HomeNalar PolitikJK, Jangkar Baru Oposisi Jokowi?

JK, Jangkar Baru Oposisi Jokowi?

Kerap kali melontarkan pendapat bernada kritik, Jusuf Kalla seolah bertransformasi menjadi “lawan politik” bagi Presiden Jokowi yang pernah didampinginya di periode pertama. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Pasca tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla (JK) seperti belum habis dan tak berdiam diri untuk terus secara tegas menyuarakan pendapatnya mengenai dinamika politik dan pemerintahan.

Bahkan yang terbaru, dalam sebuah acara diskusi virtual bertajuk Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR, pertanyaan JK terkait bagaimana mengkritik pemerintah saat ini tanpa dipanggil aparat menjadi intrik tersendiri.

Mantan Wapres pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu berangkat dari permintaan kritik yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan beberapa tokoh pemerintahan setelahnya.

Intrik itu pun lantas berbuntut dengan saling sahut pendapat antara Istana-pemerintah dan JK serta pihak-pihak yang sepakat dengannya.

Istana tampak cukup reaktif saat Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan, menilai JK terkesan ingin memprovokasi keadaan usai melontarkan pertanyaan tersebut.

Menko Polhukam Mahfud MD juga turut angkat bicara dan sedikit “menyentil” balik dengan membandingkan konteks kritik-tangkap itu dengan di era JK saat menjadi Wapres sebelumnya, dengan menyebutkan sejumlah kasus seperti Saracen, Muslim Cyber Army, hingga Piyungan.

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebutkan pula kasus pelaporan ke polisi yang dilakukan keluarga Kalla yakni saat putri kedua JK, Muswirah Jusuf Kalla. Eks kader Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean dan pemerhati sosial dan politik, Rudi S Kamri dilaporkan putri Kalla ke Bareskrim Polri pada awal Desember 2020 lalu, atas dugaan pencemaran nama baik melalui media sosial.

Baca juga: Ma’ruf Terjebak “Strategi Machiavelli” JK?

Namun, berbeda dengan Ade Irfan Pulungan, Mahfud agaknya mencoba sedikit menengahi di saat yang sama, dengan menilai bahwa pernyataan dan pertanyaan JK tersebut bukan bermaksud bahwa setiap kritik yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah akan berujung pelaporan.

Meskipun JK memang sebelumnya terkadang berani untuk terbuka menyampaikan kritik kepada siapapun, perihal yang semakin intensif belakangan ini agaknya membuka ruang tanya tersendiri. Ihwal mengapa JK kemudian bertransformasi dan seolah semakin menjadi “lawan politik” bagi Jokowi dan pemerintahannya?

Great Man, Sangat Pantas Didengar?

Memang nyatanya bukan kali ini saja JK cukup terbuka menyampaikan pendapat yang bernada kritikan terhadap pemerintah. Gelagat tersebut bahkan terlihat sejak dirinya masih menjabat sebagai Wapres di akhir periodenya mendampingi Jokowi.

Serangkaian kritik itu misalnya mengenai perbedaan pendapat dengan Jokowi dalam konteks Perppu antiterorisme pada 2018 lalu, ketidaksepahaman terhadap konsep proyek light rail transit (LRT), hingga masalah penyampaian visi misi capres cawapres saat dirinya menjadi Ketua Dewan Pengarah TKN Jokowi-Ma’ruf Amin.

Belum lagi setelah purna tugas dan pandemi Covid-19 melanda. Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu tak jarang mengkritik lambannya penanganan pandemi oleh pemerintahan Jokowi, menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak tegas dan hanya bermain kata-kata, sampai masalah isu Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mana Ia mengomentarinya sebagai fenomena kekosongan kepemimpinan dan cara berdemokrasi yang masih keliru.

Baca juga :  Pak Bas Sang Pengurus IKN

Jika didalami, postulat teranyar yang disampaikan JK itu tampaknya punya landasan yang kuat. Isu terkini soal kritik tanpa dipanggil polisi sendiri, berangkat dari diskursus mengenai terjerembabnya kualitas demokrasi Indonesia dalam berbagai survei dan laporan.

The Economist Intelligence Unit atau EIU dalam laporan Indeks Demokrasi 2020 lalu menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dunia. Skor edisi teranyar itu merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir dan membuat negeri +62 dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Yang lebih memprihatinkan, Indonesia harus berada di bawah Malaysia, Filipina, bahkan Timor Leste dalam daftar tersebut.

Baca juga: Semua Jadi Salah JK?

Dari situlah, reaksi Istana melalui Ade Irfan yang telah disebutkan sebelumnya, tampaknya memang kurang tepat. Di saat yang sama, rangkaian pendapat hingga kritik yang terlontar JK selama ini kiranya memang memiliki esensi dan nilai tersendiri yang tak boleh dianggap sebelah mata, plus agaknya dapat menunjukkan bahwa mantan Wapres itu masih memiliki kualitas sebagai seorang negarawan.

Salah satu landasan teoretis yang kiranya tepat untuk mendeskripsikan sosok seperti JK ialah great man theory yang dicetuskan oleh filsuf asal Skotlandia, Thomas Carlyle. Menurutnya, tokoh atau pemimpin yang hebat dan disebut sebagai the great man adalah mereka yang terlahir demikian.

Ihwal itu kemudian dikritisi oleh filsuf asal Inggris, Herbert Spencer. Dalam publikasi berjudul Hero Myths yang ditulis Robert A. Segal, Spencer mengatakan bahwa eksistensi the great man juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, bukan semata-mata berasal dari breeding process.

Segal menyebut kritik dari Spencer itu sebagai salah satu koreksi paling signifikan dari rumusan Carlyle tentang great man theory.

Pada konteks JK sendiri, Ia terlahir dari keluarga cukup terpandang dengan reputasi bisnis mumpuni dari sang ayah, Haji Kalla, yang memiliki bendera usaha Kalla Group. Pada tahun 1968, JK menjadi CEO dari NV Hadji Kalla.

Bersamaan dengan periode menjalankan bisnisnya itu, JK juga malang melintang dan menasbihkan diri sebagai politisi dan pemimpin berkaliber mumpuni, mulai dari kariernya di DPRD Sulawesi Selatan dari Sekber Golkar sejak 1965, berkiprah di MPR setelahnya, hingga dipercaya menduduki kursi menteri sejak era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dirinya pun berhasil memimpin partai politik legendaris tanah air, Golkar, bersamaan dengan puncak kariernya sebagai Wapres pendamping SBY pada tahun 2004 silam.

Tak hanya sekadar titel yang tersemat, jabatannya itu ditunaikannya dengan torehan reputasi, pemikiran, dan kontribusi konkret lainnya dalam politik dan pemerintahan dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, kesejahteraan sosial, ideologi, keagamaan, hingga nasionalisme.

Perihal itu lah yang membuat JK agaknya memenuhi cukup kriteria untuk dikatakan sebagai negarawan dengan predikat great man.

Berkaca pada relevansi pengalamannya di episentrum kekuasaan di berbagai kepemimpinan dengan haluan politik yang berbeda, juga membuat suara JK hingga kini memang sangat layak untuk didengar dan diartikulasikan, khususnya ketika ditujukan untuk pemerintah.

Lalu, apakah karakteristik mumpuni seorang Jusuf Kalla dan kecenderungan kritiknya terhadap pemerintah itu memiliki motif politik tersendiri di baliknya?

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

King Maker Bagi Penguasa Anyar?

Selain sebagai negarawan, telah lama JK juga dinilai dan menunjukkan diri sebagai seorang politisi oportunis yang pandai melakukan manuver.

Konteks politisi oportunis yang tercermin dari JK, kiranya terbentuk dari kiprah politiknya selama aktif di Partai Golkar. Jeffrey Winters dalam tulisannya Guest Post: Oligarchy Dominates Indonesia’s Elections mengatakan bahwa masalah Partai Golkar terletak pada banyaknya aktor yang memiliki “kekuatan”, di mana itu membuat persaingan dan praktik berebut pengaruh menjadi hal yang lazim terjadi. Artinya, permainan oportunistis sepertinya menjadi suatu hal yang lumrah di tubuh partai beringin dan dianut pula oleh para elitenya.

Political opportunism atau oportunisme politik juga disebut oleh cendekiwan politik Amerika Serikat (AS) Paul Berman, terkait dengan gaya politik di mana terdapat upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan pengaruh politik tiap kali ada kesempatan tertentu.

Baca juga: JK ‘Rugi’ Jadi Wapres Jokowi

Style politik JK kini yang semakin intensif melontarkan kritik terhadap pemerintah, boleh jadi merupakan bagian dari karakter oportunisnya sekaligus membuka peluang bagi afirmasi terhadap dirinya sebagai sosok king maker ideal – yang “populer” atau selaras dengan aspirasi publik – dalam konteks siapapun yang di-endorse-nya dalam ajang Pilpres 2024 mendatang.

Dan barang tentu ketika muncul pertanyaan perihal kepentingan apa, jawabannya dinilai tak akan jauh dari potensi pengaruh, reputasi, legacy, hingga probabilitas menempatkan “orang-orangnya” kembali di kekuasaan.

Dalam sebuah telaah ilmiah yang diselenggarakan Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Ikatan Psikologi Klinis Indonesia, dan Ikatan Psikologi Sosial Indonesia pada 2014 lalu, JK disebut memiliki motivasi berprestasi dan motivasi afiliasi yang relatif lebih tinggi dibanding kandidat lainnya.

Tak hanya itu, eks Ketua Centrist Asia Pacific Democratic International tersebut juga dinilai memiliki motif berkuasa yang relatif lebih tinggi.

Namun pertanyaan besarnya ialah mungkinkah JK bisa menjadi king maker di ajang kontestasi elektoral 2024 jika tidak memiliki basis politik seperti parpol hingga saat ini?

Peluang itu mungkin saja masih terbuka untuk terjadi dengan dimensi tertentu yang tak terduga, di tengah dinamisnya ekosistem politik tanah air. Apalagi narasi yang dibangun JK tampak cukup representatif bagi pihak oposisi saat ini.

Tetapi satu yang jelas dan terlepas dari analisa di atas, urgensi pendapat JK tampaknya memang memiliki “nilai intrinsik” tinggi tersendiri yang patut didengar dan diartikulasikan.

Terbukti dari instruksi terbaru Presiden Jokowi kepada Kapolri mengenai kejelasan pengaplikasian UU ITE, yang kemungkinan besar merupakan lanjutan dari reaksi terhadap pendapat JK soal isu demokrasi dan kritik terhadap pemerintah.

Di atas itu semua, keterbukaan dan keadilan memang diharapkan tak sebatas instruksi dan jargon. Namun memang sudah selayaknya dijamin oleh pemerintah, siapapun itu yang berkuasa. (J61)

Baca juga: Airlangga Moncer Kalau Didukung JK


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).