Secara terbuka Jusuf Kalla (JK) mengakui dirinya berperan dalam pencalonan Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta 2017. Menariknya, JK menilai karisma Habib Rizieq Shihab (HRS) hanya bersifat sementara dan tidak menentukan Pilpres 2024. Mungkinkah pengaruh HRS selama ini dinilai berlebihan alias overrated?
Semenjak Rizal Ramli (RR) tampil di Youtube Karni ilyas, nama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tampaknya menjadi perbincangan hangat tersendiri. Dengan gamblang, RR mengungkapkan JK adalah sosok yang mengganjalnya untuk bertahan di kursi Istana.
Selaku mantan wartawan, Bang Karni lantas menerapkan prinsip cover both side dengan mewawancarai JK. Dalam wawancaranya dengan Presiden Indonesia Lawyers Club (ILC) itu, mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar tersebut membantah pernyataan RR dengan menyebut pencopotannya justru atas arahan presiden.
Semenjak itu, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba nama JK berseliweran di media-media nasional karena disebut sebagai the man behind atas peristiwa politik terkini. Bayangkan saja, dirinya disebut-sebut berperan dalam kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) dan penangkapan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo. Tentu saja, itu dibantah kemudian.
Namun menariknya, baru-baru ini JK sendiri yang justru mengakui bahwa dirinya memang berlaku sebagai the man behind. Dalam pengakuannya ketika diwawancarai oleh Pemimpin Redaksi Berita Satu, Claudius Boekan, JK menyebut dirinya berperan dalam pencalonan Anies Baswedan pada Pilgub DKI Jakarta 2017.
Hebatnya, 12 jam sebelum penutupan pendaftaran, JK menelepon Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua PKS, dan berhasil meyakinkan mereka untuk mendukung Anies karena menilai kemenangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat mengakibatkan keributan politik, serta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat terkena imbasnya.
Tidak kalah menarik, JK juga turut mengomentari HRS. Menurutnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut bukanlah penentu di Pilpres 2024 karena karismanya disebut bersifat sementara dan adanya faktor silent majority.
Jika pernyataan JK benar adanya, mungkinkah itu menunjukkan selama ini pengaruh HRS terlalu dinilai berlebihan alias overrated?
Karisma HRS dan Hiperrealitas
Jika ditanya dari mana mengetahui sosok HRS, mereka yang tidak berada di Petamburan, Jakarta, dan tidak tergabung dalam FPI tentu akan menjawab dari media massa dan media sosial. Artinya, rekognisi atau pengenalan publik terhadapnya adalah buah dari pemberitaan media, khususnya sejak lantang menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Mengacu pada derasnya simpati kepada Ahok sejak ditinggal Jokowi menjadi Presiden, mereka yang disebut Ahoker alias pendukung Ahok kemudian menjadikan HRS dan FPI sebagai sasaran kritik dan sekaligus mengangkat namanya ke atas diskursus teratas politik nasional.
Konsekuensi tersebut dapat dipahami melalui tulisan Ross Tapsell yang berjudul Media Power in Indonesia. Menurut Tapsell, dengan berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media-media akan berkiblat pada “kepentingan Jakarta” yang pada akhirnya membuat isu regional Ibu Kota seolah-olah menjadi isu nasional.
Nah, dari situ mudah ditebak, pemilihan Gubernur DKI Jakarta akan diberitakan sedemikian rupa sehingga terlihat seperti pemilu nasional. Dan mungkin derajat intensitas pemberitaannya menyaingi gelaran Pilpres.
Jika benar sosok HRS besar karena pemberitaan masif media, persepsi atas karisma Imam Besar FPI selama ini mungkin dapat dipahami melalui konsep hiperrealitas dari sosiolog Prancis, Jean Baudrillard.
Hiperrealitas adalah penjelasan terkait ketidakmampuan individu untuk membedakan kenyataan dan fantasi di tengah intensitas tinggi penetrasi teknologi. Ryszard W. Wolny dalam tulisannya Hyperreality and Simulacrum: Jean Baudrillard and European Postmodernism menyebutkan, dalam hiperrealitas orisinalitas suatu objek begitu sulit dikenali karena bercampur dengan objek-objek artifisial.
Menurut Wolny, Baudrillard berusaha mendemonstrasikan bahwa perang kontemporer dilakukan menggunakan media, seperti televisi. Ini membuat realitas fisik tidak dapat dipisahkan dari representasi medianya. Konsekuensinya, para penikmat media sulit membedakan mana yang dicitrakan media, dan mana yang merupakan objek yang sedang dicitrakan.
Ekawati Marhaenoy Dukut dalam tulisannya Comprehending Advertisements Through Jean Baudrillard’s Postmodernism menyebutkan masyarakat posmodern hidup di tengah ketiadaan nilai (nihilistic) karena tidak benar-benar mengetahui mana yang nyata. Ini karena aliran deras informasi yang didapatkan melalui media justru dinilai lebih nyata dari realitas itu sendiri.
Artinya, suatu hal yang diberitakan secara terus menerus oleh media, dapat benar-benar dipandang sebagai realitas itu sendiri. Ini kemudian yang membuat iklan menjadi bekerja. Iklan yang mencitrakan pengguna mobil BMW sebagai orang sukses, dapat benar-benar membuat orang percaya bahwa BMW adalah lambang kesuksesan. Padahal, seperti yang diketahui, itu adalah teknik marketing.
Nah, bertolak dari konsep hiperrealitas, dengan masifnya pemberitaan terhadap HRS, khususnya sejak 2017, besar kemungkinan telah membuat publik percaya bahwa dirinya memang benar-benar signifikan secara politik.
Akhirnya terbentuk persepsi bahwa dukungan HRS begitu vital dalam kontestasi pemilu. Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, misalnya, dukungan HRS dipercaya sebagai penentu kemenangan Anies. Namun, benarkah demikian?
HRS Overrated?
Untuk menyimpulkan karisma HRS sebagai hiperrealitas, maka perlu dibuktikan bahwa pengaruhnya secara politik memang dinilai berlebihan atau tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Sampai saat ini, setidaknya terdapat lima alasan untuk membuktikan hal tersebut. Pertama, besarnya nama HRS sebenarnya adalah buah dari kesalahan strategi pemerintah. Suka atau tidak, pada 2017 lalu, entah bagaimana awalnya, HRS dan FPI seolah dijadikan pemerintah sebagai musuh ideologi. Ini juga tidak terlepas dari berkembangnya narasi khilafah saat itu.
Untuk membendung gerakan HRS, FPI, dan Persaudaraan Alumni (PA) 212, mereka kemudian disebut sebagai kelompok anti-toleransi, tidak Pancasilais, dan berbahaya bagi ideologi negara. Namun, strategi tersebut justru mendatangkan backlash karena membuat nama HRS melambung tinggi.
Bertolak dari ketidakpuasan terhadap pemerintah, apalagi adanya narasi bahwa pemerintah telah memosisikan Islam sebagai nomor dua, HRS kemudian menjadi tempat penampungan kegelisahan politik yang ada.
Menariknya, kesalahan yang sama justru kembali dilakukan ketika TNI terlibat dalam penurunan baliho HRS, serta adanya konvoi Koopssus TNI di Petamburan beberapa waktu yang lalu. Peristiwa menarik itu tentu saja dapat menciptakan interpretasi dan kesan bahwa HRS adalah sosok besar sehingga TNI sampai repot-repot mengurusnya.
Kedua, jika pengakuan JK benar bahwa dirinya yang berperan dalam meyakinkan Prabowo dan PKS untuk mendukung Anies, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan HRS bukanlah penentu majunya Anies di Pilgub DKI Jakarta. Dengan kata lain, Gerindra dan PKS pada dasarnya tidak melihat dukungan HRS secara signifikan.
Ketiga, pengaruh overrated HRS dapat dilihat dari fakta bahwa Ahok justru yang memenangi tempat pemungutan suara (TPS) 17 di Jalan Petamburan IV. Padahal, TPS itu berada di lingkungan markas besar FPI. Suka atau tidak, itu menunjukkan bahwa karisma HRS bahkan tidak mencukupi untuk memengaruhi warga sekitarnya untuk mendukung Anies.
Keempat, mengenai popularitas HRS, pengamat masalah keislaman dan pemerhati politik komunitas Arab di Indonesia, Ahmad Syarif Syechbubakr menyiratkan komentar menarik. Menurutnya, memang tak bisa dipungkiri HRS dan FPI cukup populer di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatera.
Akan tetapi, jika bergeser sedikit ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, popularitas HRS masih kalah jauh dari kiai, ulama, dan habaib yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Dan secara nasional, NU dan Muhammadiyah memang masih terlalu kuat pengaruhnya dibandingkan organisasi Islam manapun.
Kelima, terkait konteks silent majority yang disebutkan JK, tidak bisa dipungkiri memang, politik identitas yang masif dinarasikan HRS, FPI, dan PA 212 telah mendatangkan backlash tersendiri. Saat ini banyak pihak di berbagai daerah menjadi antipati karena lelah dengan narasi semacam itu.
Konteks tersebut juga yang dipercaya membuat Joe Biden mampu mengalahkan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020. Banyak yang menilai bahwa publik AS telah muak dengan permainan politik identitas Trump, sehingga tidak lagi menginginkannya menjadi presiden terpilih.
Sejak tahun pertama politikus Partai Republik itu resmi menjabat, gelombang penolakan terhadapnya bahkan sudah menjadi tontonan lumrah di negeri Paman Sam.
Jika kelima ihwal tersebut benar adanya, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh politik HRS selama ini kemungkinan adalah citraan media semata. Tanpa adanya pemberitaan masif tentang perjuangannya mengangkat politik Islam, mungkin dirinya hanya akan menjadi pemimpin ormas Islam yang dikenal kerap melakukan sweeping di bulan Puasa dan Hari Raya Natal.
Apakah karisma HRS adalah artifisial atau bukan, silahkan nilai sendiri. (R53)