HomeNalar PolitikKomcad Bukan Kartu As Prabowo?

Komcad Bukan Kartu As Prabowo?

Meskipun eksistensinya memang dibutuhkan jika mengacu pada amanat konstitusi, pembentukan Komponen Cadangan (Komcad) yang diinisiasi Menhan Prabowo Subianto jamak dinilai oleh sejumlah pengamat kurang menemui urgensinya untuk saat ini. Lantas, benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Menghimpun darmabakti kepada negara dari kalangan milenial dan generasi-Z, Komponen Cadangan (Komcad) diharapkan dapat menyokong visi pertahanan Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantas merestuinya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2021, sebagai regulasi pelaksana Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Implementasi teknisnya pun kini tinggal menunggu regulasi turunan dari sosok yang dianggap menjadi sang inisiator, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Ya, ide keberadaan Komcad sendiri telah ada sejak tahun lalu saat Prabowo berusaha merealisasikannya sebagai bagian dari visi eks Danjen Kopassus sebagai Menhan di era Jokowi. Tetapi kemudian agenda itu menjadi tertunda yang kemungkinan besar dikarenakan merebaknya pandemi Covid-19 dan dasar hukum yang belum matang.

Jauh sebelumnya, wacana Komcad sejatinya sudah mengemuka pada akhir tahun 2006 silam. Kala itu, wacana tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN), yang bahkan batang tubuhnya disebut telah diramu sejak Maret tahun 2003.

Namun kemudian wacana itu timbul tenggelam di beberapa era Menhan setelahnya, termasuk saat diampu pendahulu Prabowo, Ryamizard Ryacudu.

Bersifat sukarela dan berbeda dengan wajib militer, Komcad nantinya akan memberikan pelatihan militer kepada 25.000 milenial dan generasi-Z berusia 18 sampai 35 tahun, dari berbagai profesi yang memenuhi syarat.

Setelahnya, mereka akan kembali ke aktivitas dan profesi semula, untuk kemudian dapat dimobilisasi kembali ketika negara membutuhkan, seperti dalam konteks ancaman militer yang mengancam kedaulatan, hingga persoalan non-militer, misalnya keterlibatan dalam penanggulangan bencana alam.

Baca juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?

Kendati demikian, pembentukan Komcad dalam waktu dekat masih cukup jamak dipertanyakan. Dari para pengamat yang menyoroti tendensi militerisasi sipil, kemungkinan konsekuensi lanjutannya kelak, hingga berbagai pertimbangan yang dinilai belum menemui urgensinya saat ini.

Lantas pertanyaannya, benarkah Komcad yang seolah menjadi visi termutakhir Menhan Prabowo ini memang belum benar-benar dibutuhkan keberadaannya saat ini?

Komcad Kurang Relevan?

Dalam The Art of Shaping Defense Policy: Scope, Components, Relationships, Todor Tagarev menyatakan bahwa setiap kebijakan pertahanan yang dilakukan suatu negara dapat dipastikan mengacu pada pertimbangan yang kompleks.

Penilaian risiko dan ancaman keamanan, kekuatan dan kelemahan tradisional lawan potensial, dan peluang yang dapat diidentifikasi menjadi variabel pembentuk prioritas strategi pertahanan, yang umumnya mengarah pada utilisasi peran man power secara umum di antara instrumen-instrumen kekuatan yang ada.

Jika mengacu pada apa yang dikemukakan Tagarev, bukan tidak mungkin Menhan Prabowo telah mengidentifikasi penilaian maupun pertimbangan kompleks akan ancaman pertahanan yang berpotensi menghantui Indonesia, di balik visinya merealisasikan Komcad.

Mengingat ketika berbicara konteks geopolitik dan keamanan kawasan, potensi ancaman-ancaman terhadap kedaulatan dalam berbagai dimensi terus terbuka.

Persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang tensinya tak menunjukkan gejala penurunan, fenomena begitu mudah tereksposnya wilayah oleh perangkat-perangkat asing, hingga mungkin ancaman yang mungkin “hanya bisa dilihat” oleh Prabowo, agaknya menjadi dasar bahwa memang dibutuhkan embrio dan fundamental pertahanan yang solid untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Itulah yang mungkin saja jadi salah satu pertimbangan signifikansi Komcad. Karena selain mandat yang telah disampaikan sebelumnya, Komcad sendiri rencananya juga akan diproyeksikan sebagai bagian dari pelaksanaan agenda pertahanan semesta.

Merujuk pada UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, pertahanan yang bersifat semesta ialah pelibatan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Baca juga: Prabowo Tersandung Mimpi Maritim Tiongkok?

Selain itu, komponen pertahanan ini juga sedianya akan terbagi ke dalam tiga matra, layaknya susunan TNI saat ini, yakni matra darat, laut dan udara. Oleh sebab itu, integrasi dan sinkronisasi berbagai profesi dan latar belakang di dalam tubuh Komcad di berbagai matra, boleh jadi juga merupakan semacam investasi di bidang pertahanan dalam menghadapi tantangan yang ada ke depan.

Namun pertanyaan berikutnya yang muncul, apakah Komcad merupakan jawaban yang tepat untuk itu?

Serdar Genç dan Kerim Özcan, dalam sebuah jurnal yang berjudul Developing an HR Strategy Map for Military Context, menyebut bahwa saat ini dimensi pertahanan dan militer saat ini telah berada di level baru sebuah technology focused force structure atau struktur kekuatan yang berfokus pada teknologi, yang begitu cepat dan dinamis perkembangannya.

Bahwa dalam mengelola aspek pertahanan di era ini, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada dibandingkan mengedepankan kuantitas menjadi lebih dibutuhkan. Hal ini sangat terkait dengan efektivitas sumber daya itu sendiri secara fungsional yang tentunya harus sangat terlatih dengan kualifikasi spesifik yang mumpuni.

Dan tak hanya itu, domain lainnya seperti cyber warfare hingga biological warfare juga meliputi level baru tantangan pertahanan dan militer kekinian dan yang akan datang.

Postulat Genç dan Özcan di atas tampaknya dapat menjadi panduan dalam melihat serta menimbang urgensi Komcad sebagai prioritas pengembangan SDM di bidang pertahanan Indonesia.

Dalam korelasi SDM dan teknologi di bidang pertahanan sendiri, Indonesia nyatanya masih dihadapkan pada sejumlah kendala. Dalam A self-reliant defence industry: a mission impossible for Indonesia?, Tangguh Chairil menyebut bahwa penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan di Indonesia yang masih kurang memadai, seolah menambah tantangan bagi eksistensi alutsista dan teknologi militer yang kerap masih diperoleh sebagai perangkat bekas pakai negara lain.

Realita itu secara integral membuat SDM militer dan pertahanan atau komponen utama yang ada saat ini, sesungguhnya lebih membutuhkan fokus peningkatan kualitas dan kecakapan penguasaan teknologi. Yang tentunya dapat didukung pula oleh keberadaan teknologi serta alutsista militer dan pertahanan itu sendiri yang mumpuni dan termutakhir.

Ihwal tersebut juga tampaknya berkorelasi dengan prioritas pengelolaan anggaran pertahanan Indonesia di tahun 2021 sebesar Rp137 triliun, yang sesungguhnya dapat dimaksimalkan secara efektif.

Baca juga: Mengapa Prabowo Kepincut Pesawat “Seken”?

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Akademisi Universitas Indonesia Makmur Keliat menyebut, bahwa akan lebih baik jika anggaran yang ada digunakan untuk membangun dan memperkuat komponen utama yang telah ada, tak terkecuali dalam memodernisasi alutsista militer dan pertahanan beserta SDM pendukungnya.

Apalagi di dalam tubuh militer sendiri, terjadi fenomena surplus prajurit. Tidak hanya di level perwira, tetapi juga di level bintara dan tamtama yang semestinya dapat lebih dimaksimalkan.

Masih terkait pula dengan konteks anggaran, pembentukan Komcad yang “hanya” menyedot satu persen atau sekitar Rp1,37 triliun anggaran Kementerian Prabowo, lantas menimbulkan pertanyaan tersendiri mengenai aspek keberlanjutan program dan pengelolaan kualitas plus jaminan kesiapsiagaan anggotanya kelak secara berkesinambungan.

Karenanya, disamping diskursus mengenai tendensi militerisasi sipil dan potensi misinterpretasi yang ada, aspek teknis seperti yang dijabarkan di atas agaknya juga menjadikan keberadaan Komcad mungkin memang belum menjadi urgensi bagi pertahanan Indonesia saat ini.

Lalu jika demikian, adakah motif tertentu dari pembentukan Komcad?

Legacy Prabowo?

Di samping berbagai interpretasi yang berkembang di publik, dengungnya yang cukup menarik perhatian, mungkin saja dapat membuat Komcad menjadi semacam legacy konkret dari Prabowo sebagai Menhan.

Mengingat selama ini Ia dianggap kurang aktif dan tampak tak trengginas karena terkesan hanya melakukan diplomasi pertahanan, cenderung pasif ketika ada isu seperti kapal asing di Natuna atau keberadaan drone laut, hingga isu pengadaan alutsista seperti pesawat tempur yang masih abu-abu statusnya.

Apalagi wacana Komcad telah lama “mangkrak”, dan oleh karenanya jika bisa dieksekusi di era mantan Pangkostrad itu, tentu Ia akan merengkuh penilaian berbeda. Tentu dengan catatan apabila program itu berjalan mulus.

Di samping itu, dengan implementasi Komcad yang kemungkinan besar akan terealisasi, Menhan Prabowo mungkin dapat lebih fokus pada aspek keberlanjutan dari program tersebut.

Cerminan agaknya dapat diambil dari satuan atau komponen serupa di negara tetangga, seperti Filipina, yang agaknya bisa menjadi sampel konstruktif. Dengan karakteristik tantangan pertahanan yang tampak serupa, Armed Forces of the Philippines Reserve Force terbangun dalam organisasi terstruktur yang menjadi bagian dari angkatan bersenjatanya.

Di dalamnya terdapat personel cadangan yang siap secara fisik dan taktis yang selalu berlatih serta selalu siap untuk memobilisasi segera setelah perintah diberikan, atau yang disebut sebagai Ready Reservists. Plus, personel cadangan yang hanya bersifat bantuan, dukungan bagi Ready Reservist sesuai kebutuhan, atau yang disebut sebagai Standby Reservist.

Eksistensinya pun telah teruji perannya dalam beberapa peristiwa dengan isu national resilience seperti Topan Haiyan pada tahun 2013 dan beberapa kesempatan lainnya.

Yang jelas sebelum merealisasikan Komcad, basis data potensi sumber daya nasional yang dibutuhkan dan harus dikelola untuk kepentingan pertahanan negara, tampaknya memang harus menjadi pertimbangan penting.

Selain itu, struktur dan aspek keberlanjutan Komcad juga kiranya wajib diperhatikan dengan baik oleh Menhan Prabowo sebelum benar-benar merealisasikannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Prabowo Diam ‘Terkungkung’ Luhut?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?