HomeRuang PublikMenanti Peran Partai Islam di 2024

Menanti Peran Partai Islam di 2024

Oleh Ahmad Hidayah

Dalam sejarah Indonesia, partai-partai Islam telah lama mengambil peran penting dalam membawa nilai-nilai dan kepentingan Islam. Namun, di tengah banyaknya partai baru yang berwarna nasionalis, bagaimana peran partai Islam saat ini – dan pada Pemilu 2024 mendatang? Mungkinkah partai-partai Islam menjadi penentu?


PinterPolitik.com

Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi dengan mayoritas penduduk Muslim, partai Islam tentunya selalu hadir dalam setiap kontestasi politik di Indonesia. Kehadiran partai Islam di Indonesia setidaknya didasarkan dua alasan utama, yaitu karena agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, serta Islam menyediakan visi dan ideologi yang memungkinkan untuk ditransformasikan dalam kehidupan berpolitik dan berbangsa.

Kehadiran partai Islam juga dapat dilihat dari bagaimana nilai-nilai keislaman dapat terakomodir melalui peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, sejak Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah memperjuangkan undang-undang (UU) tentang penyelenggaraan ibadah haji – hingga pada akhirnya pada tahun 1999 UU ini disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Lantas, bagaimana dengan peran partai Islam saat ini? Hasil pemilu tahun 2019 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah perolehan kursi partai Islam di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) – seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengalami kenaikan 10 kursi dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mengalami kenaikan 11 kursi.

Dua partai Islam lainnya yang juga lolos ke parlemen adalah PPP yang memiliki jumlah perolehan kursi yang tidak berubah dari pemilu sebelumnya dan hanya Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengalami penurunan sebanyak 5 kursi. Jika digabungkan dari perolehan empat partai Islam ini, terjadi peningkatan sebanyak 16 kursi di DPR RI jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2014.  

Peningkatan jumlah kursi partai Islam di DPR RI berdampak pada munculnya RUU yang bernuansa keislaman. Setidaknya, ada delapan RUU yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal, RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama, RUU tentang Wakaf, RUU tentang Pengelolaan Zakat, RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Kerukunan Umat Beragama, dan RUU tentang Ekonomi Syariah.

Dari kedelapan RUU tersebut, hanya dua RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas, yaitu RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol dan RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama. Namun, sampai saat ini, tidak ada progres yang signifikan terkait dua RUU tersebut. Dari sini dapat dikatakan bahwa peran partai Islam dalam menghadirkan UU yang berlandaskan keislaman masih sebatas wacana dan belum dapat benar-benar dioptimalkan.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Kans Partai Islam di Pemilu 2024

Performa partai Islam dalam pemilu di Indonesia memang mengalami pasang surut. Pada era Orde Lama, tepatnya pada pemilu tahun 1955, partai Islam berhasil meraih kursi cukup besar dalam parlemen serta berperan dalam membentuk pemerintahan. Pada masa Orde Baru, dengan adanya fusi partai, PPP sebagai partai Islam tidak pernah menjadi pemenang pemilu. Begitu pula pasca-Reformasi, partai Islam masih belum mampu menunjukkan tajinya.

Padahal,  berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (2003), Mershon  Ohio State University dan Universitas Indonesia (1999), serta Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (2001-2002), secara sosiologis telah terjadi peningkatan religiositas di masyarakat tetapi tidak berdampak terhadap peningkatan suara partai Islam (Muhtadi, 2012).

Dari sini ,terlihat adanya pergeseran pilihan dari pemilih muslim di Indonesia – dari memilih partai Islam menjadi memilih partai nasionalis. Hal ini dikarenakan pemilih muslim cenderung memilih partai nasionalis karena partai nasionalis juga mengakomodir nilai – nilai religiusitas (Tanuwidjaja, 2010).

Untuk itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh partai Islam untuk dapat memenangkan pemilu 2024. Pertama, mendorong UU yang bernuansa keislaman agar segera disahkan. Partai Islam dapat memerankan fungsinya sebagai partai yang memperjuangkan aspirasi umat Islam melalui undang-undang.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,  terdapat beberapa RUU bernuansa keislaman yang dapat didorong oleh partai Islam. Hal ini telah sesuai dengan penelitian dari Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi, Diego Fossati & Eve Warburton (2018) yang mengatakan bahwa PKS, PPP, PAN, dan PKB menjadi partai yang paling memberikan dukungan terhadap peran Islam dalam politik.

Kedua, menciptakan poros atau koalisi partai Islam. Walaupun banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa poros partai Islam tidak memungkinkan tetapi tesis dari Muhammad Aditya Pradana (2020) mengatakan bahwa, dalam konteks politik Indonesia, perubahan dari rivalitas menjadi konsensus mungkin saja terjadi. Asalkan, elite-elite politik memiliki kesamaan tujuan yang hendak dicapai.

Baca juga :  PKS Di Sana Bingung, Di Sini Bingung

Ketiga, setelah berhasil membuat poros ataupun koalisi partai Islam, yang perlu untuk dilakukan selanjutnya adalah mencalonkan presiden. Hal ini dimungkinkan, mengingat sesuai dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa ambang batas Pemilihan Presiden atau Presidential Threshold untuk dapat mencalonkan calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah 20 persen kursi DPR RI – atau setidaknya 115 kursi DPR RI. Jika diakumulasikan, koalisi partai Islam telah melewati ambang batas dengan 171 kursi di DPR RI.

Mengapa mencalonkan presiden dari koalisi partai Islam menjadi penting? Perlu dicatat bahwa pemilu tahun 2024 mendatang adalah pemilu serentak. Berdasarkan pengalaman di pemilu 2019, pemilih akan lebih fokus pada pemilihan presiden. Untuk itu, calon presiden perlu merepresentasikan koalisi partai Islam.

Seperti pengalaman PKB di pemilu 2019, suaranya yang meningkat sedikit banyak dipengaruhi oleh kemenangan Ma’ruf Amin. Hal ini disebut dengan coattail effect atau efek ekor jas. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme penentuan calon presiden dari koalisi partai Islam dan siapa yang akan dimajukan.

Arfianto Purbolakono (2021) dalam tulisannya yang berjudul Rencana Koalisi Partai Islam di Pemilu 2024 merekomendasikan agar koalisi partai Islam menggunakan mekanisme konvensi. Lebih lanjut, konvensi ini harus mensyaratkan bahwa peserta konvensi hanya ditujukan bagi kader-kader dari internal partai Islam itu sendiri.

Namun, jika konvensi justru membuat koalisi tidak solid karena setiap partai pasti akan mendorong kadernya masing-masing, maka mencalonkan kandidat dari non-partai bisa menjadi opsi terbaik. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga kesolidan koalisi.

Menurut pandangan penulis, Anies Baswedan dirasa paling cocok untuk dimajukan. Selain karena memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang cukup tinggi, Anies memang menjadi representasi dari politik Islam sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Yang terpenting bagi partai Islam dalam menghadapi pemilu 2024 mendatang adalah mencitrakan sebagai partai politik yang mampu mengakomodir keinginan umat Islam – baik keinginan dalam kebijakan yang dibuat ataupun dalam hal mencalonkan presiden yang representatif dengan umat Islam.


Profil Ruang Publik - Ahmad Hidayah

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...