Keputusan Prabowo Subianto masuk ke koalisi Jokowi telah membuatnya kehilangan pendukung dari kelompok Islam, seperti FPI dan PA 212. Lalu, OTT KPK yang menjerat eks MenKP Edhy Prabowo juga disebut memiliki preseden buruk atas elektabilitas Gerindra. Apakah sudah waktunya Prabowo menjadi King Maker seperti Megawati?
PinterPolitik.com
Saat ini Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden boleh jadi merupakan sosok paling diperhatikan penduduk bumi. Ini tidak terlepas dari keberhasilannya mengalahkan Donald Trump dalam Pilpres AS 2020.
Melihat perjalanan karier politiknya, Biden tampaknya sangat pantas dilabeli sebagai sosok ambisius dan pejuang keras. Bagaimana tidak? Keberhasilannya menjadi Presiden AS saat ini adalah mimpi yang tertunda selama 32 tahun lamanya.
Ya, pada tahun 1988 Biden memutuskan bertarung di gelaran Pilpres AS, tapi kemudian mundur setelah mengaku menjiplak pidato pemimpin Partai Buruh Inggris, Neil Kinnock. Pada 2008, Biden kembali mencoba peruntungannya, namun kembali harus menggigit jari karena Partai Demokrat lebih memilih Barack Obama.
Kini perjalanan panjang itu terbayarkan. Ambisi Biden menjadi Presiden AS benar-benar menjadi kenyataan.
Di Indonesia, ambisi politik seperti itu dapat kita lihat dalam diri Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto. Ambisi tersebut setidaknya sudah terlihat sejak 2004 lalu. Kala itu, Prabowo yang masih tergabung dalam Partai Golkar berupaya maju sebagai kandidat presiden harus menggigit jari karena konvensi dimenangkan oleh Wiranto.
Pada 2009, Prabowo kembali mencoba maju bersama Soetrisno Bachir, namun gagal mendapatkan kursi dukungan. Tidak putus semangat, mantan Danjen Kopassus ini melakukan manuver cepat, dan akhirnya berhasil maju mendampingi Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Di Pilpres 2014 dan 2019, kita mengetahui Prabowo kembali maju, namun harus tumbang dari Joko Widodo (Jokowi).
Baca Juga: Biden Ganjal Prabowo Maju di 2024?
Kini, dengan Jokowi tidak lagi dapat maju, serta belum adanya kandidat yang dinilai dapat menyaingi popularitasnya, Pilpres 2024 disebut-sebut menjadi kesempatan emas bagi Prabowo untuk menjadi RI-1.
Namun, konstelasi politik justru berjalan mengejutkan. Alih-alih bertahan sebagai oposisi untuk menjaga pendukungnya, Prabowo justru membawa Gerindra bergabung ke koalisi Jokowi.
Tidak heran kemudian kelompok Islam yang sebelumnya mendukung seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 disebut kecewa dengannya. Lalu, kasus rasuah yang menimpa salah satu kader terbaik Gerindra, yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo dinilai berimbas pada elektabilitas Prabowo dan partai kepala garuda.
Lantas, apakah sudah waktunya Prabowo mendukung kandidat lain untuk maju di Pilpres 2024?
Kesukaran Pilihan Rasional
Dalam wawancaranya bersama PinterPolitik, politisi Gerindra Arief Poyuono memberikan penegasan lugas terkait peluang Prabowo selepas Edhy terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, kasus itu adalah indikasi karier Prabowo telah selesai. Itu tidak hanya memengaruhi elektabilitasnya, namun juga membuktikan dirinya tidak mampu untuk mengondisikan anak buahnya untuk tidak melakukan korupsi.
Dalam wawancara PinterPolitik sebelumnya bersama dengan pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam, terdapat penegasan menarik juga yang disampaikan terkait kasus rasuah yang menimpa Edhy.
Menurutnya, sudah seharusnya Prabowo berhenti menjadi “anak panah” dan mulai menjadi sosok di belakang layar. Ini karena Mantan Pangkostrad tersebut dilihat kerap berhasil mengorbitkan kandidat sebagai pemenang.
Nah, variabel-variabel yang telah dikumpulkan ini akan kita petakan menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory). Rafael Wittek dalam tulisannya Rational Choice Theory menyebutkan teori pilihan rasional mengasumsikan individu dapat merumuskan putusan rasional terkait dengan tujuan yang hendak dicapai – disebut rational behavior.
Menurut Wittek, individu rasional memiliki tiga asumsi penting. Pertama, individu memiliki preferensi egois, atau mementingkan dirinya sendiri. Kedua, individu memaksimalkan utilitasnya. Ketiga, keputusan individu bertolak dari informasi yang lengkap.
Teori pilihan rasional ini kemudian diterapkan dalam permodelan ekonomi, khususnya ekonomi makro dan dalam teori permainan (game theory). Akan tetapi, sama halnya dengan perkembangan teori permainan, teori pilihan rasional juga memiliki persoalan vital, yakni bagaimana informasi lengkap dapat dimiliki oleh individu?
Baca Juga: Pilkada 2020: Trust for Sale?
Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century juga menegaskan bahwa manusia kerap merasa dirinya mengetahui segala hal, padahal ketidaktahuan jauh melebihi apa yang diketahui. Lebih parahnya, kita kerap tidak sadar atas ketidaktahuan itu sendiri.
Selain persoalan tersebut, dalam perkembangan studi kognitif, temuan bahwa bias adalah inheren dalam diri manusia menjadi tantangan serius terhadap teori pilihan rasional ataupun asumsi individu rasional.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menyebutkan salah satu bias utama yang kerap melanda mereka yang tengah mengejar tujuan adalah survivorship bias. Ini adalah bias yang membuat seseorang terlalu tinggi menaksir kesuksesannya.
Dobelli misalnya menulis, “Behind every popular author you can find 100 other writers whose books will never sell”. Kira-kira maksudnya, di balik kesuksesan seseorang, terdapat begitu banyak sosok gagal yang tidak kita ketahui.
Perlu Meniru Megawati?
Setelah memahami persoalan tersebut, sekarang kita kembali pada teori rasional. Katakanlah Prabowo tidak memiliki informasi yang lengkap tentang situasi politik yang ada, seperti massa dukungan ataupun dukungan parpol, maka dapat disimpulkan keputusan Prabowo nantinya sulit disebut sebagai putusan rasional.
Apalagi, jika Prabowo sampai terjebak dalam survivorship bias, besar kemungkinan itu membuatnya tetap yakin untuk maju di Pilpres 2024, meskipun fakta-fakta politik yang ada sebenarnya tidak mendukung.
Di sini, Prabowo sekiranya perlu untuk melakukan evaluasi total dan melihat strategi yang digunakan oleh Megawati. Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President menyebutkan bahwa pada Pilpres 2014 lalu, berbagai petinggi PDIP sebenarnya tidak begitu menyukai Jokowi. Namun, karena elektabilitasnya tinggi, Megawati terpaksa memilihnya sebagai calon presiden.
Baca Juga: Golkar, Partai Jokowi Selanjutnya?
Jika temuan Suryadinata benar adanya, maka dapat dikatakan Megawati telah melakukan pilihan rasional. Besar kemungkinan putri Soekarno tersebut telah memperhitungkan peluangnya yang tidak begitu besar untuk menang, yang mana ini bertolak dari hasil Pilpres sebelumnya.
Pun begitu dengan tidak terjebak dalam survivorship bias, sehingga berbesar hati mendukung Jokowi kendati awalnya terdapat penolakan dari internal PDIP.
Sekarang sekiranya terbukti, Megawati telah menjadi King Maker. Keberhasilan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua kali menjadi RI-1 berturut-turut tidak terlepas dari dukungannya.
Nah sekarang pertanyaannya, apakah Prabowo harus mempertimbangkan untuk mengusung kandidat lain seperti yang dilakukan Megawati? Di sini kandidat paling potensial bagi Prabowo tentunya adalah Sandiaga Uno.
Baru-baru ini, Sandi bahkan terpilih sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menggantikan Wisnuthama. Tentunya, itu menjadi batu loncatan yang sangat baik baginya untuk mendulang popularitas dan elektabilitas. Apalagi, pada 15 Januari lalu, Jokowi juga pernah memberi sinyal dukunga kepada Sandi untuk maju di Pilpres 2024.
Jika memperhitungkan berbagai variabel yang ada, seperti kekecewaan FPI dan PA 212, kasus rasuah Edhy, serta kegagalan masa lalu di Pilpres, Prabowo mungkin sudah seharusnya menjadi King Maker bagi Sandi – atau kandidat potensial lainnya.
Akan tetapi, apabila sampai 2022 atau 2023 belum terdapat kandidat lain yang menyaingi popularitas dan elektabilitas Prabowo, Pilpres 2024 boleh jadi akan menjadi kemenangan bagi Ketum Gerindra tersebut. Seperti Biden, mungkin nantinya ambisi Prabowo untuk menjadi Presiden akan benar-benar terealisasi. Mari menunggu dua sampai tiga tahun lagi. (R53)