Pengesahan RUU Ciptaker digadang-gadang akan menjadi senjata pamungkas untuk menyederhanakan birokrasi yang selama ini menjadi batu ganjalan investasi dan izin usaha. Dengan terpusatnya perizinan usaha di pemerintah pusat, mungkinkan UU tersebut memperluas pengaruh pemerintahan Jokowi ke depannya?
“Meskipun di wilayah-wilayah tertentu negara perlu dirampingkan, di wilayah-wilayah lain mereka perlu diperkuat terus-menerus” – Francis Fukuyama dalam State-Building: Governance and World Order in the 21st Century
Di tengah kepemimpinan Soeharto, masyarakat Indonesia mengalami kehidupan politik yang begitu otoriter. Terjadi sentralisasi kekuasaan, dwifungsi ABRI, dan berbagai tindakan represif yang membelenggu kebebasan masyarakat untuk mengkritik.
Setelah sang jenderal tumbang pada tahun 1998, reformasi dilakukan guna menegakkan sistem politik yang lebih demokratis. Perubahan utama yang terjadi adalah desentralisasi kekuasaan dengan adanya otonomi daerah. Ini jelas memberi pemerintah daerah kekuasaan yang tidak pernah dirasakannya ketika Soeharto menjabat.
Akan tetapi, dengan berlakunya otonomi daerah atau yang kerap disebut sistem semi-federal, berbagai dampak negatif, seperti terkendalanya pembangunan berkelanjutan justru harus diterima sebagai konsekuensi. Salah satu contoh atas hal ini adalah bencana banjir tahunan DKI Jakarta.
Dalam penelitian Imelda Simanjuntak, dan kawan-kawan yang berjudul Evaluating Jakarta’s Flood Defence Governance: The Impact of Political and Institutional Reforms ditemukan bahwa otonomi daerah telah berkonsekuensi pada terjadinya diskoneksi master plan pengontrol banjir dan saluran air di Jakarta sejak tahun 1999.
Master plan pengontrol banjir di Jakarta pada dasarnya telah digagas sejak tahun 1918 oleh arsitek asal Belanda, Van der Beer yang memiliki ide untuk mengontrol volume air di Jakarta melalui 13 sungai dengan mengalihkan aliran sungai-sungai tersebut melalui kanal-kanal di sisi timur dan barat kota menuju laut.
Pada era Soekarno dan Soeharto ketika pemerintahan dijalankan secara sentralistik, ini memudahkan membangun keselarasan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam membangun infrastruktur pengontrol banjir. Namun, dengan adanya otonomi daerah, keselarasan pembangunan sulit terjadi karena DKI Jakarta memiliki kewenangan tersendiri untuk menentukan arah pembangunan.
Tidak hanya soal pembangunan, persoalan izin usaha dan investasi juga menjadi masalah pelik. Pada 16 Juli 2019 lalu, misalnya, Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani menyuarakan keluhan pengusaha karena kerap kali terjadi perbedaan kebijakan antara pusat dengan daerah.
Seperti yang disebutkan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Romli Atmasasmita, Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker) kemudian lahir sebagai jawaban atas benturan kebijakan tersebut sehingga nantinya birokrasi yang efisien dapat terwujud. Selain itu, UU Ciptaker juga dinilai dapat mencegah perilaku korupsi birokrasi yang selama ini mendera Indonesia.
Lantas, dengan perizinan usaha dan investasi kembali menjadi terpusat di bawah UU Ciptaker, apa konsekuensinya?
Permasalahan Birokrasi
Francis Fukuyama dalam tulisannya Democracy and the Quality of the State juga menyinggung Indonesia dengan menyebutnya sebagai contoh negara demokrasi baru yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu tetapi gagal membentuk pemerintahan yang berkualitas. Menurutnya, lemahnya legitimasi pemerintahan di Indonesia terjadi karena tingginya tingkat klientelisme dan korupsi, serta tidak efektifnya pemberian layanan publik terhadap sebagian besar penduduk.
Bertolak dari buruknya pelayanan publik dan birokrasi tersebut, seperti yang disebutkan Prof. Ramli, ini kemudian menjadi alasan mengapa UU Ciptaker dibuat. Fukuyama dalam tulisannya What Is Governance? juga menyebutkan, di negara-negara dengan birokrasi yang buruk, terdapat keinginan untuk membatasi ruang gerak pejabat pemerintah dengan aturan hukum.
Ini terjadi karena buruknya kualitas birokrasi dan pelayanan membuat ketidakpercayaan terbentuk karena menilai pejabat pemerintahan akan sulit menahan diri dari perilaku koruptif.
Jauh sebelum Indonesia, Filipina juga telah menerapkan strategi serupa untuk mengintegrasikan peraturan ketika memberlakukan Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991. Peraturan tersebut ditujukan untuk mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut.
Intervensi Ekonomi
Dengan adanya kemandekan akumulasi kekayaan dan kesempatan meraih kesejahteraan yang setara, Adam Smith melalui The Wealth of Nations (1776) kemudian hadir memperkenalkan konsep perdagangan atau pasar bebas. Dalam simpulan Smith, jika pasar sempurna yang kerap disebut titik ekuilibrium nantinya dapat terwujud, maka kesejahteraan bersama, bahkan kesejahteraan semua bangsa dapat teraktualisasi.
Akan tetapi, dalam realitanya, tiga prinsip agar invisible hand atau harmoni natural yang memungkinan pasar sempurna, yakni freedom atau kebebasan, competition atau kompetisi, dan justice atau keadilan, sampai saat ini tampaknya tidak terjadi. Alhasil kritik kemudian berdatangan pada konsep pasar bebas untuk mempromosikan intervensi negara agar pasar yang sempurna dapat terwujud.
Dengan kata lain, adanya Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991 di Filipina dan UU Ciptaker di Indonesia adalah usaha intervensi negara untuk menciptakan pasar yang lebih baik.
Erhard Eppler dalam bukunya The Return of the State? juga menyarankan, di tengah kegagalan liberalisme pasar dalam menciptakan kesejahteraan, negara harus terus-menerus hadir dan melakukan intervensi seperlunya untuk menjamin keadilan sosial dan politik bagi seluruh warganya.
Konsekuensi yang Harus Diambil
Tentunya, tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baik dan sepenuhnya buruk. Kendati UU Ciptaker dinilai sebagai jawaban atas masalah birokrasi, di sisi lain produk hukum ini dinilai dapat membawa ke arah kemunduran demokrasi. Dalam penggunaannya selama beberapa dekade, Omnibus Law disebut berkembang menjadi undemocratic practise (praktek yang tidak demokratis) dalam pembentukan undang-undang di Parlemen.
Selain itu, dengan berpindahnya kewenangan izin usaha ke pemerintah pusat, ini tentu berkonsekuensi pada meluasnya kekuasaan pemerintah pusat. Dengan kata lain, suka atau tidak, UU Ciptaker dapat membuat kewenangan pemerintahan Jokowi menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Konteks praktik tidak demokratis ini bahkan sudah mulai terlihat sejak proses pembuatannya. Kita tentu mengetahui bahwa proses pengesahan UU Ciptaker sangat tidak transparan. Ekonom INDEF, Dradjad H. Wibowo bahkan memiliki dugaan bahwa DPR telah mengesahkan kertas kosong pada 5 Oktober lalu.
Tidak heran kemudian, kendati UU Ciptaker memiliki tujuan yang baik, proses pembuatannya yang mengundang curiga telah membuat masyarakat menilai terdapat konspirasi di balik UU tersebut. Menilai ini hanya kepentingan golongan kaya dan kuat kemudian menjadi tidak terhindarkan. Untuk mengatasi masalah ini, pembukaan dialog seharusnya yang dilakukan.
Namun sayangnya, strategi usang dengan menyebut adanya aktor intelektual di balik demonstrasi dan akar masalah ada pada disinformasi yang justru dilakukan pemerintah. Terkait hal ini, pemerintah perlu mengevaluasi dan memperbaiki caranya dalam merespons kritik publik.
Di luar perdebatan yang ada, memang harus diakui persoalan benturan kebijakan izin usaha antar pusat dan daerah hanya bisa diselesaikan dengan membuat integrasi hukum, seperti UU Ciptaker. Dengan kata lain, kendatipun nantinya terjadi perluasan kewenangan pemerintah pusat, itu adalah konsekuensi yang harus diterima.
Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan UU Ciptaker. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)