Kerangka aturan dan norma soal penggunaan energi terbarukan mulai terbangun, baik secara internasional maupun domestik. Apakah energi terbarukan dapat menjadi potensi atau malah menjadi ancaman?
Perusahaan minyak dan gas asal Inggris, BP Energy merilis proyeksi energi dan kecenderungan pemilihan energi di dunia. Laporan tersebut menjelaskan bahwa konsumsi energi saat ini bergeser, dari energi fosil ke energi terbarukan. Kepala ekonom BP, Spencer Dale merilis bahwa pertumbuhan energi terbarukan akan tumbuh menjadi 60 persen pada tahun 2050, terlebih pertumbuhan akan tenaga bayu dan surya.
Melihat tren tersebut, tidaklah heran jika kita melihat perkembangan isu energi di dunia. Pada tahun 2015, sebanyak 195 negara yang tergabung dalam UNFC (United Nations Framework Convention on Climate Change) sepakat menandatangani Paris Agreement. Perjanjian internasional ini memuat mengenai komitmen Negara didunia untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global sebesar 2®C di masa industrialisasi, mengurangi penggunaan energi fosil, termasuk pula pengembangan teknologi untuk menghasilkan energi terbarukan.
Pertemuan yang membahas mengenai keberlanjutan lingkungan bukan kali pertama ini saja, sejak tahun 1972 PBB telah mengadakan Konferensi tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm. Kemudian, berturut-turut ada Deklarasi Rio de Janeiro dan Agenda 21, Piagam Bumi, Millenium Development Goals (MDG), Deklarasi dan Program Aksi Johannesburg tentang pembangunan berkelanjutan.
Adanya pertemuan Internasional yang membahas mengenai keberlanjutan lingkungan, merupakan buah dari Kesadaran manusia akan pentingnya keberlanjutan kehidupan, mereka berpikir bahwa bumi tempatnya berpijak harus tetap lestari, artinya pengelolaan sumber daya alam yang memberikan dampak ekonomi di satu sisi wajib untuk dijaga keberlangsungannya hingga ke generasi selanjutnya. Inilah yang dinamakan fungsi keseimbangan (sustainable).
Terkait Paris Agreement, Indonesia sendiri telah meratifikasi melalui UU No. 1/2016. Secara hukum internasional, ratifikasi bukanlah sekadar konfirmasi dari suatu negara terhadap kesepakatan Perjanjian Internasional tersebut, melainkan juga sebagai pernyataan formal suatu negara untuk terikat pada suatu Perjanjian Internasional. Melihat hal demikian, tandanya Indonesia harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan Paris Agreement tersebut.
Isu energi yang juga merupakan bagian dari isu lingkungan, telah disinggung oleh pemerintah Indonesia melalui Konferensi Nasional Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2004 di Yogyakarta.
Sementara itu, produk hukum di Indonesia yang berkaitan dengan Paris Agreement ini kurang lebih ada 12 (dua belas) peraturan perundang-undangan, artinya pengimplementasian terhadap ratifikasi ini dapat dimasukkan ke 12 (dua belas) produk hukum yang telah ada tersebut atau dapat membuat suatu ketentuan baru berkaitan dengan ratifikasi ini.
Sebagaimana yang telah disampaikan diatas mengenai potensi pemanfaatan energi terbarukan di dunia, Indonesia telah memberikan target terkait pelaksanaanya melalui PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal 9 huruf f menyebutkan bahwa tahun 2025 peran energi terbarukan ditargetkan minimal 23% dan pada tahun 2050 minimal 31%.
PP ini merupakan turunan atas UU Energi tepatnya Pasal 11 Ayat 2. UU Energi merupakan payung hukum yang mengatur mengenai pengelolaan energi termasuk energi terbarukan. Dalam pengertiannya, Pasal 1 angka 6 sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergy, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Selanjutnya, energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan.
Tumpang Tindih Aturan
Adanya instrumen hukum berkaitan dengan energi menandakan adanya upaya sadar pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi, proses pelaksanaan di lapangan masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi.
Energi terbarukan pada prosesnya memang sarat teknologi. Misal, dalam proses pengelolaan panas bumi diperlukan pengeboran pada daerah yang terdapat potensinya, proses pengobaran pastinya membutuhkan biaya dan risiko yang tidak sedikit.
Dalam UU Panas Bumi disebutkan bahwa untuk pengelolaan tenaga listrik/pembangkit listrik Panas Bumi masuk ke dalam pemanfaatan tidak langsung. Pada prosesnya, pengelolaan ini wajib terlebih dahulu ditetapkan dalam wilayah kerja oleh kementerian. Wilayah kerja yang dimaksud dapat berupa hak atas tanah, tanah ulayat, wilayah perairan, dan/atau kawasan hutan. Artinya, UU ini ada kaitannya dengan UU kehutanan khususnya mengenai hutan adat dan konservasi yang diubah menjadi izin lingkungan.
Sehubungan dengan diundangkannya UU Cipta Kerja, UU Panas Bumi menjadi salah satu UU yang dirubah. Dalam UU Panas Bumi, pemanfaatan tidak langsung harus mendapatkan izin panas bumi. Menariknya dalam UU Cipta Kerja ketentuan Pasal 24 UU Panas Bumi dirubah menjadi lebih singkat yakni setiap izin panas bumi diwilayah kehutanan harus mengikuti peraturan perundang – undangan kehutanan, artinya yang menjadi acuan adalah semua peraturan perundang – undangan di bidang kehutanan.
Sementara itu, UU Cipta Kerja merubah mengenai izin pemanfaatan hutan lindung, dimana pemanfaatan hutan lindung jasa lingkungan langsung diberikan oleh pemerintah pusat dimana sebelumnya dalam UU Kehutanan ketentuan Pasal 26 Ayat 2 disebutkan bahwa pemanfaan hutan lindung mesti mendapat izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan.
Izin tersebut dapat dilihat dalam Permen Lingkungan Hidup No P.4/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 yang mengatur mekanisme izin lingkungan untuk panas bumi yang diatur dalam Pasal 15 untuk IPJLB eksplorasi, di antaranya pemohon wajib memenuhi persyaratan teknis salah satunya membuat pakta integritas untuk melakukan restorasi ekosistem jika tidak melanjutkan eksploitasi.
Artinya ketika gagal dalam menemukan sumber panas bumi dan pemegang izin tidak ingin melanjutkan ke tahapan eksploitasi, maka pemegang izin wajib untuk melakukan restorasi ekosistem. Sementara, untuk IPJLB eksploitasi dan pemanfaatan diatur dalam pasal 22 yang mewajibkan untuk menyusun pernyataan komitmen (dibaca AMDAL) dan pernyataan teknis di antaranya Izin Lingkungan, studi kelayakan, pertimbangan teknis UPT dan UPTD sesuai kewenangan dan pakta integritas salah satunya melakukan restorasi ekosistem hutan yang sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin serta melaksanakan pengamanan dan perlindungan kehutanan.
Dengan demikian, adanya UU Cipta Kerja yang merubah UU Panas Bumi dan UU kehutanan terkait mekanisme izin lingkungan, masih belum mendapatkan kepastian hukum mengingat perlu disahkannya peraturan pemerintah terhadap penetapan izin lingkungan ditambah pula dengan kekhawatiran terhadap degradasi lingkungan.
Hal yang menarik dicermati kembali adalah ketentuan Pasal 73 UU Panas Bumi yang diubah didalam UU Ciptaker yang mengatur mengenai sanksi terhadap pihak yang menghalangi dan merintangi pengusahaan panas bumi yang telah memiliki izin dipidana penjara selama 7 tahun/denda maksimal 70 miliar rupiah. Kita ketahui bahwa wilayah kerja panas bumi yang berada di kawasan hutan sering kali memberikan efek terhadap lingkungan sekitar.
Misal, turunnya celeng/babi hutan ke kawasan penduduk akibat terganggunya habitatnya ataupun keruhnya sungai akibat proses pembukaan lahan di hulu sungai. Walaupun dalam Pasal 65 Ayat 2 UU Panas Bumi masyarakat mendapatkan haknya untuk meminta ganti kerugian dan melakukan gugatan akibat aktivitas izin panas bumi di wilayah kerja apabila menyebabkan kerugian bagi masyarakat, namun adanya ketentuan sanksi bagi yang menghalangi/merintangi inilah yang menjadi polemik. Definisi menghalangi dan merintangi dalam Pasal 73 inilah bisa jadi boomerang bagi masyarakat terdampak yang hendak memperoleh haknya.
Sementara jelas disebutkan dalam UU Kehutanan Pasal 68 bahwa masyarakat dapat menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan dan bagi masyarakat yang kehilangan akses terhadap hutan akibat adanya penetapan kawasan hutan dapat meminta ganti kerugian.
Kemudian, pada energi matahari, diperlukan lahan yang luas dan penempatan solar panel harus pas dengan jangkauan sinar mataharinya. Hal ini pastinya dapat menyebabkan konflik lahan yang tidak lain akan menambah daftar panjang konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah.
Yang menarik dari pemanfaatan energi matahari ini terkait regulasi yang mendorong penggunaannya di masyarakat. Upaya pemerintah untuk mengenalkan sumber energi terbarukan tercermin dalam Permendes No 13/2020. Kemendes PDTT telah memasukkan desa berenergi bersih dan terbarukan kedalam SDGs Desa, dimana SDGs desa ini merupakan turunan pelaksanaan dari SDGs Nasional.
Nyatanya, pelaksanaan pemanfaatan energi terbarukan tersebut mesti mendapatkan persetujuan dari Kementrian ESDM. Menteri melalui Direktur Jenderal dapat menetapkan wilayah usaha pembangkit listrik skala mikro, serta dapat menunjuk pihak yang akan melakukan pengelolaannya, baik itu badan usaha maupun badan usaha daerah, hal ini sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No 38/2016. Artinya, desa tidak dapat sembarang dalam mengembangkan energi terbarukan tersebut, mesti ada keterlibatan kementErian ESDM dalam menentukan wilayah usahanya.
Upaya Menggoda Investor
Biaya produksi pemanfaatan energi terbarukan membutuhkan ongkos yang mahal, sedari proses eksplorasi dan eksploitasi. Walaupun pemerintah telah menjamin akan memberikan dana penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi pada energi terbarukan melalui pemerintah dan/atau pemerintah daerah dan dapat juga melalui badan usaha yang bekerjasama dengan pemerintah (lihat Pasal 25 Ayat 2 dan Pasal 26 Ayat 2 PP Kebijakan Energi Nasional), nyatanya pertumbuhannya masih 9,15% dari bauran energi Nasional.
Upaya pemerintah dalam menarik investor dapat dilihat atas terbitnya Permen ESDM No 4/2020 pengganti atas Permen ESDM No 50/2017. Setidaknya terdapat beberapa perubahan mekanisme dalam pembelian energi listrik yang dihasilkan dari EBT, yakni melalui penunjukkan langsung dan mekanisme BOO (Built, Own, Operate) yang menggantikan BOOT (Build, Own, Operate, dan Transfer).
Skema BOOT ini dinilai merugikan produsen listrik swasta, karena aset tersebut tidak menjadi miliknya. Padahal, tanah untuk membangun pembangkit berasal dari perusahaan pengembang, tarif pengelolaan tidak ada subsidi, harus bayar pajak pula kepada pemerintah ditambah perlu meminjam bank agar proyek bisa berjalan, selain itu harus menggunakan bunga komersial pula.
Adanya perubahan tersebut nyatanya masih belum sempurna, pembelian listrik oleh PLN terhadap wilayah dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar 85% dari BPP Pembangkitan di sistem setempat. Proses penunjukkan langsung pun juga masih terdapat beberapa indikator yang perlu dilalui, di antaranya sistem tenaga listrik setempat dalam kondisi krisis/darurat penyediaan listrik, adanya penambahan kapasitas di pembangkit yang telah ada diwilayah setempat, dan pembelian tenaga listrik tersebut dalam hal hanya terdapat 1 (satu) penyedia.
Promosi terhadap energi terbarukan sebelumnya pun sudah tertuang dalam Permen ESDM No. 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT PLN. Tujuan permen ini tercantum dalam Pasal 2, tidak lain untuk mengurangi tagihan listrik pelanggan. Permen ini mengatur pula perhitungan ekspor impor dari PLTs Atap ini, namun nyatanya pengguna PLTs Atap ini kurang lebih hanya 10% dari pengguna listrik yang berdaya 4.400 VA s.d 10.500 VA.
Pentingnya Aspek Sustainable dalam Regulasi EBT
Target penggunaan EBT Nasional sebagai pengganti energi fosil bukanlah angka semata, butuh upaya bagi stakeholders terkait, terlebih penataan instrumen hukumnya. RUU EBT yang saat ini sedang dibahas di DPR diharapkan menjadi jawaban atas kepastian penggelolaan energi terbarukan. Penggunaan teknologi dalam pengembangan energi terbarukan yang mana banyak dimiliki oleh negara maju, mesti harus dipelajari dengan menjalin kerjasama, sebagaimana tercantum dalam Paris Agreement.
Energi masuk ke dalam kajian hukum lingkungan, pada pengertiannya hukum lingkungan modern mengatur mengenai tindak perbuatan manusia dengan tujuan melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi ke depan (Koesnadi Hardjasoemantri, 2005).
Penggantian energi fosil menjadi energi terbarukan memang patut didukung, akan tetapi segala hal yang berkait di dalamnya misal regulasi terhadap kepastian hukum ataupun perlindungan terhadap lingkungan pun mesti untuk di perhatikan. Uniknya, di satu sisi ingin memajukan energi terbarukan namun nyatanya pemerintah menerbitkan UU Minerba, di sinilah patut dipertanyakan komitmen pemerintah untuk memajukan energi terbarukan.
Oleh karenanya upaya pemerintah untuk memajukan energi terbarukan jangan sampai menjadi suatu kluster baru dalam perampasan lahan dan degradasi lingkungan. Amanat UUD NRI 1945 Pasal 33 harus menjadi pijakan bersama. Bumi sebagai ruang hidup harus senantiasa dijaga, karena kita hidup dalam suatu ekologi sebagaimana pengertiannya oleh William H. Matthews, “ecology focuses the interrelationship between living organism and their environment.”
Tulisan milik Arrizal Fathurohman Nursalim, S.H, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.