HomeNalar PolitikKoalisi Dini, Strategi Kepung PDIP?

Koalisi Dini, Strategi Kepung PDIP?

Sejumlah partai politik menyerukan pembentukan koalisi sejak dini dengan alasan menyatukan visi dan misi menjelang kontestasi politik tahun 2024. Lantas, bagaimana peluang terjadinya koalisi partai sejak dini? Apa motif sebenarnya dari wacana ini?


PinterPolitik.com

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Partai Golkar tampaknya sepakat untuk membentuk koalisi sejak dini. Beberapa tokoh dari masing-masing partainya sudah mengemukakan hal tersebut. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menegaskan jika pihaknya tertarik untuk membentuk koalisi partai nasionalis-Islamis untuk Pemilu 2024.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Wakil Ketua Umum PKB dan Golkar, yaitu Jazilul Fawaid dan Ahmad Doli Kurnia. Mereka menilai koalisi sudah sepatutnya dibentuk sejak dini agar partai-partai tersebut bisa menyatukan visi dan misi.

Satu partai lain juga mengakui pembentukan koalisi sejak dini diperlukan untuk membangun kesamaan visi dan misi. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua DPP Partai NasDem Atang Irawan, upaya pencalonan capres sejak dini penting mengingat ambang batas presiden menjadi syarat mutlak harus dipenuhi.

Namun lain halnya dengan beberapa partai lain, seperti PPP dan PAN yang masih belum yakin untuk membentuk koalisi sejak dini. Kondisi ini memperlihatkan masih ada sejumlah partai yang belum sepakat terkait usulan tersebut.

Adapun hal ini tidak lepas dari isu yang berhembus kencang terkait koalisi antara PDIP dan Gerindra. Terlebih dengan adanya wacana atau peluang dari kedua partai untuk mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk bertarung di Pilpres 2024. Prediksi ini diperkuat dengan pernyataan Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya yang tidak mempersoalkan jika PDIP dan Gerindra sudah membicarakan koalisi untuk tahun 2024 mendatang.

Namun jika melihat realita di lapangan, strategi pembentukan koalisi partai bukanlah sebuah hal yang mudah. Mengingat ongkos politik yang digunakan tentu tidak akan sedikit atau akan memakan biaya besar. Mengacu pada buku berjudul The Cost of Democracy: Essay on Political Finance in Latin America karya Kevin Casas-Zamora dan Daniel Zovatto, ditegaskan jika partai politik membutuhkan uang untuk memperkuat struktur partainya.

Hal ini menegasikan faktor uang tidak bisa lepas dari aktivitas politik. Maka partai politik pun penuh pertimbangan jika melakukan aktivitas politik yang membutuhkan ongkos yang besar.

Melihat potensi keluarnya ‘ongkos politik’, maka partai politik sudah sepatutnya mempertimbangkan strategi politik dengan matang. Lantas bagaimana dengan wacana pembentukan koalisi sejak dini?  Apa sebenarnya motif dari beberapa partai politik tersebut?

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Meraba Kemungkinan Koalisi

Seperti halnya perang, arena politik juga diibaratkan sebagai medan perang bagi para partai politik. Hal ini sesuai dengan penjelasan di sebuah jurnal berjudul Politics and War: Clausewitz’s Paradoxical Equation karya Thomas Waldman, yaitu perang merupakan sebuah wujud dari kontestasi politik. Intinya adalah alasan setiap terjadinya perang selalu disebabkan oleh motif politik. Berdasarkan perspektif inilah maka bisa ditarik kesimpulan bahwa motif politik tidak bisa lepas dari perang.

Demikian halnya dengan fenomena yang terjadi pada dinamika kontestasi politik di Indonesia. Persaingan antar partai politik untuk meraih tampuk kekuasaan juga diibaratkan seperti berperang antar satu dengan yang lain. Masing-masing partai politik berusaha untuk mengalahkan lawannya dengan menggunakan cara apapun termasuk beraliansi.

Dalam sebuah peperangan, aliansi memiliki peran penting dalam studi keamanan karena bisa mendorong terciptanya rasa aman. Maka tidak heran bila beberapa aktor, baik negara maupun non-negara membentuk aliansi untuk menangkal ancaman dari luar.

Sama halnya dalam kontestasi politik menjelang Pemilu 2024, di mana partai-parta politik mulai mewacanakan untuk membentuk koalisi sejak dini. Meski demikian, hal ini tentu akan memakan biaya yang tidak kecil karena politik uang masih belum bisa lepas dari dinamika politik Indonesia.

Hal ini dinyatakan dalam jurnal berjudul Politik Uang dan Dinamika Elektoral di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi antara ‘Party-ID’ dan Patron Klien karya Burhanuddin Muhtadi. Disebutkan bahwa rezim demokrasi di negara-negara berkembang masih erat dengan politik uang, bahkan masih menjadi kunci mobilisasi elektoral.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa faktor uang masih memiliki pengaruh besar untuk menentukan peta politik. Maka tidak heran jika membahas perihal koalisi, setiap partai politik memiliki pertimbangan yang matang supaya perhitungannya tidak meleset. Salah satu tokoh politik sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah pun menegaskan jika kekuatan finansial masih menjadi faktor penting untuk menentukan arah koalisi atau sosok yang akan didukung pada kontesasi politik.

Kemudian, sangat penting pula untuk membentuk kesamaan visi. Jika dalam membentuk suatu koalisi terjadi ketidaksepahaman visi dan misi, maka koalisi yang terbangun akan berpotensi pecah. Seperti Koalisi Merah-Putih (KMP) yang terbentuk ketika mengusung Prabowo-Hatta di Pilpres 2014 lalu.

Koalisi ini diisi oleh 6 partai, yaitu Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB sehingga mampu mendominasi keputusan di DPR. Meski terlihat kuat, namun soliditas KMP akhirnya rontok karena satu per satu partai di dalamnya beralih dan merapat ke pemerintahan, seperti Gokar, PAN dan PPP.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Fenomena ini memperlihatkan jika dinamika politik Indonesia tidak ada yang permanen. Lantas, dengan kesusahan menjadi soliditas koalisi, mengapa ada wacana pembentukan koalisi sejak dini?

Strategi ‘Gertak’ PDIP?

Secara hitung-hitungan di atas kertas, saat ini partai politik yang cenderung berada di atas angin adalah PDIP. Beberapa hasil survei menunjukkan partai berlambang banteng ini masih menempati posisi teratas. Tidak hanya itu, PDIP juga telah melebihi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Hal ini membuat PDIP menjadi satu-satunya partai yang mampu mencalonkan presiden atau calon wakil presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.

Maka tidak heran jika peluang PDIP untuk kembali mendominasi Pemilu 2024 mendatang bukan sekadar isapan jempol. Konteks ini mungkin dapat dibaca sebagai alasan, mengapa beberapa partai politik berupaya menolak ambang presidential threshold sebesar 20 persen, seperti PKS, PKB, dan Demokrat. Selain karena menciderai demokrasi, juga karena menghambat partai-partai lain untuk mencalonkan kandidat pilihannya di Pilpres 2024.

Melihat peta politik yang diprediksi bakal dikuasai PDIP, tidak heran jika beberapa partai mewacanakan untuk membentuk koalisi sejak dini. Dalam jurnal berjudul How to Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff and Win at Politics karya Michael Laver, dijelaskan jika ada hubungannya antara strategi dalam berinteraksi dengan dinamika politik.

Adapun strategi interaksinya meliputi kecurangan, kebohongan, hingga bluffing. Khusus dalam fenomena wacana pembentukan koalisi sejak dini, tampaknya tergolong cara bluffing. Dalam jurnal yang sama, dijelaskan jika bluffing bertujuan untuk memanipulasi lawan hingga akhirnya lawan mengambil langkah yang salah. Selain itu, sebelum melakukan bluffing politik, sepatutnya dipetakan ancaman terlebih dahulu sehingga cara ini bisa ampuh untuk memanipulasi lawan.

Pada konteks wacana koalisi dini, mungkin dapat dikatakan itu adalah strategi bluffing atau gertakan politik. Tujuannya sederhana, yakni dengan melemparkan wacana koalisi, diharapkan PDIP terpancing untuk segera menentukan kandidat untuk diusung di Pilpres 2024. Jika berhasil, itu akan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyerang kandidat yang diusung PDIP.

Namun sampai sejauh ini, PDIP tampaknya tidak terkena gertakan. Partai banteng terlihat konsisten untuk menahan diri membahas kandidat untuk 2024. Seperti pola-pola sebelumnya, PDIP tampaknya akan mengusung kandidat di akhir-akhir waktu. (G69)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Surya Paloh Cemburu ke Prabowo?

NasDem persoalkan komentar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto karena dukung Anies di 2024. PDIP dianggap beda sikap bila terhadap Prabowo.

Airlangga Abaikan Giring?

PSI telah mendeklarasikan akan mengusung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Mengapa Giring belum juga tawarkan Ganjar ke Airlangga?

Rocky Sebenarnya Fans Luhut?

Momen langka terjadi! Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bertemu langsung dengan pengkritik terpedasnya, yakni Rocky Gerung.