Sejak Tan Malaka, sang Bapak Republik Indonesia, menuliskan nama negara ini di bukunya Naar De Republik Indonesia, kita seolah sudah punya takdir yang tergambar di garis tangan, bahwa Indonesia akan menjadi sebuah republik – negara yang mengurusi kepentingan publik. Namun bagaimana jika ternyata telah ada sebuah republik jauh sebelum negara ini terbentuk?
Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa pada tahun 1700-an telah ada sebuah republik di Kalimantan Barat yang punya sejarah cukup lama dan bahkan menjalankan demokrasi. Namanya adalah Republik Lanfang.
Sejarah Republik Lanfang tidak bisa dipisahkan dari migrasi orang-orang Tiongkok ke Kalimantan Barat. Beberapa ahli menyebut orang-orang Tiongkok telah datang ke Kalimantan Barat sejak abad ke-9 secara sporadis dan menetap sebagai pedagang dan petani.
Namun, di abad ke-18 migrasi yang lebih signifikan dan teratur barulah terjadi. Kala itu Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Sambas lah yang mengundang orang-orang dari Tiongkok ini untuk datang ke wilayah mereka.
Adalah emas yang menjadi alasan orang-orang yang umumnya berasal dari suku Hakka ini diundang. Pada era tersebut orang-orang dari suku ini terkenal sebagai yang paling handal dalam menambang dan mengolah emas.
Kesultanan Mempawah pertama kali mendatangkan orang-orang ini pada tahun 1740, kemudian diikuti oleh Kesultanan Sambas beberapa tahun kemudian.
Berita tentang adanya sumber emas di Kalimantan ini kemudian membuat makin banyaknya orang-orang dari Tiongkok datang ke Kalimantan Barat. Untuk menaungi aktivitas pertambangan tersebut, lahirlah kongsi alias persekutuan dagang. Seiring waktu makin banyak kongsi terbentuk dan muncullah persaingan antara yang satu dan yang lain.
Percikan Perselisihan
Konteksnya makin rumit karena kesultanan tidak membuat aturan tertentu yang mengatur kongsi-kongsi ini. Mereka hanya diharuskan memberikan 1 kg emas tiap bulan kepada masing-masing kesultanan. Keadaan yang tidak teratur ini menimbulkan banyak gesekan dengan berbagai pihak. Kesultanan yang mengklaim sebagai penguasa wilayah mengharapkan upeti dan bagi hasil dari hasil penambangan.
Penduduk dari Suku Dayak merasa daerah miliknya telah dimasuki pendatang tanpa izin sehingga melakukan perlawanan. Selain itu, terjadi persaingan antara para pendatang baru dengan kelompok penambang yang sudah berada di tempat tersebut. Dan yang terakhir adalah pertentangan dengan Belanda.
Populasi pendatang ini mencapai ribuan orang yang membengkak menjadi puluhan ribu pada sekitar tahun 1767. Masyarakat di dalam area kongsi – yang sebenarnya lebih mirip perkampungan – menjalani kehidupan seperti di Tiongkok. Mereka diberi keleluasaan atau otonomi untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam hal pengangkatan pemimpin, ekonomi, hingga mempunyai tentara atau petugas keamanan.
Hingga tahun 1776, jumlah kongsi masyarakat Tionghoa yang ada di Kalimantan Barat sudah bertambah menjadi 14 kelompok. Dua belas kelompok di antaranya berada di wilayah Kesultanan Sambas dengan pusatnya di Montrado. Sedangkan 2 kongsi lainnya ada di wilayah Kesultanan Mempawah dan berpusat di Mandor. Jumlah orang-orang Tionghoa itu sendiri sudah lebih dari 20 ribu orang.
Ke-14 kongsi tersebut kemudian membentuk aliansi dalam satu organisasi bernama Hee Soon pada tahun 1777. Tujuannya untuk memperkuat persatuan sekaligus meminimalisir terjadinya polemik antar-kongsi. Inilah embrio berdirinya Republik Lanfang.
Berdirinya Republik Lanfang
Penggagas dibentuknya wadah persatuan bagi kumpulan kongsi di Kalimantan Barat adalah Lo Fang Pak yang baru tiba di Sambas pada 1775. Lo Fang Pak memiliki hubungan yang baik dengan Dinasti Qing di Tiongkok dan ingin agar kaum perantauan di Borneo bersatu dan tidak terpecah-belah satu sama lain.
Berdirinya Kesultanan Pontianak pada 1778 membuka peluang bagi kongsi-kongsi ini untuk mendapat perlindungan jika sewaktu-waktu bermasalah lagi dengan Sambas, Mempawah, maupun pihak-pihak lain. Terlebih lagi, posisi Pontianak lebih kuat karena didukung VOC. Lo Fang Pak yang piawai dalam hal diplomasi pun berhasil menjalin kedekatan dengan Sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman Al Qadri.
Pada 1789, Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda berhasil merebut wilayah Kesultanan Mempawah. Hee Soon yang dipimpin Lo Fang Pak turut mendukung penyerangan ini. Alhasil, sejak tahun 1793, Sultan Pontianak memberikan kewenangan yang lebih luas lagi kepada Lo Fang Pak untuk mengelola kongsi-kongsi yang berada di bawahnya.
Republik Lanfang pun dideklarasikan meskipun masih bernaung di bawah Kesultanan Pontianak dan sebagian lagi berada di wilayah Kesultanan Sambas. Lo Fang Pak terpilih sebagai presiden dalam semacam pemilihan umum pertama.
Status Republik Lanfang memang seperti negara yang berdiri di dalam wilayah negara lain. Namun, republik pertama di Nusantara ini memperoleh kewenangan yang sangat luas untuk mengelola wilayah dan rakyatnya sendiri.
Pemerintah Republik Lanfang hanya harus membayar upeti bulanan kepada Kesultanan Pontianak dan Sambas. Republik Lanfang juga mendapat pengakuan dari Dinasti Qing di Tiongkok. Beberapa sumber juga menyebut Republik Lanfang memiliki undang-undang sendiri untuk mengatur berbagai aspek kehidupan rakyatnya, dari tata negara, hukum, ekonomi, pendidikan, dan sektor-sektor penting lainnya.
Karena memberikan “persembahan” kepada Dinasti Qing di Tiongkok, Republik Lanfang juga disebut sebagai tributary state.
Bukan Republik Pertama?
Namun, Budayawan Tionghoa, Hasan Karman menyebut sebagai republik pertama di Nusantara adalah kesalahpahaman karena minimnya literatur yang membahas tentang kongsi-kongsi ini. Menurutnya, justru Belanda lah yang menyebut Lanfang sebagai republik karena melihat praktik-praktik demokrasi di wilayah tersebut.
Dosen Sejarah Univeristas Indonesia (UI) Tuty Enoch Muas juga menyebutkan bahwa Lanfang tak bisa disebut sebagai negara karena yang berdaulat adalah kesultanan yang menaunginya.
Terlepas dari hal-hal tersebut, perjalanan riwayat Republik Lanfang di Kalimantan Barat berlangsung hingga 107 tahun. Dalam kurun waktu selama itu, Republik Lanfang telah dipimpin oleh 13 presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya melalui pemilihan umum.
Sinyal kemunduran Republik Lanfang mulai terlihat memasuki tahun 1880 seiring dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di Borneo. Presiden Republik Lanfang saat itu, Liu Ah Sin, terpaksa meneken perjanjian di Batavia.
Namun, beberapa kongsi di Republik Lanfang yang tidak sepakat dengan perjanjian itu kemudian menyerang Belanda. Akhirnya, Belanda menggempur Republik Lanfang dan berhasil ditaklukkan pada 1884. Presiden terakhir, Liu Ah Sin tewas dan membuat Republik Lanfang mengalami kehancuran total.
Rakyat Republik Lanfang yang lolos beramai-ramai menyelamatkan diri dengan mengungsi ke pulau-pulau seberang. Sebagian dari mereka kemudian membangun kehidupan baru di wilayah yang kini dikenal sebagai Singapura.
Sekalipun masih mendatangkan perdebatan terkait entitasnya apakah benar sebagai republik atau bukan, yang jelas sejarah mencatat adanya pertautan kebudayaan dan etnik. Orang-orang dari Tiongkok tersebut tak sedikit yang bercampur dengan masyarakat Melayu dan Dayak lewat jalur perkawinan. Mungkin itulah alasan mengapa negara ini sangat beragam karena menjadi percampuran dari banyak suku di dunia.
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.