HomeRuang PublikDi Balik “Defund the Police” di AS

Di Balik “Defund the Police” di AS

Oleh Rizka Sabriantoro

Slogan “Defund the Police” ramai digaungkan di Amerika Serikat (AS) mengikuti gerakan #BlackLivesMatter. Ada apa di balik slogan tersebut?


PinterPolitik.com

Gerakan aksi protes beberapa waktu lalu marak terjadi di Amerika Serikat. Gerakan protes tersebut muncul sebagai upaya segenap masyarakat Amerika Serikat mendorong pemerintah serta penegak hukum setempat untuk memberlakukan hukuman serta sanksi yang tegas kepada pelaku tindak rasisme, yang mana seperti diketahui, merupakan persoalan yang masih kerap muncul di negara tersebut.

Selain dilakukan secara masif di berbagai wilayah di Amerika Serikat, gerakan protes tersebut juga secara masif digelorakan di berbagai platform media sosial di bawah tagar #BlackLivesMatter. Tagar tersebut kembali mencuat bersamaan dengan gerakan aksi protes yang dilakukan, setelah tersebarnya video aksi brutalitas oleh aparat polisi kulit putih Minneapolis kepada warga kulit hitam, George Floyd, hingga tewas.

Banyak slogan dalam gerakan protes ini digaungkan untuk menarik perhatian audiens pada isu-isu terkait yang digelorakan. Salah satu slogan yang dibawa dalam gerakan aksi protes ini, yang mana menarik perhatian serta memantik diskusi adalah “Defund the Police”.

Slogan ini secara cepat menarik banyak perhatian pemuda serta partisipan gerakan protes yang menuntut sanksi tegas pada tindakan brutal yang kerap dilakukan oleh pihak polisi di Amerika Serikat. Namun, banyak pertanyaan kemudian muncul mengenai apa sebetulnya maksud serta tujuan yang dibawa dari slogan tersebut dalam gerakan aksi protes #BlackLivesMatter di Amerika Serikat?

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Urban Institute, setiap tahunnya pemerintah pusat dan daerah Amerika Serikat menghabiskan dana hingga lebih dari US$ 100 miliar untuk sektor kepolisian. Pemerintah daerah mendominasi besaran sumber dana tersebut. Sekitar 97% dari dana tersebut digunakan untuk memenuhi keperluan operasional seperti gaji dan tunjangan polisi.

Sebagai contoh, pada 2019 pemerintah kota New York menghabiskan dana hingga US$ 6 miliar untuk sektor kepolisian. Sebagai perbandingan, pemerintah kota New York mengalokasikan sekitar US$ 2.1 miliar untuk sektor pelayanan tunawisma, US$ 1.9 miliar untuk sektor kesehatan, US$1.3 miliar untuk sektor perumahan, US$ 988 juta untuk sektor pembangunan komunitas dan pemuda, serta US$ 382 juta untuk program kerja.

Berdasarkan angka-angka tersebut dapat jelas terlihat kesenjangan pengalokasian dana oleh beberapa sektor kebutuhan dasar. Hal serupa juga terjadi di banyak daerah lain di Amerika Serikat. Seperti di Chicago misalnya, pemerintah setempat menghabiskan dana hingga US$ 1.7 miliar untuk sektor kepolisian, yang mana besaran dana tersebut setara dengan dana yang dialokasikan kepada sektor pelayanan transportasi, pemadam kebakaran, perpustakaan umum, dan kesehatan dikombinasikan menjadi satu.

Kegagalan pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan prioritisasi pada kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakatnya tercermin pada bagaimana dana-dana tersebut dialokasikan. Pemerintah Amerika Serikat justru mengalokasikan besaran dana yang tinggi serta menempatkan prioritas yang berlebihan pada sektor kepolisian.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Vera Institute of Justice, sekitar 80% orang-orang yang diproses hukum oleh polisi merupakan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran kecil (minor offenses) seperti penyalahgunaan obat-obatan, atau meminum minuman alkohol di ruang publik. Hal ini sebetulnya yang disebut sebagai Overpolicing.

Namun, ketika berbicara mengenai kasus-kasus kriminal kekerasan (violent crime) yang diproses oleh pihak polisi, angkanya sangat sedikit yakni sekitar 5%. Hal ini yang sebetulnya disebut dengan Underpolicing.

Polisi-polisi di Amerika Serikat juga mengakui diberi tugas untuk menangani kasus-kasus tertentu dimana mereka sebetulnya tidak dilatih untuk menangani kasus-kasus tersebut. David Brown, mantan kepala kepolisian daerah Dallas Amerika Serikat, melalui laporan medianya mengeluhkan bagaimana kecilnya pengalokasian dana pada sektor-sektor seperti kesehatan mental, narkoba, dan sekolah oleh pemerintah membuat beban kerja pihak kepolisian meningkat dengan turut serta menangani kasus-kasus tersebut.

Banyak kritik juga muncul mengenai bagaimana dalam situasi pandemi, pengalokasian dana yang dilakukan oleh pemerintah kepada sektor kepolisian tidak berubah banyak. Ketika banyak tenaga medis di Amerika Serikat mengeluhkan terbatasnya jumlah alat pelindung diri dan perlengkapan medis lainnya, realita lain menunjukkan di mana ribuan polisi di Amerika Serikat muncul dengan peralatan keamanan diri yang lengkap untuk setiap kegiatan protes dan aksi turun ke jalan yang diselenggarakan di negara tersebut.

Hanya sekitar 5% dana pada sektor kepolisian dipotong untuk keperluan penanganan pandemi di kota New York. Besaran pemotongan tersebut cukup kecil bila dibandingkan dengan besaran persentase pemotongan dana yang dilakukan kepada sektor kesehatan kota New York yang mana mencapai 12% guna penanganan pandemi.

Hal-hal tersebut kemudian yang memicu munculnya slogan “Defund the Police” dalam gerakan aksi protes dibawah tagar #BlackLivesMatter, sebagai upaya mendorong pemerintah daerah melakukan redistribusi pengalokasian dana yang dihabiskan untuk sektor kepolisian kepada sektor-sektor kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan mental, perumahan, atau pekerjaan. Slogan “Defund the Police” menimbulkan pro dan kontra. Pada beberapa diskusi, pertanyaan mulai muncul mengenai resiko apa yang mungkin timbul dari keputusan pemerintah jika pengalokasian dana kepada sektor kepolisian dipotong dan didistribusikan kepada sektor lain. Beberapa ketakutan atas persoalan ‘keamanan personal dan publik’ yang mungkin timbul akibat pemotongan alokasi dana kepada sektor kepolisian, kebanyakan datang dari kelompok masyarakat kulit putih.

Jika diperhatikan, keamanan yang selama ini dirasakan oleh warga kulit putih di Amerika Serikat sebetulnya mengorbankan ketidakamanan yang dirasakan oleh banyak warga kulit hitam. Selama ini, pelayanan yang diberikan oleh pihak polisi selalu diberikan dengan tidak setara. Kasus brutalitas yang dilakukan oleh pihak polisi kepada warga kulit hitam bukanlah sesuatu yang jarang terjadi di Amerika Serikat.

Gagasan mengenai “Defund the Police” tidak dapat semata-mata dipahami sebagai pemotongan alokasi dana kepada sektor kepolisian saja, komponen kunci dalam “Defund the Police” adalah dana-dana tersebut dapat didistribusikan ulang kepada hal-hal lain guna meningkatkan kualitas layanan pihak kepolisian dalam merespon tindak kriminal.

Alokasi dana dari pemotongan yang dilakukan kepada sektor kepolisian tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental, crisis intervention, atau pekerja sosial. Melakukan pengalokasian dana kepada sektor perumahan dan pekerjaan, yang mana merupakan kebutuhan dasar, juga dapat mendorong terbentuknya komunitas masyarakat yang lebih aman.


Tulisan milik Rizka Sabriantoro, Peneliti Kemanusiaan dan Perdamaian PSKP.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...