Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengalami perubahan politik luar negeri di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Bukan tidak mungkin, ini pun berdampak kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang kerap berhadapan dengan Tiongkok di Laut Natuna Utara. Apakah Xi memegang peran penting di balik memanasnya isu Laut China Selatan (LCS)?
Tahun 1815 menjadi awal perubahan besar bagi negara Prancis – setidaknya untuk seseorang yang bernama Jean Valjean. Ia merupakan seorang mantan narapidana yang akhirnya bebas pada tahun itu.
Namun, kebebasannya itu tidak berarti membawa kebebasan sepenuhnya. Masa-masa saat ia harus menjalani kerja paksa saat menjadi tahanan turut dibawanya hingga tahun-tahun berikutnya.
Ketika sukses membangun bisnis sendiri, misalnya, Jean selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada buruhnya yang dianggapnya membutuhkan bantuan-bantuan dalam kehidupan. Tentu, momen dan memori masa lalu saat ia masih hidup miskin turut menjadi motivasi dan inspirasi untuk memberikan lebih kepada yang membutuhkan.
Setidaknya, itulah sepotong kisah dari seorang karakter Jean Valjean yang muncul dalam sebuah novel legendaris asal Prancis yang berjudul Les Misérables yang terbit pada tahun 1862. Novel karya Victor Hugo ini bukan tidak mungkin menunjukkan bagaimana masa lalu satu individu bisa mempengaruhi segala keputusannya di masa depan.
Lagipula, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apapun yang terjadi di masa lampau turut membentuk diri kita di masa kini dan masa mendatang. Entah itu masa kecil saat masih kanak-kanak atau masa-masa muda yang penuh kegalauan, ketakutan-ketakutan soal momen-momen itu akan mempengaruhi apa yang kita lakukan di masa kini.
Trauma dan memori soal masa lampau ini tentunya tidak hanya berpengaruh pada orang-orang biasa saja. Para politisi dan pemimpin negara pun tidak luput dari persoalan ini.
Krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina pada awal tahun 2022 ini, misalnya, disebut-sebut juga dipengaruhi dari bagaimana Presiden Rusia Vladimir Putin memimpikan kejayaan Uni Soviet di masa kecilnya. Bukan hanya Putin, ambisi Adolf Hitler untuk Jerman Nazi kala Perang Dunia II pun disebut banyak dipengaruhi oleh masa-masa mudanya.
Tentu, ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di masa kini. Pasalnya, setelah lama memegang prinsip tao guang yang hui (sembunyikan kapabilitas dan tetap low profile) dari era Deng Xiaoping, pemerintahan Xi Jinping kini mengambil kebijakan luar negeri yang lebih agresif dengan prinsip fen fa you wei (berjuang untuk pencapaian).
Baca Juga: Biden Tantang Xi Jinping, Jokowi?
Tidak hanya itu, Tiongkok kini disebut menerapkan wolf warrior diplomacy – sebuah istilah untuk menggambarkan gaya diplomasi yang lebih koersif. Ini pun terlihat dari bagaimana Tiongkok mulai agresif dalam isu Taiwan dan Hong Kong.
Ini pun berdampak juga pada Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Laut Natuna Utara – yang mana menjadi zona ekonomi eksklusif (ZEE) – pun sempat diprotes oleh Tiongkok karena Indonesia melakukan pengeboran minyak di bagian kecil dari Laut China Selatan (LCS) yang diklaim pemerintahan Xi.
Perubahan Tiongkok di bawah Xi ini tentu menimbulkan pertanyaan. Mengapa, di bawah Xi, negeri Tirai Bambu itu menjalani perubahan kebijakan luar negeri secara 180 derajat? Lantas, mengapa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia perlu merasa khawatir?
Ambisi Besar Xi untuk Tiongkok
Jika berbicara soal politik luar negeri Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi, mungkin nama Wang Yi tidak bisa begitu saja luput dari pembahasan. Wang merupakan seorang diplomat yang kini menjadi Menteri Luar Negeri (Menlu) bagi pemerintahan Xi.
Bisa dibilang, Wang adalah sosok yang dipercaya Xi untuk mewujudkan mimpi dan ambisinya – khususnya dalam kebijakan luar negeri. Peter Martin dalam tulisannya yang berjudul The Man Behind Xi Jinping’s Foreign Policy menjelaskan bahwa, di bawah Wang, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tiongkok ingin melepaskan citra “lemah” dari negara mereka.
Wang pun mengaku terinspirasi dengan berbagai gagasan dan idealisme Xi dalam mewujudkan politik luar negeri Tiongkok. Baginya, idealisme itulah yang memandu jalan hidupnya – termasuk dalam merumuskan kebijakan luar negeri Tiongkok.
Tidak hanya Wang, sosok lain juga berperan dalam memainkan citra Tiongkok di panggung politik internasional. Dia adalah Peng Liyuan yang merupakan Ibu Negara Tiongkok alias istri dari Xi.
Berkarier sebagai selebriti dan penyanyi terkenal, Peng disebut bisa menjadi ikon Tiongkok dalam banyak kesempatan di berbagai momen internasional Tiongkok. Bagaimana tidak? Dalam berbagai acara internasional yang besar, Peng selalu tampil dengan pakaian yang menawan – menjadi ikon soft power (kekuatan lunak) bagi Tiongkok.
Dua peran yang diisi oleh Peng dan Wang ini juga sejalan dengan perubahan kebijakan luar negeri pemerintahan Xi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, arah politik luar negeri Tiongkok berubah dari yang awalnya cenderung pasif menjadi jauh lebih aktif sebagai bagian dari apa yang diimpikan oleh Xi dalam konsep Chinese Dream yang diinginkannya.
Baca Juga: Balapan Antariksa: Biden vs Xi Jinping
Dalam konsep ini, Xi menginginkan Tiongkok agar bisa tampil sebagai negara yang kuat, yakni sebagai kekuatan besar global baru. Bukan tidak mungkin, dua peran yang menonjolkan kekuatan Tiongkok ini terbagi antara Wang dan Peng.
Namun, tentu, dukungan Wang dan Peng ini tidak bisa muncul secara tiba-tiba saja. Bisa jadi, ada hal lain yang melatarbelakangi visi Xi soal Chinese Dream. Mengapa Xi – dibantu oleh Wang dan Peng – merasa perlu untuk mewujudkan wei da fu xing (kebangkitan besar) Tiongkok?
Trauma Masa Lalu Xi
Baik Xi, Wang, dan Peng memiliki pengalaman yang mirip di masa lalu – khususnya peristiwa besar yang mempengaruhi masa muda mereka. Peristiwa besar ini disebut sebagai Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution) yang diluncurkan oleh pemerintahan Mao Zedong pada tahun 1966 hingga kematian Mao pada tahun 1976.
Peristiwa ini memiliki dampak yang besar secara nasional. Bagaimana tidak? Dengan tujuan untuk memberantas unsur-unsur kapitalis dan tradisional dari Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan masyarakat Tiongkok pada umumnya, keluarga Xi, Wang, dan Peng malah sempat menjadi sasaran dari pemerintahan Mao.
Ayah Xi yang bernama Xi Zhongxun, misalnya, ditahan dan dipersekusi oleh pemerintahan Mao karena dianggap mendukung kelompok internal anti-PKT. Padahal, Xi Zhongxun sebelumnya menduduki jabatan-jabatan tinggi di PKT – salah satunya sebagai kepala departemen di departemen yang membidangi propaganda.
Tidak hanya ayahnya, keluarga Xi sempat didatangi dan dirampas isi rumahnya oleh para militan. Akibat berbagai tekanan ini, saudara perempuan Xi yang bernama Xi Heping sampai bunuh diri.
Xi sendiri akhirnya dikirim ke Desa Liangjiahe di Provinsi Shaanxi dan terpaksa hidup di sebuah rumah yang dibangun di dalam gua. Di daerah pinggiran inilah, Xi akhirnya belajar mengembangkan diri di bawah paksaan bekerja di bawah pemerintahan Mao.
Bukan hanya Xi, Wang sendiri menjadi pemuda yang dipaksa untuk bekerja di Provinsi Heilongjiang selama delapan tahun. Hal yang sama juga dirasakan oleh anggota-anggota keluarga Peng.
Baca Juga: Olahraga, Harga Diri Xi Jinping?
Trauma yang berakar dari peristiwa besar di masa lalu ini bisa saja berdampak kepada Xi dan lingkaran kekuasaannya di masa kini. Mengacu pada penjelasan Roderick MacFarquhar dari Harvard University, trauma masa lalu inilah yang akhirnya membentuk diri Xi seperti sekarang yang selalu menganggap dirinya sebagai antitesis dari kata “lemah”.
Inilah mengapa Xi ingin memiliki kontrol penuh terhadap berbagai perubahan dan reformasi yang dilakukannya terhadap Tiongkok. Salah satunya adalah upayanya untuk memegang kekuasaan penuh atas PKT.
Ini dilakukan Xi dengan cara melancarkan kampanye anti-korupsi yang disebut menyingkirkan berbagai lawan politik di dalam internal PKT. Tidak hanya itu, berdasarkan salah satu sumber PinterPolitik.com, kampanye anti-korupsi Xi ini juga menyingkirkan elemen-elemen pendukung Mao dengan memaksa mereka menandatangani sebuah kesepakatan agar tidak ikut campur dalam urusan politik Tiongkok lagi.
Saatnya Jokowi Hati-hati?
Upaya Xi untuk menampilkan diri sebagai sosok yang kuat ini tampaknya juga berdampak pada politik luar negeri Tiongkok yang semakin agresif. Bagaimana tidak? Ada trauma masa lalu juga dalam konsepsi kejayaan Tiongkok ala Xi – di mana negaranya telah lama menjadi “korban” kekuasaan negara-negara lain, mulai dari Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II, Britania Raya (Inggris) yang menganeksasi Hong Kong pada 1860, hingga Portugis yang menganeksasi Makau pada 1887.
Di masa kontemporer, perasaan akan adanya ancaman asing seperti ini tentu tidak sejalan dengan visi Xi. Mengacu pada penjelasan Geoff Dyer dalam bukunya yang berjudul The Contest of the Century, ini juga yang menjadi alasan mengapa Tiongkok kini ingin menguasai lautan kembali – khususnya Laut China Selatan (LCS) yang kini diklaim berdasarkan sembilan garis batas (nine-dash line).
Apa yang terjadi di masa lalu juga sebagian besar terjadi akibat diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) di mana Tiongkok secara historis kalah dengan negara-negara lain. Kelemahan ini berujung pada kemuncuan ancaman-ancaman dari negara-negara yang lebih kuat.
Selain itu, LCS dan Taiwan juga menjadi strategi Tiongkok untuk menguasai rantai kepulauan pertama (first island chain) yang terdiri atas Jepang, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, dan sebagian wilayah Indonesia. Setidaknya, ini bisa menihilkan ancaman dari pesisir Tiongkok secara langsung.
Dengan trauma masa lalu Xi dan visinya terhadap Tiongkok, bukan tidak mungkin pemimpin terkuat sepanjang sejarah Tiongkok itu tidak akan pernah menyerah untuk mewujudkan hegemoni negaranya di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Asia Tenggara. Pertanyaan yang kemudian harus dijawab adalah, siapkah Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi menghadapi Xi? (A43)
Baca Juga: Xi Jinping, Serigala Politik Internasional?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.