Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Mungkinkah ini menjadi senja kala bagi independensi lembaga tersebut?
Terhitung sejak awal September lalu, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tujuh hari. Ya, hanya perlu tujuh hari bagi Komisi III DPR RI untuk membahas poin-poin yang akan direvisi dari UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini tak pelak menjadi sorotan publik, karena ‘bekerja cepat’ bukanlah state of nature DPR kita kecuali untuk isu-isu ‘mata air’ atau besar kemungkinan dekat dengan kepentingan mereka. Bukan kali pertama, DPR mengebut pembahasan RUU kontroversial dan menjadi sorotan publik.
Tahun lalu, revisi UU KPK yang masyhur itu juga bukan main kecepatan pembahasannya. Dua belas hari tepatnya.
Pembahasan revisi UU MK bahkan jauh lebih cepat lagi. Pada akhir Agustus lalu, untuk pertama kalinya, DPR dan Pemerintah rapat dengan agenda pembacaan sikap dan keterangan masing-masing.
Keesokan harinya, rapat berlangsung dengan agenda pemberian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Pemerintah dan pembentukan Panitia kerja (Panja). Tanpa menunggu lama, di hari Rabu, Panja melakukan rapat dan berlanjut ke hari Kamis dan Jumat. Perlu diketahui, ketiga rapat tersebut dilakukan secara tertutup.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Khairul Saleh mengatakan alasan tertutupnya rapat Panja tersebut adalah untuk mencegah kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Berbeda dengan Khairul Saleh, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Herman Herry malah membantah tertutupnya pembahasan RUU ini. Padahal, selama rapat Panja dari Rabu-Jumat, seluruh agenda rapat dilakukan secara tertutup.
Tren pembahasan kilat RUU di DPR RI tidak akan mengkhawatirkan jika dipraktikkan di RUU dengan urgensi besar dan bukan hasil kompromi kepentingan-kepentingan kotor dan culas. Sebut saja, RUU PKS yang sudah bertahun-tahun diharapkan, atau ratifikasi Konvensi ILO 188 menyusul semakin maraknya perlakuan terhadap buruh migran kita.
Namun, yang terjadi malah jauh dari harapan. Tren pembahasan kilat ini melahirkan produk hukum yang kontroversial dan tak esensial.
Minim Urgensi
Terlepas dari fakta bahwa kedua RUU ini sama-sama kontroversial dan penuh kepentingan politik, namun pada kasus RUU KPK kita masih bisa berdebat soal urgensi karena meliputi persoalan teknis seperti badan pengawas, ketentuan penyadapan, dan sebagainya.
Namun, lain hal di revisi UU MK, poin-poin yang akan direvisi mendorong untuk mengernyitkan dahi bagi siapa yang membacanya. Poin-poin yang dibahas berkutat pada persoalan usia minimal dan maksimal hakim MK, masa jabatan, dan segala tetek bengeknya yang agaknya minim urgensi.
Adapun hal-hal yang menuai sorotan dari revisi ini meliputi; pertama, usia minimal seorang hakim MK dari yang 47 tahun di UU sebelumnya menjadi 55 tahun – turun 5 tahun dari yang diusulkan sebelumnya yakni 60 tahun. Kemudian, perihal masa jabatan, seorang hakim MK boleh menjabat sampai umur 70 tahun sepanjang ia belum menjabat selama 15 tahun.
Hal-hal ini jauh dari apa yang pernah dibahas oleh Kementerian Hukum dan HAM dan MK pada 2017 lalu – di mana fokus dari revisi yang direncanakan pada waktu itu menyangkut persoalan teknis seperti hukum acara MK. Dari situ, kita bisa melihat betapa minimnya urgensi dari revisi ini.
Alih-alih menguatkan, revisi ini malah dituding bertujuan ‘menjinakkan’ hakim MK. Hal ini berpotensi melahirkan ‘utang budi’ di pundak para hakim MK yang kemudian akan mengurangi hambatan-hambatan DPR dan Pemerintah dalam menggolkan RUU maupun memanjangkan umur kekuatan hukum poin-poin UU produksi mereka.
Muncullah pertanyaan, bagaimana nasib lembaga yang dijuluki sebagai ‘Mahakarya’ hukum Indonesia ini? Setelah KPK, apakah kita kini harus gigit jari dengan hilangnya independensi lembaga independen dan kepercayaan kita (lagi)?
Revisi ini wajar digadang-gadang sebagai senja kala atau ujung dari independensi MK menuju malam gelap yang panjang berupa konflik kepentingan di dalamnya. Kita patut khawatir karena, sepanjang sejarah, MK sudah menjawab banyak harapan tentang tegaknya konstitusi dan tempat mengadu dari liciknya beberapa UU.
Senja Kala Independensi
Kita telah melihat betapa proses pembahasan RUU ini melahirkan banyak pertanyaan. Tentu setelah membaca substansi dan menimbang urgensi, adalah sebuah keniscayaan lahirnya asumsi dan spekulasi di ruang publik.
Di atas sudah disinggung perihal berbahayanya RUU ini jika sampai benar menjadi barter kepentingan antara hakim MK dengan DPR. Spekulasi dan kekhawatiran tentu semakin menguat jika melihat adanya beberapa UU kontroversial nan problematik yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Sebut saja UU KPK, UU Stabilitas Keuangan Negara (Perppu No. 1 Tahun 2020/ ‘Perppu Corona’), dan RUU Cipta Kerja yang hampir pasti akan diuji ke MK jika berhasil ‘gol’. DPR dan Pemerintah tentu punya kepentingan untuk mempertahankan regulasi-regulasi tersebut.
Lantas, salahkah publik menduga bahwa independensi MK dan lembaga independen lain telah di ambang senja kala? Tentu tidak jika melihat beragam fakta yang dipertontonkan.
MK sejak awal pembentukannya menjadi salah satu lembaga negara yang hadir layaknya juru selamat citra lembaga-lembaga negara serta menjadi harapan rakyat yang setia. Dan kini, dengan poin-poin hasil revisi, layaklah publik khawatir akan keberlanjutan independensi MK.
Ambil contoh perpanjangan masa jabatan 15 tahun. Hal ini akan sangat menggiurkan bagi hakim MK ke depan – yang mana bisa dimanfaatkan pihak-pihak di eksekutif dan legislatif untuk mengalirkan kepentingan politiknya sejauh dan selancar mungkin.
Kita tahu, hakim konstitusi bukan malaikat yang memiliki altruisme yang tidak terbatas. Ia hanya manusia biasa yang tentunya mungkin menggadaikan integritasnya, apalagi jika dibutakan berbagai tawaran menggiurkan.
Ketika semua ini telah terlanjur berlaku, maka akan semakin cepatlah langkah lembaga-lembaga negara menuju senja kala independensi. Kepentingan politik akan semakin leluasa menjajah integritas lembaga-lembaga yang sebelumnya menjadi kepercayaan rakyat. Dan, tepat setelah itu semua, kinerja lembaga-lembaga tersebut sudah menemui malam gelap yang panjang.
Tulisan milik Dion Pardede, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.