensinya dalam isu-isu politik kekinian.
Setelah terkesan terdepak secara halus dari PAN – partai yang notabene didirikannya sendiri – Amien tak lantas redup dan bahkan mendirikan kendaraan politik baru bernama Partai Ummat.
Tak cukup dengan langkah itu, Amien juga masih aktif bersuara dan bahkan turut bermanuver dalam dinamika politik dan pemerintahan saat ini. Yang teranyar, dalam satu hari kemarin, dirinya bahkan melakukan dua manuver sekaligus.
Pada sebuah pernyataan pers di salah satu bilangan Jakarta Pusat, Amien meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak lagi melakukan politik yang memecah belah bangsa.
Amien pun lantas mengajukan tawaran yang agaknya cukup tendensius kepada eks Gubernur DKI Jakarta itu, yakni untuk mundur dari jabatannya atau melakukan rekonstruksi ulang negara.
Sebelumnya, di hari yang sama, politisi kawakan tanah air itu menyambangi Bareskrim Mabes Polri. Amien datang untuk menyerahkan surat kepada Kapolri Jenderal Idham Azis yang berisi pernyataan kesiapan dirinya menjadi penjamin penangguhan penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Baca juga: Tanpa Amien Rais, Kuatkah PAN?
Menariknya, langkah maupun manuver politik Amien itu secara kasat mata tampak kurang memiliki signifikansi yang begitu besar.
Kecenderungan tersebut agaknya tepat jika merefleksikan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, yang menyebut bahwa karier politik Amien cenderung meredup beberapa tahun terakhir.
Lantas pertanyaannya, mengapa Amien Rais masih kerap berinisiatif atau bersikukuh untuk terus aktif bermanuver secara politik saat ini?
Pertarungan Pamungkas Amien?
Untuk melihat latar belakang manuver Amien Rais pada sejumlah isu politik belakangan ini, menganalisa ambisi apa yang kiranya dimiliki generasi pertama cendekiawan Muslim Indonesia dari Universitas Chicago itu dapat menjadi pintu masuk yang tepat.
Dalam A Theory of Political Ambition: Career Choices and the Role of Structural Incentives, Gordon S. Black menjabarkan teori ambisi politik dengan mengutip seorang profesor ilmu politik di Michigan State University, Joseph A. Schlesinger. Menurutnya, asumsi utama teori ambisi politik adalah bahwa perilaku seorang politisi merupakan respons atas tujuan politik yang ingin dicapainya.
Pada konteks ini, motif dan hasrat seorang politisi dibentuk oleh opportunity structure atau ketersediaan peluang politik struktural. Yang mana ihwal itu terdiri dari relevansi atas situasi politik yang sedang terjadi serta kalkulasi politik yang diestimasi.
Bagi Amien Rais, ketersediaan peluang politik struktural untuknya saat ini agaknya sedikit banyak membentuk ambisi politik pribadinya. Pertama jika dilihat dari segi situasi politik yang terjadi saat ini, Amien yang kerap terlihat melantunkan kritik kepada Presiden Jokowi tampak berbanding lurus dengan sikapnya saat bermanuver di saat Orde Baru (Orba).
Karakteristik pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sendiri memang acapkali disebut identik dengan era Soeharto, persis seperti apa yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti.
Presiden Jokowi dinilai mengakumulasi kekuasaan pada satu tangan, yang tercermin dari dukungan mayoritas di DPR. Selain itu, Ray melihat similaritas tipikal yaitu dari aspek stabilitas politik dalam penegakan hukum yang disebut terlalu mudah melakukan penangkapan dan kriminalisasi.
Hal yang serupa mungkin saja dilihat Amien Rais sebagai kesamaan struktural yang kemudian berkontribusi membentuk ambisi politiknya kini.
Baca juga: Menguak Logo Ummat ala Amien Rais
“Melawan” Soeharto sendiri adalah manuver yang membuat kiprah politik Amien berkibar. Sepak terjangnya dimulai saat dirinya beranjak dari kampus sepulang dari AS dan berkelana untuk bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Muhammadiyah, serta beberapa organisasi lainnya.
Pemikiran kritisnya kemudian semakin terlihat memasuki dekade 90-an jelang berakhirnya rezim Orba. Dan dapat ditebak, sikapnya itu kemudian membuatnya terpental dari jabatan ketua Dewan Pakar ICMI.
Sebagai sosok yang juga erat dengan nilai Islamis, paradigma politik Amien juga tak dapat dilepaskan dari aspek religiusitas. Melihat betapa kuatnya Orba dengan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)-nya, perjuangan politik Amien kala itu disebut menekankan pada desakralisasi lembaga kepresidenan, dengan mengedepankan pendekatan nasionalis-Islamis yang demokratis.
Hasilnya cukup positif bagi Amien. Manuvernya dinilai berkontribusi menumbangkan Soeharto sekaligus membuat karier politiknya melejit saat mulai masuk ke dalam sistem.
Gagasan Amien dinilai juga memberikan pengaruh yang besar di blantika politik nasional dan stabilitas negara. Salah satunya dengan membentuk Poros Tengah saat persaingan politik nasional memanas untuk memperebutkan kursi kepresidenan setelah BJ Habibie.
Julukan King Maker juga sempat direngkuh ketika merujuk pada besarnya peran Amien dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001, sebelum kemudian kiprahnya meredup pasca Pilpres 2004.
Oleh karena ketersediaan politik struktural berdasarkan aspek historis itulah yang mungkin membuat Amien Rais saat ini kembali berambisi dalam tahap mencari relevansi bagi dirinya di kancah politik nasional.
Entah sebagai seorang King Maker, konseptor, atau kembali ke dalam sistem, yang jelas perjuangan dan manuvuer Amien bukan tidak mungkin merupakan sebuah one last fight atau pertarungan pamungkas, sebagaimana Toru Takahashi menggambarkan manuver politisi senior Malaysia, Mahathir Mohamad di kancah persaingan politik negeri Jiran.
Namun demikian, dengan manuver yang telah terlihat sejauh ini, apakah Amien Rais dapat mengulangi kesuksesannya di masa lalu?
Moderasi, Tantangan Berat Amien?
Biden, Mahathir, dan Amien Rais, merupakan deretan politisi yang memiliki kesamaan dalam hal senioritas. Ihwal yang di satu sisi dapat menjadi keuntungan, namun di saat yang sama dapat menjadi bumerang bagi yang tak dapat mengelolanya dengan baik.
Hal itu disoroti Jeffrey Beneker dalam Should an old man engage in politics?. Diskursus tentang usia politisi memang sensitif dan bersifat personal, namun bukanlah hal baru. Plutarch atau Plutrkhos seorang filsuf Yunani yang hidup pada masa puncak kekaisaran Romawi, bergulat dengan masalah yang sama hampir dua ribu tahun yang lalu.
Pada intinya Plutarch tetap melihat politisi yang lebih tua tetap pantas terlibat dalam politik karena dinilai memiliki pengalaman dan urgensi moral yang lebih baik.
Kendati begitu, Beneker melihat ada situasi yang menjadikan old politician menjadi tak relevan di ranah politik kontemporer. Pertama, terkait dengan campur tangan yang terlalu intensif yang seolah ingin mendominasi. Kedua, mengenai kurangnya sensibilitas untuk memoderasi perspektif dan sikap terhadap isu politik yang tengah berkembang.
Fokus dari Beneker inilah yang kiranya menjadi tantangan besar bagi Amien Rais dalam upaya mencari ruang dan relevansi politik bagi dirinya sendiri.
Saat bergabung dengan tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 lalu, Amien tampak mencerminkan peningkatan level konservatisme. Ihwal yang ternyata bertahan hingga kini dan terlihat dari bagaimana reaksinya mulai dari pendirian Partai Ummat hingga sokongan moral terhadap HRS.
Perkara yang mungkin dapat membuat ketokohan dan karismanya stagnan, atau bahkan kontraproduktif, jika dibandingkan tokoh-tokoh beraliran serupa yang lebih segar dan tampak lebih cekatan bermanuver dibandingkan Amien.
Padahal, jika memang ambisinya ialah satu tempat di hati publik secara politik, akan lebih menguntungkan kiranya jika Amien eksis dengan strategi yang lebih inklusif dan moderat. Apalagi track record Amien juga identik dengan hal itu saat reformasi.
Namun demikian, ambisi di balik manuver Amien Rais di atas masih sebatas analisa semata. Tak ada yang keliru dari langkah Amien selama tetap bertujuan membawa perubahan lebih baik bagi bangsa tanpa bertendensi eksklusivitas aliran tertentu.
Oleh karenanya, akan sangat menarik melihat dinamika politik yang terjadi dari manuver politik Amien Rais ke depannya. (J61)
Baca juga: Amien Rais Sudah Selesai?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.