HomeNalar PolitikDi Balik Jepang Temui Jokowi

Di Balik Jepang Temui Jokowi

Perdana Menteri (PM) Jepang yang baru, Yoshihide Suga, memutuskan untuk melakukan kunjungan pertamanya ke dua negara Asia Tenggara – yakni Vietnam dan Indonesia. Mengapa Suga memutuskan untuk mengunjungi Indonesia dan menemui Jokowi?


PinterPolitik.com

“You can count on me like one, two, three, I’ll be there and I know when I need it I can count on you like four, three, two, you’ll be there. ‘Cause that’s what friends are supposed to do” – Bruno Mars, penyanyi asal Amerika Serikat (AS)

Pertemanan yang erat dengan sahabat  tidak selalu diisi dengan kebahagiaan dan hubungan yang damai. Terkadang, perdebatan – bahkan rasa saling benci – juga terbangun ketika sejumlah persoalan muncul dalam suatu hubungan persahabatan.

Hubungan persahabatan yang senantiasa diisi oleh ups dan downs seperti ini mungkin dapat kita amati dalam sebuah seri Netflix yang berjudul Sex Education (2019-sekarang) ketika persahabatan yang kuat antara Otis Milburn dan Eric Effong menghadapi sebuah aral yang melintang.

Bagaimana tidak? Otis ternyata menjadi sibuk dengan kegiatan klinik yang dijalankannya bersama seorang gadis yang bernama Maeve Wiley. Alhasil, Otis dan Eric yang sehari-hari selalu bersama-sama mulai disibukkan dengan kegiatan dan persoalan masing-masing.

Ketika Otis sibuk dengan urusan klinik, Eric malah harus menghadapi persoalan hidupnya sendirian tanpa sahabatnya – seperti ketika dirinya di­-bully oleh Adam Groff. Tidak hanya Adam, Eric juga harus menghadapi persoalan agama dan keluarga yang dinilai tidak sejalan dengan identitas dirinya.

Mungkin, persahabatan yang mulai longgar seperti ini juga terjadi di dunia politik – termasuk politik antarnegara. Jepang, misalnya, kerap dianggap sebagai negara sahabat dalam jangka panjang bagi Indonesia.

Pada tahun 2019 kemarin, peringkat realisasi investasi Jepang baru saja tergantikan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT).Mirip dengan peran Eric yang tergantikan oleh kehadiran Maeve, Jepang bisa jadi tengah membutuhkan negara sahabatnya, yakni Indonesia.

Alhasil, guna menyelamatkan hubungan persahabatan ini, Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga langsung memilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu pemimpin negara yang pertama dikunjunginya setelah baru saja dilantik.

Meski begitu, layaknya teman-teman di sekitar sebuah persahabatan yang selalu penasaran, publik pun bisa saja memiliki pertanyaan tertentu terkait pertemuan Suga-Jokowi ini. Mengapa Suga akhirnya memilih Indonesia sebagai salah satu tujuan lawatan luar negerinya? Lantas, pesan apa yang ingin disampaikan PM penerus Shinzo Abe tersebut?

Politik Lawatan Luar Negeri

Kunjungan luar negeri seperti yang dilakukan Suga ke Indonesia ini sebenarnya merupakan sebuah hal yang lumrah untuk dilakukan. Namun, sebagai kepala pemerintahan yang baru, kunjungan pertama biasanya sangat diantisipasi – khususnya untuk negara-negara yang dianggap istimewa.

Erik Goldstein dari Boston University dalam tulisannya yang berjudul The Politics of the State Visit menjelaskan bahwa kunjungan bilateral merupakan salah satu bentuk diplomasi tertua yang telah dilakukan sejak zaman dahulu. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan pula bahwa kunjungan pertama sering kali menunjukkan perhatian dari negara tersebut atas isu tertentu – seperti menjaga hubungan yang stabil.

Baca juga :  Jokowi's Secret Painting?

Goldstein pun memberikan sejumlah contoh dalam tulisannya. Kunjungan Raja George V dan Raja George VI dari Inggris ke Prancis, misalnya, akhirnya berbuah pada kesepakatan dan perjanjian kerja sama aliansi antara kedua negara.

Bukan tidak mungkin, mengacu pada penjelasan Goldstein, Suga juga ingin membangun hubungan lebih stabil dengan Indonesia. Pasalnya, posisi Jepang selama ini yang dominan disebut-sebut mulai memudar dengan kehadiran Tiongkok.

PM Suga: In the summit talks I held with President Joko (@jokowi), I emphasized that ASEAN is the pivot for realizing a free and open Indo-Pacific, along with my intention for Japan to be the leader in contributing to the peace and prosperity of this region. (1/4) pic.twitter.com/i3ZMsm6YuU— PM’s Office of Japan (@JPN_PMO) October 21, 2020

Dengan pembangunan hubungan yang lebih stabil, Jepang bisa saja ingin melalukan balancing (pengimbangan) terhadap pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara – termasuk di Indonesia. Politik pengimbangan seperti ini pernah dijelaskan oleh John Joseph Mearsheimer – profesor Hubungan Internasional di University of Chicago, Amerika Serikat (AS).

Dalam tulisannya bersama Stephen M. Walt yang berjudul The Case for Offshore Balancing, Mearsheimer menjelaskan bahwa offshore balancing dapat digunakan untuk membantu negara lain dalam mengimbangi bangkitnya negara hegemon lainnya. Indonesia, katakanlah, bisa saja merasa terancam dengan kebangkitan Tiongkok sebagai negara hegemon di Asia Tenggara.

Meski mulanya strategi ini diusulkan untuk AS, bukan tidak mungkin Jepang juga mengambil peran. Mearsheimer menjelaskan bahwa strategi offshore balancing dapat dilakukan dengan menyalurkan sejumlah aset militer kepada negara-negara yang terancam oleh hegemon potensial baru.

Taktik balancing seperti ini terlihat dari kerja sama yang diajukan Suga kepada Jokowi. Dalam keterangan pers, Suga menyebutkan bahwa Jepang dan Indonesia akan memulai diskusi rutin antar-menteri luar negeri dan antar-menteri pertahanan untuk mempercepat rencana penyaluran peralatan dan teknologi pertahanan.

Tentu saja, kunjungan Suga ini memberikan kecemasan tersendiri bagi Tiongkok. Menlu Tiongkok Wang Yi bahkan menyebutkan bahwa kampanye AS dan Jepang soal kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka merupakan upaya pembangunan keamanan bersama baru ala NATO (North Atlantic Treaty Organization) di Asia-Pasifik.

Namun, terlepas dari tujuan balancing ini, apakah mungkin kunjungan Suga ini menyampaikan pesan lain kepada Indonesia? Kira-kira, sinyal apa yang ingin diberikan oleh Jepang?

Sinyal Battleground Baru?

Bukan tidak mungkin, kunjungan Suga dan pertemuannya dengan Jokowi bisa memberikan sinyal tertentu. Pasalnya, dalam dunia diplomasi, pemberian sinyal (signaling) seperti ini merupakan hal yang lumrah.

Christer Jönsson dan Karin Aggestam dari Lund University dalam tulisan mereka yang berjudul Trends in Diplomatic Signaling menjelaskan bahwa signaling mengambil peran krusial dalam diplomasi. Meski memberikan ambiguitas, signaling dinilai dapat memberikan peran yang kreatif dan konstruktif.

Pemberian sinyal seperti ini juga diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel yang sempat bertemu langsung dengan Suga sebagai alumnus Jepang bersama mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Ginandjar Kartasasmita, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan Prof. Eniya Listiani Dewi.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Menurut Gobel, kunjungan Suga ini menjadi sinyal dari Jepang bahwa negara tersebut merupakan mitra yang penting bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jepang dianggap telah menjadi mitra yang selama 62 tahun ini berkontribusi dalam pembangunan di berbagai sektor.

Sejalan dengan penjelasan Jönsson dan Aggestam, Goldstein juga menyebutkan bahwa kunjungan resmi kenegaraan juga dapat menjadi momen untuk menyampaikan pesan atau sinyal tertentu. Setidaknya, terdapat beberapa jenis dan maksud dari sebuah kunjungan kenegaraan.

Beberapa tipologi kunjungan di antaranya adalah kunjungan katalis (catalytic visit), kunjungan untuk membangun aliansi (alliance-building visit), serta kunjungan untuk menentukan status, penerimaan, dan rekonsiliasi (statusacceptanceand reconciliation visit). Menariknya, terdapat pula jenis kunjungan yang disebut sebagai trade sweetener (pemanis perdagangan) – ketika kunjungan dilancarkan berdasarkan alasan transaksi perdagangan antarnegara.

Bukan tidak mungkin, kunjungan Suga ke Indonesia turut meliputi tipologi trade sweetener. Pasalnya, baik Suga maupun Jokowi menjadikan investasi dan kerja sama ekonomi sebagai salah satu fokus utama pembahasan.

Uniknya lagi, Indonesia dan Jepang kini tengah memiliki persoalan baru di bidang yang selama ini negara yang dipimpin Suga itu dominan, yakni sektor otomotif. Ini terlihat dari harapan yang diungkapkan Toyota ketika Suga bertemu Jokowi, yaitu agar kerja sama otomotif tetap diutamakan – termasuk di bidang mobil listrik.

Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini, pemerintahan Jokowi dan Jepang disebut-sebut tengah beradu pendapat terkait keinginan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang ingin mengembangkan industri kendaraan listrik di Indonesia.

Muhammad Zulfikar Rakhmat dan dua rekan penulisnya dalam tulisan mereka di Modern Diplomacy menyebutkan bahwa isu industri mobil listrik ini dapat menjadi persoalan baru bagi hubungan Indonesia-Jepang – dengan munculnya investasi dan kerja sama dari Tiongkok dan Korea Selatan dalam industri ini. Bahkan, isu ini dinilai dapat menjadi battleground baru antara kedua negara ini.

Bisa jadi, isu ini juga menjadi salah satu sinyal yang ingin diberikan oleh Suga ketika bertemu Jokowi, yakni bagaimana peran Jepang dalam sektor industri dan infrastruktur. Jepang pun selama ini juga menjadi negara yang dominan di sektor otomotif.

Dalam sejarahnya, Jepang sendiri dinilai telah memainkan politik tertentu agar industri otomotif negara itu tetap mendominasi – mulai dari mencegah adanya transfer teknologi hingga pelaporan melalui institusi internasional. Boleh jadi, Jepang tidak akan diam saja ketika muncul upaya dari pemerintahan Jokowi yang selama ini ingin mengimbangi pengaruh negara tersebut yang dinilai terlalu dominan.

Namun, meski begitu, gambaran kemungkinan tersebut belum tentu melatarbelakangi kunjungan Suga ke Indonesia. Yang jelas, Jepang sendiri tetap akan menilai Indonesia sebagai mitra strategis dengan kebangkitan Tiongkok yang semakin dianggap mengancam – entah mengancam kepentingan strategis atau ekonomi. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?