Vaksin Nusantara mengundang perdebatan antara kubu pendukung dan kubu pengkritik pengadaan vaksin. Kedua kubu juga saling menuduh satu sama lain bersikap politis menanggapi pandemi. Di tengah pertikaian dan perdebatan terkait Vaksin Nusantara, mengapa Presiden Jokowi mengambil sikap diam?
Vaksin Nusantara memang kontroversial sedari awal. Masyarakat juga sempat dibuat bingung karena Indonesia tengah mengembangkan vaksin lain di waktu yang bersamaan, yakni Vaksin Merah Putih. Entah apa perbedaan di antara keduanya, namun Vaksin Merah Putih turut menemani Vaksin Nusantara yang memiliki masalah yang serupa.
Vaksin Nusantara memang bisa menjadi kebanggaan tersendiri karena bisa berkontribusi membantu banyak orang Indonesia yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Vaksin Nusantara tentu dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap impor vaksin. Vaksin Nusantara juga digadang-gadang sebagai karya anak bangsa, sehingga banyak politisi yang terus mendukung pengembangannya.
Kini Vaksin Nusantara berhasil membelah dua opini masyarakat Indonesia, atau lebih tepatnya orang-orang di pemerintahan. Ada kubu pendukung dan kubu pengkritik pengadaan Vaksin Nusantara.
Kubu pendukung berasal dari para politisi, khususnya anggota DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memimpin 40 anggota DPR lintas fraksi yang mendukung pengadaan Vaksin Nusantara. Nama-nama lainnya adalah Aburizal Bakrie, Jenderal (Purn) Hendropriyono, dan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Di sisi lain, ada kubu pengkritik Vaksin Nusantara yang mendukung narasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM menilai pengembangan Vaksin Nusantara belum memperhatikan kaidah ilmiah sehingga ada hambatan dalam proses uji klinis. Lebih dari 100 orang ikut mendukung deklarasi dukungan untuk BPOM. Nama-nama yang turut mendukung ada Erry Riyana Hardjapamekas, Natalia Soebagjo, Azyumardi Ezra dan lain-lain.
Vaksin Nusantara juga disebut-sebut sebagai “vaksin oposisi”. Lantas kubu pendukung Vaksin Nusantara terkesan ngotot untuk mengakselerasi pengembangan Vaksin Nusantara dan menilai BPOM menghalangi pengembangannya. Tindakan “oposisi” ini terlihat ketika 40 anggota DPR nekat untuk menjadi relawan uji klinis dan telah menerima suntik Vaksin Nusantara.
Dua kubu ini berseteru dengan asumsinya masing-masing atas kubu seberang. Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena menuding bahwa pendukung BPOM disponsori oleh BPOM itu sendiri agar memberikan dukungan. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng M Faqih menepis tudingan itu. Ia menegaskan bahwa DPR yang bersikap politis dalam menanggapi Vaksin Nusantara.
Baca Juga: Jokowi dan Dilema Vaksinasi Mandiri
Di antara polemik dan dua kubu Vaksin Nusantara saat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru malah tidak terlihat. NasDem telah meminta agar Presiden Jokowi turun tangan untuk menengahi kisruh Vaksin Nusantara. Namun, hingga saat ini sang RI-1 belum bersuara dan memberi sikap atas pertikaian dua kubu tersebut.
Lantas di tengah perdebatan Vaksin Nusantara, sikap diam Presiden Jokowi menjadi pertanyaan. Mengapa Presiden Jokowi tidak membuka suara atau memberikan sikap terhadap persoalan ini? Apakah ada manuver politik di belakang political silence-nya?
Jokowi dan Political Silence?
Di antara perdebatan dan polemik Vaksin Nusantara, Presiden Jokowi dirasa menjadi orang yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebagai seseorang yang mengemban posisi tertinggi di Indonesia, tentu tidak terlalu sulit untuk menengahi kubu yang sedang bertikai. Mungkin dapat memulainya dengan mengadakan mediasi bagi pihak yang bersangkutan.
Dengan mengambil langkah ini, Presiden Jokowi dapat meluruskan kembali informasi simpang siur Vaksin Nusantara dan kembali fokus mengatasi pandemi dan mengembangkan Vaksin Nusantara. Tentu polemik ini sendiri bukannya tidak mungkin untuk dihentikan.
Terakhir kali Presiden Jokowi bersuara tentang Vaksin Nusantara terjadi pada bulan lalu, di mana Presiden Jokowi meminta agar Vaksin Nusantara mengikuti kaidah saintifik. Berangkat dari hal tersebut, IDI meminta agar Vaksin Nusantara mengikuti amanat Presiden Jokowi dan tidak dipolitisasi. Namun, kubu pendukung Vaksin Nusantara mengatakan bahwa Vaksin Nusantara ini menjawab keinginan Presiden Jokowi.
Nama Presiden Jokowi digunakan di dua kubu tersebut. Namun, sang presiden masih memilih untuk diam. Sikap diam ini dapat dijelaskan melalui tulisan The Use of Silence as a Political Rhetorical Strategy oleh Timothy J. Anderson. Anderson mengutip bahwa seorang pejabat publik, seperti presiden, mengambil tindakan diam untuk menghindari suatu permasalahan sekaligus mengamankan dirinya sebagai presiden. Strategi ini membuat presiden seolah-olah imun untuk terlibat dalam suatu permasalahan.
Berangkat dari tulisan tersebut, sikap diam bisa jadi tindakan terbaik bagi Presiden Jokowi saat ini. Jika RI-1 menunjukkan sikap setuju dengan kubu pendukung Vaksin Nusantara, misalnya, bisa jadi citranya buruk di masyarakat karena dianggap turut mendukung politisasi Vaksin Nusantara seperti anggota DPR. Masyarakat sendiri menilai bahwa anggota DPR tidak memiliki respons yang baik dalam Vaksin Nusantara karena dinilai memaksa dan mengabaikan kaidah saintifik.
Baca Juga: Vaksin Harapan Jokowi, Apa Salahnya?
Masuk akal ketika masyarakat lebih berpihak kepada BPOM daripada politisi karena mereka merupakan orang yang ahli pada bidang kesehatan. Vaksin Nusantara yang ditinggalkan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai bagian dari tim pengembangannya juga dapat mendorong ketidakpercayaan masyarakat terhadap anggota DPR dalam mengurus vaksinasi.
Banyaknya orang yang bergabung pada deklarasi dukungan terhadap BPOM menjadi bukti lain bahwa masyarakat cenderung berpihak pada BPOM daripada politisi.
Jika Presiden Jokowi menunjukkan sikap tidak setuju pada Vaksin Nusantara, maka secara tidak langsung ia juga menghalangi produksi vaksin dalam negeri. Tindakan ini menjadi tidak sejalan dengan program pemerintah dalam menangani pandemi. Presiden Jokowi juga bisa mendapatkan kecaman dari tubuh internal pemerintahan jika ia tidak mendukung Vaksin Nusantara.
Dilihat dari konteks pandemi, sikap diam Presiden Jokowi bisa jadi menunjukkan kecenderungan setuju atas pengembangan Vaksin Nusantara. Melakukan pembiaran mungkin menjadi bentuk terbaik bagi Presiden Jokowi dalam mengekspresikan sikap mendukungnya. Hal ini bias menjadi respons terhadap persediaan vaksin yang terbatas.
Pemerintahan Jokowi tidak bisa dipungkiri harus menghadapi permasalahan persediaan vaksin yang terbatas. Belum lagi Indonesia yang saat ini masih bergantung pada impor luar negeri yang dapat berimplikasi pada kelangkaan pasokan vaksin.
Seperti yang terjadi pada awal bulan ketika AstraZeneca memutuskan untuk menghentikan ekspornya ke Indonesia, pemerintah harus putar otak untuk menyediakan vaksin di dalam negeri. Sikap diam Presiden Jokowi mungkin menjadi jawaban untuk kompleksitas tersebut.
Belum Ada Vaksin yang Aman?
AstraZeneca merupakan vaksin yang dipertanyakan keamanannya di panggung internasional. Banyak negara yang menghentikan penggunaan AstraZeneca karena dianggap mengakibatkan penggumpalan darah. Eropa memiliki jumlah negara terbanyak yang menghentikan AstraZeneca, seperti Swedia, Latvia, Jerman, Italia, Prancis, Spanyol, Denmark, Norwegia dan Belanda. Walaupun dilanda permasalahan tersebut, WHO sendiri masih menetapkan AstraZeneca sebagai vaksin yang aman digunakan.
Di Indonesia, BPOM masih tidak merekomendasikan penggunaan Vaksin AstraZeneca. Walaupun begitu, vaksin ini merupakan salah satu vaksin yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Selain AstraZeneca, ada Vaksin Sinovac yang banyak digunakan di Indonesia. Vaksin Sinovac ini awalnya disetujui atas dasar Penggunaan Dalam Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA).
Memang tetap ada uji klinis yang dilakukan, namun tetap ada risiko dalam penggunaan vaksin. Jika manfaat lebih besar dari risiko, maka vaksin sudah dapat masuk dalam kategori EUA. Selain itu Vaksin Sinovac sendiri masih belum mendapatkan Emergency Use Listing (EUL) dan gagal mendapatkan izin dari WHO. Namun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan Sinovac sudah sesuai kriteria.
Melihat kedua vaksin tersebut, sebenarnya Vaksin Sinovac dan AstraZeneca memiliki persamaan dengan Vaksin Nusantara terkait keamanaan. Tapi mungkin tingkatan keamanan yang berbeda dari tiga vaksin tersebut. Yang menjadi beda adalah Vaksin Nusantara belum dapat disebarkan, sedangkan Vaksin Sinovac dan AstraZeneca sudah digunakan luas di Indonesia.
Jika Vaksin Nusantara diberlakukan dalam EUA, maka dapat menimbulkan masalah dari negara eksportir vaksin saat ini. Tidak bisa dipungkiri vaksin juga tetap ada nilai ekonomis dan politis.
Baca Juga: Jokowi Dalam Pusaran Proksi Vaksin?
Lalu jika sebenarnya belum ada vaksin yang aman di Indonesia, sikap apa yang perlu kita ambil dalam menanggapi Vaksin Nusantara ini?
Untuk saat ini, memang sebaiknya pemerintah fokus menangani pandemi dengan berbagai strategis dan kapital yang dimiliki. Polemik antara dua kubu pendukung dan pengkritik pengembangan Vaksin Nusantara bisa jadi menjadi ajang yang sehat untuk mengkritik kebijakan pemerintah.
Namun, jangan sampai polemik ini hanya didasari ego belaka dan melupakan tujuan utamanya, yakni menangani pandemi Covid-19. Toh kedua kubu memiliki tujuan yang sama dalam memberantas virus tersebut, tinggal caranya yang perlu didiskusikan agar tujuannya dapat tercapai. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.