HomeRuang PublikPandemi dan Ancaman Demokrasi Australia

Pandemi dan Ancaman Demokrasi Australia

Oleh Regina Jasmine

Di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam banyak negara, gelombang iliberalisme dan kemunduran demokrasi dinilai telah datang ke berbagai belahan dunia. Lantas, bagaimana dengan negara tetangga kita, Australia, yang kerap dikenal sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi?


PinterPolitik.com

Selama dua tahun terakhir, penanganan pandemi COVID-19 di Australia dinilai cukup efektif dibandingkan negara-negara lain dengan sekitar 216.000 kasus, dan 2.000 kematian yang tercatat sampai saat ini (Departemen Kesehatan Pemerintah Australia, 2021), berkat respons pemerintah yang cepat tanggap dalam menerapkan lockdown, dan protokol kesehatan yang ketat sejak awal tahun 2020. Sebagai sebuah negara yang menganut sistem federalisme, pemerintah Australia dibagi menjadi tiga tingkat, yakni pemerintah federal, negara bagian, dan lokal. 

Di satu sisi, kebijakan COVID-19 di tingkat pemerintah federal cenderung berorientasi untuk mengatasi krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi. Sementara, pemerintah negara bagian memiliki tanggung jawab utama atas kesehatan penduduknya, dan pengelolaan sumber daya untuk merespons pandemi di wilayah yurisdiksinya. 

Pembagian tanggung jawab ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penanganan COVID-19 di Australia, karena respons dan kebijakan yang berlaku dapat dikontekstualisasikan ke keadaan di masing-masing negara bagian.  

Victoria merupakan negara bagian dengan populasi tertinggi kedua di Australia, dan negara bagian yang paling terdampak oleh COVID-19 tahun lalu. Kendati demikian, negara bagian tersebut pun telah berhasil mengendalikan gelombang kedua melalui intervensi kebijakan yang lebih keras dibandingkan negara-negara bagian lainnya. 

Lalu, di tengah diskursus nasional terkait pembukaan negara kembali, varian Delta merebak di berbagai negara bagian, yang mana mengakibatkan pemerintah-pemerintah negara bagian untuk memberlakukan serangkaian kebijakan dalam upaya untuk meratakan kurva penyebaran, termasuk pemerintah negara bagian Victoria.

Dalam hal ini, pemerintah negara bagian Victoria mengajukan RUU Amandemen Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (Manajemen Pandemi) tahun 2021 atau RUU Pandemi ke Majelis Legislatif Victoria pada tanggal 26 Oktober 2021 dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintah negara bagian untuk menangani pandemi, baik COVID-19 atau pandemi lainnya yang dapat muncul di masa mendatang, mengingat bahwa Undang-undang Keadaan Darurat Victoria, terutama Undang-Undang Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat tahun 2008 memang tidak dirancang untuk pandemi jangka panjang. 

Dari pihak pemerintah, Martin Foley selaku Menteri Kesehatan Victoria menegaskan bahwa RUU tersebut akan menciptakan sistem yang paling akuntabel, transparan, dan paling terfokus pada kesehatan masyarakat di seluruh Persemakmuran Australia. 

Namun, tampaknya hanya pemerintah yang berpikir demikian. RUU Pandemi menuai kritik baik di dalam parlemen maupun dalam masyarakat secara keseluruhan terutama dari kelompok-kelompok hukum, dan Ombudsman Victoria. Sejumlah masyarakat turun ke jalan sambil menyeru “kill the bill”, dan menyebut Premier Victoria Daniel Andrews sebagai “Dictator Dan”. Pemimpin Oposisi Victoria, Matthew Guy, menuduh RUU Pandemi sebagai “suatu serangan yang luar biasa terhadap demokrasi.” 

Polemik tersebut didasari atas kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak asasi manusia akibat penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, yang akan diperbesar oleh RUU tersebut, khususnya kekuasaan Premier, dan Menteri Kesehatan Victoria. Bahkan, RUU tersebut memungkinkan Premier Daniel Andrews, dan bawahannya untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan parlemen yang mana dinilai melanggar prinsip-prinsip dasar dari demokrasi di Australia. 

Dalam hal ini, RUU Pandemi memberikan keleluasaan kepada Premier untuk mendeklarasi darurat pandemi atas penilaian pribadi terkait tingkat risiko di negara bagiannya, yang mana akan memberikan Menteri Kesehatan kekuasaan tunggal untuk mengeluarkan peraturan pandemi, seperti pemberlakuan lockdown tanpa jangka waktu yang terbatas, atas dasar keyakinan subjektif bahwa kebijakan tersebut diperlukan demi melindungi kesehatan masyarakat, dan bukan berdasarkan standar objektif. 

Bahkan, Menteri Kesehatan dapat memberlakukan peraturan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, baik dari segi agama, etnis, atau ideologi politik, terlebih terhadap yang berseberangan dengan pemerintah, dan menentang kebijakan kesehatan masyarakat pemerintah. Aparat hukum juga dapat menangkap siapapun, dan mencegat kegiatan apapun, termasuk demonstrasi politik, yang dinilai membahayakan kesehatan masyarakat, serta memaksa pihak terkait untuk memberikan informasi yang dibutuhkan kalau tidak, mereka dapat dijatuhkan hukuman. Selebihnya, RUU tersebut memungkinkan pelanggaran hak habeas corpus, yakni penahanan tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu selama jangka waktu yang tidak terbatas.

Bahayanya adalah bahwa RUU Pandemi menyediakan dasar hukum atas potensi penyelewengan kekuasaan yang sedemikian besar sehingga pihak eksekutif dapat menjalankan kekuasaannya sewenang-wenang secara legal tanpa pengawasan dari parlemen atau sistem peradilan, yang sejatinya memiliki peran yang sangat besar untuk melakukan checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. RUU tersebut pun menghilangkan keperluan Premier untuk melaporkan rencana pemberlakuan, perubahan, maupun perpanjangan deklarasi pandemi kepada parlemen. 

Sama halnya dengan Inggris, sistem politik Australia didasari atas model pemerintah Westminster atau sistem demokrasi parlementer dengan pemerintahan yang bertanggung jawab (responsible government) yang mana sebagian besar dari kekuasaan politik diamanahkan ke kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan melalui parlemen, bertanggung jawab kepada rakyat Australia. Sistem ketatanegaraan Australia dibangun atas konvensi atau peraturan tidak tertulis mengenai good governance, yang mengasumsikan bahwa semua menteri akan menjalankan kekuasaannya sesuai dengan tanggung jawabnya. 

Apabila kabinet pemerintah sudah tidak lagi memiliki kepercayaan parlemen maka mereka harus mengundurkan diri. Dengan kekuasaan eksekutif yang besar, terdapat ekspektasi akan akuntabilitas yang lebih tinggi. Maka dari itu, parlemen memiliki peran untuk mengawasi, dan mengontrol implementasi kekuasaan eksekutif sebagai jaminan atas good governance dan penegakan prinsip-prinsip demokrasi di Australia, baik di tingkat federal maupun negara bagian. 

Mengacu pada hal itu, dapat dikatakan bahwa kritik dan perlawanan sedemikian rupa dari berbagai golongan masyarakat terhadap RUU Pandemi tidak mengherankan. Di satu sisi, RUU tersebut memperbesar kekuasaan eksekutif tetapi hal tersebut tidak dibarengi dengan pengawasan legislatif untuk memastikan, dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah. 

Seharusnya sebagai perwakilan rakyat yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat Victoria, parlemen memiliki andil yang lebih besar dalam menentukan peraturan yang berlaku di Victoria. Rekomendasi Komite Pengawasan Tindakan dan Regulasi (SARC), yang berfungsi untuk meninjau keabsahan perintah pandemi serta kesesuaiannya dengan hak asasi manusia dalam Piagam Victoria, pun harus disetujui oleh kedua majelis parlemen. Perlu diketahui bahwa pemerintah memiliki mayoritas di majelis rendah sehingga kemungkinan untuk menolak peraturan pandemi tertentu sangat minim. 

Dapat dikatakan bahwa parlemen merupakan simbol demokrasi yang paling utama, dan RUU ini membatasi perannya sebagai penyeimbang dari kekuasaan eksekutif yang selayaknya. RUU Pandemi ini dinilai sebagai usulan yang paling ekstrem di Australia. Bahkan, manajemen pandemi pemerintah tingkat federal di bawah Perdana Menteri Scott Morrison pun secara aktif diawasi oleh komite senat lintas partai. 

Kurang lebih sebulan setelah pengeluaran proposal awal RUU Pandemi, dan negosiasi yang panjang antara pemerintah dan anggota parlemen crossbenchers, UU Pandemi disahkan pada tanggal 2 Desember 2021 yang menjadikan Victoria negara bagian pertama di Australia dengan undang-undang khusus pandemi. Negosiasi tersebut telah menghasilkan sejumlah perubahan fundamental pada proposal awal, antara lain diperketatnya kriteria untuk mendeklarasi pandemi, diperkuatnya perlindungan HAM dan peran parlemen yang kini dapat mendeliberasi perintah pandemi melalui Komite Akuntabilitas dan Pengawasan Deklarasi Pandemi (PDAOC), dibentuknya komite pengawas independen, serta diwajibkannya peninjauan UU Pandemi secara independen oleh ahli kesehatan dan hukum, 18 bulan setelah pemberlakuannya. 

Meskipun beberapa kelompok telah meralat penentangan mereka pasca-amandemen UU Pandemi, masih terdapat beberapa catatan penting dari Ombudsman Victoria, dan Institut Hukum Victoria yang menilai bahwa amandemen tersebut belum berhasil mencakup masalah yang paling mendasar, yakni kurangnya kontrol parlemen atas perintah pandemi Menteri Kesehatan, serta ketentuan untuk tinjauan independen khususnya dari badan peradilan atas keputusan pihak yang berwenang. 

Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” UU Pandemi Victoria yang pada awalnya memusatkan kekuasaan pada Premier, dan Menteri Kesehatan yang begitu besar hingga dapat mengatasi parlemen dalam pembuatan peraturan pandemi, hampir saja menghilangkan peran badan demokrasi utama di negara bagian tersebut. 

Australia merupakan sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Bahkan, amandemen atas RUU tersebut merupakan wujud nyata dari pentingnya proses demokrasi. Victoria telah menetapkan sebuah contoh bagi negara-negara bagian Australia lainnya, maupun negara-negara lain untuk memberlakukan undang-undang khusus pandemi agar pemerintah dapat mempersiapkan diri untuk menangani keadaan darurat kesehatan, dan melindungi masyarakat dengan lebih baik di masa mendatang.


Profil-Ruang-Publik-Regina-Jasmine

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...