Juru Bicara Gerindra tegaskan partai telah nyaman mengusung Prabowo Subianto di 2024. Di sisi lain, deklarasi Relawan Kawan Sandi (RKS) di berbagai daerah justru bermunculan. Apakah ini cara Sandi menekan Gerindra untuk mengusungnya?
“Politics is not a game, but a serious business.” – Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya
Ada rangkaian fenomena menarik yang berputar di Sandiaga Uno akhir-akhir ini. Pada 15 September, di atas kapal nelayan di Pelabuhan Rakyat Paotere, Makassar, kelompok relawan yang menamakan dirinya Relawan Kawan Sandi (RKS) mendeklarasikan dukungan terhadap Sandi untuk maju di Pilpres 2024.
Sebagai respons atas dukungan yang ada, pada 24 September, Juru Bicara Partai Gerindra, Habiburokhman dengan tegas menyebutkan partainya telah nyaman mengusung Prabowo Subianto di 2024. Ia bahkan ragu pendukung Sandi atau Gerindra benar-benar menginginkan Sandi maju di 2024. Dukungan yang ada juga disebut masih relatif kecil dan belum representatif.
“Saya meragukan. Kalau pendukung Pak Sandi, atau pendukung Gerindra menginginkan beliau maju sebagai capres saat ini, saya agak ragu,” ungkap Habiburokhman.
Baca Juga: Prabowo Tak Sayang Sandiaga?
Uniknya, kendati telah ada penegasan dari Habiburokhman, pada 27 September, di Pasar Masbagik, Lombok, deklarasi RKS kembali menggema untuk mengusung Sandi maju di kontestasi Pilpres. “Kami ingin mengambil bagian di republik ini untuk mendorong Sandi Uno sebagai presiden masa depan 2024,” ungkap Ahmad Roji, Ketua RKS wilayah Lombok.
Rangkaian fenomena ini menarik karena dengan mudah dibaca sebagai strategi untuk menekan Gerindra. Bukannya tanpa alasan kuat, sejak deklarasi di Makassar, Sandi belum diketahui memberikan komentar. Dalam politik praktis, sekalipun tidak diinisiasi oleh Sandi, pembiaran semacam itu dapat dimaknai sebagai persetujuan.
Well, tentu pertanyaannya, jika benar demikian, apakah Sandi tengah berusaha mempengaruhi keputusan Gerindra?
Perang Persepsi
Setelah peradaban manusia merasakan arus deras internet dan komunikasi digital, berbagai aspek kehidupan sosial-budaya mengalami perubahan signifikan, tidak terkecuali politik. Saat ini, khususnya dengan kehadiran media sosial, pertarungan politik telah berubah menjadi pertarungan persepsi atau wacana.
Agustín Fuentes dan Jeffrey V. Peterson dalam tulisannya Social media and public perception as core aspect of public health: The cautionary case of @realdonaldtrump and COVID-19 juga memaparkan, media sosial yang menjadi sumber informasi memiliki dampak substantif dalam membentuk pemahaman, keyakinan, dan persepsi masyarakat.
Menggunakan kacamata epistemologi, persoalan tersebut merupakan pengejawantahan dari metode testimoni (testimony). Untuk mendapatkan pengetahuan atau gambaran atas realitas, manusia menggunakan tiga metode, yakni uji empiris atau induksi (aposteriori), analisis logis atau deduksi (apriori), dan testimoni.
Dalam keseharian, metode yang paling umum digunakan adalah testimoni. Kita mengandalkan kesaksian orang lain atau lembaga tertentu untuk mendapatkan pengetahuan dan gambaran realitas. Ini terjadi karena kita memiliki sumber daya yang terbatas dalam melakukan uji empiris ataupun melakukan analisis logis.
Contohnya, karena tidak bisa menguji satu-satu kualitas demokrasi berbagai negara, termasuk Indonesia, kita mengandalkan kesaksian atau temuan dari Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam laporan EIU 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Ini merupakan skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Baca Juga: Relawan Jokowi Pecah, Ganjar Menguat?
Nah, karena sumber pengetahuan dominan masyarakat adalah testimoni, media sosial yang memberikan informasi dengan begitu cepat dan melimpah bertransformasi menjadi medium masyarakat dalam mempersepsikan realitas. Ini yang melahirkan fenomena perang wacana atau perang narasi dalam politik – kita menyebutnya buzzer politik.
Pada kasus deklarasi Relawan Kawan Sandi (RKS), ini dengan mudah dapat dibaca sebagai perang narasi. Siapa pun di baliknya tengah berusaha untuk menciptakan persepsi bahwa Sandi didukung oleh masyarakat untuk maju di Pilpres 2024. Apalagi, dalam deklarasi di Makassar dan Lombok, politik simbol benar-benar dimainkan.
Di Makassar, deklarasi dilakukan di atas kapal, yang mana ini dimaksudkan sebagai simbol dukungan nelayan. Sementara di Lombok, deklarasi dilakukan di pasar, yang mana ini menyimbolkan dukungan dari para pedagang. Permainan simbol seperti itu ingin mengatakan Sandi didukung oleh masyarakat kecil untuk memperbaiki keadaan ekonomi.
Sandi Perlu Menegur?
Di titik ini, deklarasi tersebut sekiranya dapat dimaknai positif karena menunjukkan Sandi mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Akan tetapi, temuan Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi tampaknya membuat pemaknaan tersebut bergeser kutub.
“Dari informasi yang dikumpulkan, muncul nama Kamrussamad sebagai inisiator di balik acara-acara di Makassar maupun Lombok itu,” ungkap Fahmi pada 28 September. Sedikit konteks, Kamrussamad merupakan politisi Gerindra yang saat ini duduk di Komisi XI DPR.
Sejalan dengan Fahmi, dari informasi yang penulis himpun, Kamrussamad ternyata telah lama menarik anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk memberikan dukungan terhadap Sandi dengan cara mendirikan Kahmipreneur. Disebutkan, usaha-usaha itu dilakukan sebagai upaya untuk “menunggangi” mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Jika informasi itu tepat, tulisan Melissa Maceyko yang berjudul Volunteering for Political Campaigns Is Impacting Democracy, but Not in the Ways You Might Expect dapat kita gunakan untuk menganalisis deklarasi RKS yang dilakukan di Makassar dan Lombok.
Dalam tulisannya, Maceyko menyebut kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 yang semakin intensif telah berimbas pada semakin banyaknya masyarakat menjadi relawan politik. Berbeda dari kampanye sebelumnya, kampanye politik abad 21 di AS secara eksplisit berfokus pada dan mendorong interaksi intens antara relawan dengan pemilih.
Menurut Maceyko, itu terbukti berdampak pada perilaku memilih, seperti mempengaruhi suara untuk kandidat tertentu dan membuat pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Di Indonesia, penjelasan Maceyko dengan jelas tergambar pada Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Pada 2014, misalnya, besar dan masifnya relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi) dipercaya menjadi kekuatan politik penting dalam memberikan kemenangan.
Akan tetapi, kendati menjadi senjata politik yang ampuh, relawan politik nyatanya memiliki sisi gelap. Menurut Maceyko, luasnya praktik relawan politik telah memberikan intervensi yang semakin mendevaluasi percakapan politik sehari-hari dan memperburuk polarisasi politik.
Penjelasan tersebut dapat kita lihat pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Kuat dan masifnya relawan politik tiap kubu telah berdampak pada panasnya tensi politik dan meninggalkan polarisasi politik yang masih terasa sampai saat ini.
Baca Juga: Relawan Politik, Benalu Demokrasi?
Selain itu, fenomena relawan politik di Indonesia juga semakin menyuburkan praktik spoils system atau yang akrab kita sebut dengan bagi-bagi kursi kekuasaan. Pada 31 Oktober 2020, misalnya, Sekjen Projo, Handoko terlihat “mendesak” Menteri BUMN Erick Thohir agar memperbanyak komisaris dan direksi BUMN dari kalangan relawan non-partai.
Singkatnya, seperti pernyataan Begog D. Winarso dalam tulisannya Nggege Mongso, deklarasi Relawan Kawan Sandi (RKS) merupakan langkah agar tidak ketinggalan kereta api dan ingin mencatatkan poin kepada sosok yang didukung sejak awal.
Apalagi, pada 29 September, juru bicara Sandiaga, Kawendra Lukistian telah menyebutkan bahwa deklarasi RKS justru merupakan gangguan dan hanya membuat Sandi tidak fokus bekerja. Penegasan ini tampaknya mengafirmasi informasi dari Khairul Fahmi bahwa deklarasi yang ada merupakan pengondisian dari pihak tertentu.
Well, jika demikian adanya, Sandi sepertinya harus memberikan teguran kepada siapa pun yang menjadi dalang deklarasi. Ini penting untuk menjaga persepsi bahwa Sandi setia pada komando Gerindra. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembiaran dapat dimaknai sebagai persetujuan. (R53)