HomeNalar PolitikGolkar-Anies dan Poros Menjanjikan 2024

Golkar-Anies dan Poros Menjanjikan 2024

Suara di DPR yang terbelah dalam hal revisi UU mengenai Pilkada yang masih belum dapat dipastikan apakah digelar 2022 atau 2024, seolah merefleksikan adanya kepentingan tersendiri. Lantas, mungkinkah hal itu dapat menggambarkan peta politik tertentu jelang Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

Saling lempar rasionalisasi tengah terjadi di Parlemen, saat muncul diskursus mengenai kesan adanya keganjilan pada agenda kontestasi elektoral mendatang.

Semua berawal dari agenda revisi RUU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021 yang akan dibahas DPR. RUU tersebut menggabungkan Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Salah satu poin UU Pemilu yang berlaku saat ini sendiri menyatakan bahwa, Pilkada yang secara periodik dan lazimnya berlangsung di tahun 2022, akan digelar di tahun 2024 dengan masa jabatan sisanya diampu oleh pejabat sementara (Pjs.).

Revisi UU Pemilu lantas berusaha mengatur ulang penyelenggaraan Pilkada di sejumlah daerah yang rencananya dinormalisasi pada tahun 2022, termasuk edisi di 2023. Pilkada DKI Jakarta sendiri menjadi satu dari 101 daerah yang nasibnya akan bergantung pada ketuk palu keputusan revisi kelak.

Suara sejumlah fraksi di DPR nyatanya terbelah mengenai hal ini. Pihak yang mendukung revisi sendiri sejauh ini terdiri dari Nasdem, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Golkar.

Sementara fraksi di DPR yang bersikukuh agenda Pilkada tetap digeser pada 2024, yakni PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, mempertanyakan ihwal bagaimana perubahan atau revisi akan dilakukan jika Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU tersebut belum dijalankan.

Baca juga: Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?

Sementara dari sudut berbeda, Sekretaris Fraksi Partai Nasdem, Saan Mustopa, mengatakan bahwa tidak mungkin parpol dalam kontestasi di Pileg dan Pilpres dalam waktu bersamaan harus mempersiapkan rekrutmen kepala daerah, yang secara teknis dapat dipastikan akan menemui permasalahan.

Sikap yang kiranya menarik datang dari Golkar. Wakil Ketua Umum yang juga Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia – yang notabene menjadi pihak pengusul revisi – berdiri di atas argumen bahwa aturan yang ada saat ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi kepala daerah.

Menarik karena selain lumrahnya bersikap selaras dengan gerbong koalisi saat ini bersama PDIP, sikap berbeda dari Golkar ini juga menimbulkan interpretasi lain soal kemungkinan adanya kepentingan tertentu di balik usulan revisi.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, berasumsi bahwa partai politik (parpol) yang mendorong Pilkada dilangsungkan di tahun 2022 tampak ingin memberikan panggung bagi Anies Baswedan menjelang perhelatan Pilpres 2024.

Meskipun salah satu parpol pendukung revisi, yakni Golkar, melalui Ahmad Doli Kurnia sendiri telah menyanggahnya, kemungkinan yang tersingkap itu kiranya cukup memikat untuk didalami.

Terlebih jika diamati, parpol pendukung revisi seolah dapat membentuk koalisi politik termutakhir jelang pesta demokrasi 2024.

Baca juga :  Filosofi ‘Kecoa’ ala Anies Baswedan?

Lantas pertanyaannya, mungkinkah sebenarnya Golkar memang akan diuntungkan jika revisi UU Pemilu berhasil disepakati? Serta apakah memang ada korelasinya dengan Pilkada DKI seperti yang disampaikan oleh M. Qodari?

Momentum Golkar Tentukan Arah?

Cukup menarik memang ketika melihat komposisi terbelahnya suara parpol terkait revisi UU Pemilu. Mengingat sangat terbuka pula kemungkinan bahwa komposisi tersebut dapat menjadi gambaran kasar peta politik pada kontestasi elektoral 2024.

Dalam Jokowi forms broad Indonesia coalition, bringing in rival Prabowo, Shotaro Tani juga menyiratkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mustahil bertarung di 2024, nantinya akan membuat parpol dalam koalisi mulai menentukan kepentingan masing-masing sebelum masa jabatan eks Wali Kota Solo itu berakhir.

Dengan mengutip Hasanudin Ali dari Alvara Research Center, kemungkinan besar akan ada tantangan menuju 2024, yang mana partai-partai koalisi akan berkepentingan untuk mengkampanyekan agenda mereka sendiri.

Baca juga: Mission Impossible Golkar dan Airlangga?

Masa kerja efektif pemerintahan Jokowi diperkirakan memang hanya akan berlangsung sekitar tiga tahun, di mana dalam dua tahun terakhir, friksi di antara kabinet atau partai koalisi sangat mungkin terjadi.

Ihwal inilah yang membuat kiranya pembelahan dua kubu dalam konteks revisi UU Pemilu memang bermakna tertentu. Apalagi jika sorotan ditujukan pada Golkar, sebagai parpol kuat yang pada kesempatan ini berbeda haluan dengan PDIP dan bahkan disebut menjadi pengusul revisi tersebut.

Karena jika dilihat dengan saksama, komposisi mereka yang mendukung revisi UU Pemilu tampak cukup ideal untuk membentuk poros atau koalisi di 2024. Tentu dengan Golkar sebagai partai tradisional, yang bisa jadi leader-nya ketika bersanding dengan parpol potensial dan mumpuni lainnya seperti Nasdem, Demokrat, PKS.

Ditambah, secara organisasi, Golkar sendiri memiliki kerinduan untuk kembali menjadi kekuatan politik yang dominan dan sempat dikemukakan dalam momentum HUT partai berlambang pohon beringin yang ke-56 pada Oktober 2020 lalu.

Ulla Fiona dalam publikasinya yang berjudul Indonesian Parties in a Deep Dilemma: The Case of Golkar, mengatakan bahwa selama ini Golkar seperti dihadapkan pada dilema ketika berambisi untuk menjadi parpol yang berkuasa seperti di masa lalu, tetapi tidak memiliki sosok atau kandidat prominen yang dapat bersaing pada level Pilpres.

Pesta demokrasi 2014 menjadi realita pahit bagi Golkar karena meski mendulang suara yang cukup mengesankan di ajang legislatif, tahun itu adalah pertama kalinya Golkar gagal mengusung nama Capres atau Cawapres. Disusul dengan kenyataan yang sama di 2019.

Berkaca dari situ, revisi UU Pilkada yang diusulkan Golkar tak menutup kemungkinan bermotif untuk membuka opsi bagi parpol besutan Airlangga Hartarto itu dalam memprospek Capres dari sosok kepala daerah, demi ajang Pilpres 2024.

Baca juga: Airlangga Tak Terbendung Untuk 2024

Mengingat sampai saat ini Airlangga sebagai yang paling diharapkan di internal Golkar, tak memiliki elektabilitas yang cukup. Opsi itu tentu juga dapat sekaligus membuat Airlangga untuk paling tidak menjadi Cawapres yang dapat cukup positif bagi reputasi dan mimpi Golkar kembali berkuasa.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Dan ketika berbicara sosok calon yang paling bertautan dengan isu revisi UU Pemilu dan berpotensi dapat diusung sendiri ialah Anies Baswedan, persis seperti apa yang dikemukakan Qodari.

Lalu seperti apa prospek Golkar jika memang nantinya benar-benar mengusung Anies sebagai Capres?

Poros Politik Sempurna?

Selain secara “alamiah” dan teknis, proyeksi membentuk dan memimpin poros baru lumrah saja dilakukan oleh Golkar seperti yang telah dijabarkan di atas, faktor tak ingin terseret preseden minor PDIP yang tengah dirundung isu rasuah pun kiranya menjadi salah satu faktor pendukungnya.

Karena di masa lalu, elektabilitas Demokrat dan sejumlah parpol pendukungnya turut terimbas cukup hebat di Pemilu 2014, pasca dua periode berkuasa, akibat isu serupa yang jadi preseden destruktif.

Oleh karena itu, semakin logis bagi Golkar untuk dapat keluar lebih dini dan menginisiasi poros baru. Terlebih jika koalisi yang terbentuk persis seperti komposisi sokongan terhadap revisi UU Pemilu, di mana ada parpol beraliran nasionalis dan pluralis yang direpresentasikan Nasdem dan Demokrat, plus yang berhaluan Islam dan cukup potensial seperti PKS.

Prospek positif itu sejalan dengan apa yang dikemukakan Edward Aspinall dalam publikasinya, Indonesia’s election and the return of ideological competition, yang menyebut bahwa kombinasi pengakomodiran kalangan pluralis, dan politik Islam masih akan terus relevan untuk menggaet suara dalam kontestasi elektoral level tertinggi di Indonesia.

Belum lagi jika sukses menggaet Anies Baswedan ke dalam Golkar dan menjadikannya Capres di koalisi seperti yang disebutkan di atas. Karena bukanlah rahasia lagi bahwa hubungan yang sangat positif telah eksis di antara aktor-aktor tersebut.

Mulai dari antara Anies dan Surya Paloh sebagai empunya Nasdem, hingga PKS yang tampak selalu setia berada di belakang Anies. Tinggal bagaimana Demokrat menyesuaikan, yang barang tentu bukan perkara sulit bagi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jika ingin kembali membawa Demokrat ke lingkaran pemerintahan.

Dan satu yang tak bisa dilupakan ialah faktor Jusuf Kalla (JK) yang juga punya riwayat koneksi kuat serta sangat konstruktif dengan aktor-aktor itu, dan kemungkinan besar dapat menjadi katalisator signifikan proyeksi poros politik tersebut.

Tinggal kemungkinan bagi skenario ini untuk terus terbuka, hanya jika memang nantinya revisi benar-benar telah disepakati dan Pilkada tetap akan berlangsung pada 2022. Plus, Anies lah yang memenangkan kontestasi edisi DKI Jakarta dengan koalisi politik tertentu di belakangnya. (J61)

Baca juga: Ada JK di Balik Rizieq?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Filosofi ‘Kecoa’ ala Anies Baswedan?

Anies Baswedan dinilai bakal jadi salah satu politikus paling “susah dimatikan” kariernya. Bagaimana Anies bisa bertahan tanpa jabatan politik?

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

More Stories

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?