HomeRuang PublikMungkinkah Juliari Batubara Dihukum Mati?

Mungkinkah Juliari Batubara Dihukum Mati?

Oleh Falis Aga Triatama

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan taringnya di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Minggu pagi 6 Desember 2020, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka atas tindak pidana korupsi kasus suap bantuan sosial (Bansos) Covid-19. Ancaman hukuman mati terhadap Juliari Batubara menjadi perdebatan.


PinterPolitik.com

Korupsi bansos Covid-19 ini memang menjadi tamparan keras di tengah penanganan bencana kesehatan nasional. Bansos yang akan digelontorkan untuk wilayah Jabodetabek itu disebutkan mencapai 22,8 juta paket bantuan dan setiap paket tersebut dipotong jatahnya sebesar Rp 10.000 dari harga per paket Rp 300.000. Sehingga apabila ditotal, maka angka yang dapat diraup mencapai Rp 228 miliar.

Pada saat penyerahan dirinya, Juliari baru menerima uang sebesar Rp 17 miliar saja. Rinciannya, pada periode pertama penyaluran paket bansos ia menerima uang sebesar Rp 8,2 miliar dan pada periode kedua ia menerima lagi uang sebesar Rp 8,8 miliar.

Angka yang cukup fantastis untuk nilai korupsi di masa pandemi seperti ini. Belum lagi melihat kondisi perekonomian masyarakat yang sedang diterjang badai masalah akibat Covid-19. Pasalnya Covid-19 ini berdampak buruk bagi hampir seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya di bidang kesehatan saja tetapi juga di sektor ekonomi juga. Angka pengangguran misalnya membengkak karena banyak perusahaan yang memberhentikan (PHK) karyawannya dikarenakan perekonomian tidak berjalan.

Berdasarkan data milik Kementerian Ketenagakerjaan, hingga tanggal 31 Juli 2020 jumlah pekerja yang di-PHK mencapai 2,5 juta lebih karyawan. Pemberhentian tersebut jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia yang sebelumnya sudah tinggi, dan hal ini pasti akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan kondisi tersebut, pastinya bantuan sosial sangat diharapkan oleh warga yang terdampak. Jika berkaca pada pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri, korupsi dana kebencanaan disebut bisa dihukum mati. Lalu, dapatkah Juliari Batubara dikenakan hukuman mati?

Hukuman Mati Menanti Juliari

Banyak masyarakat kecewa bahkan marah ketika mengetahui dana bansos Covid-19 dikorupsi. Tak sedikit masyarakat yang kemudian berharap menyuarakan pendapatnya agar pelaku dapat dihukum mati. Seruan yang demikian mulai mewarnai di media sosial hingga pemberitaan nasional.

Jika mengacu pada aturan hukum yang ada, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi memang sudah diatur di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan bahwa penerapan hukuman mati dimungkinkan dalam keadaan tertentu.

Firli Bahuri sebelumnya sudah berkali-kali menegaskan bahwa pelaku korupsi bansos pandemi Covid-19 bisa mendapatkan hukuman mati. Namun, apakah KPK di bawah kepemimpinan Firli saat ini benar-benar berani menerapkan hukuman mati kepada Juliari? Mengingat hukuman terhadap pelaku korupsi cenderung rendah dan Juliari berasal dari PDIP yang nota bene adalah partai yang berkuasa saat ini.

Baca juga :  Prabowo's Justice League 

Hak hidup merupakan hak asasi non-derogable rights atau hak yang tidak dapat dihapus dalam keadaan apapun. Hak untuk hidup sudah dijamin di dalam peraturan perundang-undangan internasional maupun di Indonesia.

Dalam hukum hak asasi manusia internasional, pemberlakuan hukuman mati hanya untuk tindak pidana yang digolongkan sebagai kejahatan yang paling serius (the most serious crime), walaupun di banyak negara maju, demi menghormati hak asasi manusia mereka sudah menghapuskan hukuman mati.

Baca Juga: Benur Bikin Gerindra Babak Belur

Adapun salah satu aturan internasional maupun nasional yang mengatur tentang hak atas hidup adalah Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”.

Kemudian ada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Lalu ada Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

Adapun Pasal 6 ayat (2) Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berbunyi:

“Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”

Dengan demikian penjatuhan hukuman mati bagi Juliari Batubara atas dugaan suap dana bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek sangat dimungkinkan berdasarkan peraturan yang ada.

Hukuman Mati Bukan Solusi

Teori pembalasan merupakan salah satu alasan penerapan hukuman mati. Prinsipnya mirip  mata diganti mata atau nyawa diganti nyawa. Hukuman mati dijatuhkan hanya semata untuk membalas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan bukan memberikan pemulihan agar suatu tindak pidana tersebut tidak terjadi lagi.

Lalu, apakah penjatuhan hukuman mati kepada koruptor dapat memberikan efek jera bagi koruptor lainnya dan dapat menekan angka korupsi yang ada di Indonesia?

Baca juga :  Prabowo's Justice League 

Hingga saat ini tidak ada penelitian yang mampu membuktikan bahwa penerapan hukuman mati dapat menekan angka kejahatan. Jika dibandingkan dengan penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana narkoba, hingga saat ini justru peredaran barang haram tersebut makin bertambah. Artinya logika mengurangi jumlah kejahatan tidak bisa dipakai untuk kasus ini.

Dalam buku yang berjudul Pijar-Pijar Filsafat, George Wilhelm Friedrich Hegel menegaskan bahwa di satu pihak  hukuman diperlukan agar pelanggaran hukum dapat dipulihkan. Sebab tidak mau menghukum akan membuktikan hukum sebagai tindakan yang tidak berlaku lagi. Namun, di lain pihak, Hegel menegaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan dengan maksud-maksud selain untuk memulihkan pelanggaran hukum dianggap sebagai tindakan tidak bermoral dan melanggar martabat manusia.

Hal ini berarti penindakan hukum itu diperlukan sebagai pemulihan bagi pelanggar hukum dan penghukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi kodrat manusia untuk mencabut nyawa seseorang. Dan penghukuman semestinya dimaksudkan untuk memulihkan pelanggaran hukum agar tidak terjadi di kemudian hari.

Hegel juga menyebutkan bahwa ketika negara menolak mengampuni seseorang atas suatu kesalahan yang diperbuatnya dan dinilai pantas untuk diakhiri kehidupannya, justru membuat jejak kejahatan seorang terpidana bertambah panjang dengan melibatkan negara sebagai pelaku kekerasan yang baru atas nama hukum.

Sementara Franz Magnis Suseno mengungkapkan setidaknya ada tiga alasan mengapa hukuman mati di Indonesia harus ditolak. Pertama hukuman mati satu-satunya hukuman yang apabila sudah dilaksanakan tidak dapat dicabut kembali. Kedua hukuman mati tidak menimbulkan efek jera dan ketiga hukuman mati membuat nilai hidup seseorang menjadi murah.

Maka dari itu, seburuk apapun kejahatan yang dibuat oleh Juliari Batubara di masa pandemi ini, jangan sampai kita berpengaruh untuk turut menjadi tangan kejahatan lainnya dengan mendukung hukuman mati bagi pelaku suatu kejahatan.

Adalah lebih baik kita mendukung kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Sosial, kira-kira menteri mana lagi yang akan diciduk oleh KPK?  

Baca Juga: Jadi Mensos, Risma ‘Tiru’ Khofifah?


Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...