Dalam ceramah kebangsaannya pada pertemuan koalisi partai politik (parpol) pendukung pemerintah di markas PDIP, Gus Miftah mengklasifikasikan empat jenis orang Islam di Indonesia. Lantas, apakah yang dapat dimaknai dan tepatkah hal tersebut?
Menjaga soliditas koalisi. Begitu esensi yang disebut dalam pertemuan para sekretaris jenderal (sekjen) koalisi partai politik (parpol) pendukung pemerintah pada penghujung pekan lalu. Ajang temu sekaligus buka puasa bersama alias bukber itu diinisasi oleh PDIP dan berlangsung di Kantor Dewan Pimpinan Pusat mereka di Jl. Pangeran Diponegoro, Jakarta.
Meski begitu, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menyebut bahwa pertemuan itu tidak membicarakan politik secara serius. Pernyataan Hasto sendiri agaknya dapat dipahami memang, ketika pertemuan “hanya” dihadiri pimpinan partai selevel sekjen serta kurang afdal dengan absennya utusan dari Partai Golkar dan Nasdem.
Di samping itu, pertemuan sendiri tampak berlangsung cukup hangat. Ceramah kebangsaan juga menjadi bagian dari acara, yang mana diisi oleh pendakwah yang sedang ramai diperbincangkan karena naik mimbar di pembukaan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Amanat Agung, yakni Miftah Maulana Habiburrahman a.k.a. Gus Miftah.
Baca Juga: Ahok dan NU dalam Semangat Kapitalisme Islam
Menariknya, pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta itu membeberkan empat kategori umat Islam di Indonesia. Pertama, adalah orang yang beragama berakidahkan ahlusunah waljamaah, dan dalam berbangsa serta bernegara memegang teguh ideologi Pancasila. Ini yang disebutnya paling ideal untuk tinggal di Indonesia.
Lalu yang kedua, orang yang secara agama berakidah ahlusunah waljamaah, namun ideologi negaranya adalah khilafah. Gus Miftah menyebutnya sebagai orang-orang yang sangat menipu dan sangat berbahaya.
Ketiga, adalah orang yang dalam beragama bukan ahlusunah waljamaah, namun masih memiliki ideologi Pancasila dalam bernegara. Kemudian yang keempat, orang yang beragama tak berakidah ahlusunah waljamaah, dan dalam bernegara memiliki ideologi khilafah.
Lantas pertanyaannya, tepatkah klasifikasi yang disebutkan oleh Gus Miftah itu? Serta mungkinkah ada makna khusus ketika narasi itu dikemukakan di acara pertemuan para elite parpol pendukung pemerintah?
Gus Miftah dalam Alunan PDIP Cs?
Kategorisasi empat jenis individu Islam di Indonesia dari Gus Miftah berlandaskan latar belakang perihal yang sesungguhnya cukup abstrak, yakni aliran keagamaan dan Pancasila. Dalam melihat persoalan ini, agaknya narasi Gus Miftah itu dapat dikatakan sebagai logical fallacy atau kesalahan berpikir yakni hasty generalization.
Dalam publikasinya yang berjudul Fallacies, Bradley Dowden menyebut bahwa hasty generalization adalah kesalahan logika ketika subjek atau pelakunya melompat ke kesimpulan yang mana kesimpulan itu sendiri adalah generalisasi.
Kesalahan utama fallacy itu ialah overestimate atau melebih-lebihkan kekuatan argumen berdasarkan sampel yang terlalu kecil maupun objek yang terlalu abstrak untuk dihadapkan pada tingkat kepercayaan riil hingga kalkulasi margin kesalahan.
Selain itu, hasty generalization juga melingkupi argumentasinya dengan hanya berpijak pada sejumlah kecil kejadian atau fakta, tetapi berani digeneralisasikan sebagai akar masalah atau penyebab dari suatu fenomena. Dengan kata lain, dasar generalisasi yang dibuat berangkat dari fakta yang belum valid dan dapat dibuktikan keabsahan serta akuntabilitas konkretnya.
Pada case narasi empat jenis individu Islam di Indonesia dari Gus Miftah di ceramah kebangsaan pertemuan koalisi parpol pendukung pemerintah, kemungkinan juga diiringi hasty generalization seperti yang dikemukakan Dowden.
Baca Juga: Poros Islam Karam di Dermaga
Prinsip saya : “Kita Wajib Menghormati Orang Lain, tapi Orang Lain tidak Wajib Menghormati kita” pic.twitter.com/ZRUY1Pj48b— gusmiftah (@gusmiftah_) November 21, 2020
Dalam hal ini, ketika berbicara mengenai persepsi aliran dalam agama Islam dan derajat penganut Pancasila yang sifatnya abstrak dan butuh penilaian komprehensif, seseorang tidak dapat serta merta digeneralisir ke dalam empat poin itu tadi saja.
Di saat bersamaan, kekeliruan itu juga boleh jadi menggambarkan secara lebih dalam lagi mengenai bagaimana persepsi pemerintah terhadap warga negaranya dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.
Namun sayangnya, hasty generalization yang menimbulkan kesenjangan serta klaim kategorisasi sepihak semacam itu agaknya kepalang dan terus diinternalisasi dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara belakangan ini. Sebuah probabilitas yang kiranya kerap tercermin dari beberapa kasusyang menimbulkan kegaduhan dan keresahan tersendiri di publik.
Mulai dari polemik sertifikasi ulama, hingga gaduh pelarangan kajian Ramadan online di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena dituding menampilkan pendakwah radikal. Belum lagi yang terkini ialah soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK yang dinilai level berbangsa dan beragamanya dari pertanyaan yang sifatnya tak substansial dan cenderung kontroversial seperti penggunaan doa qunut serta pertanyaan kesediaan melepas jilbab.
Padahal, kecenderungan seperti itu sempat dikritisi oleh Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKNU) H. Tjetep Muhammad Yasin atau Gus Yasin, yang menilai bahwa pelarangan kajian salah satu BUMN menjadi ironis karena hal-hal kecil soal keagamaan kerap dibesarkan, jadi menakutkan, dan bahkan menjurus pada pengkotak-kotakkan sesama warga negara.
Lalu, mengapa Gus Miftah menyampaikan narasi semacam itu? Serta apakah hal itu menggambarkan fenomena tertentu?
Residu Komodifikasi Agama?
Apa yang disampaikan Gus Miftah kemungkinan merupakan resultan dari komodifikasi dan kapitalisasi agama dalam ruang politik yang terjadi di Indonesia. Ini berangkat dari korelasi antara agama, politik, dan dinamika di antara keduanya.
Secara historis, korelasi itu dapat dilacak dari pemikiran Ludwig Freuerbach dalam Das Wesen des Christentums. Freuerbach mengangkat tesis agama sebagai proyeksi manusia dan sentimen pribadi dalam mengejar kebahagiaan. Hal itulah yang memungkinkan proses transenden dalam pemaknaan agama dikreasi ulang untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompok.
Baca Juga: UIII, Legasi Islam Moderat Jokowi?
Para agamawan yang semula menjadi penjaga moral mulai terseret pada pengarusutamaan dominasi kelas. Pada akhirnya ajaran agama yang bersifat monastik dan sakral, justru berkembang menjadi entitas materialisme dengan menempatkan para agamawan sebagai penjaga kekuasaan penguasa dengan mengikat pemahaman moral masyarakat secara dogmatik.
Terlebih, dalam perkembangannya ada determinan lain seperti kepentingan ekonomi. Seperti yang Max Weber katakan dalam The Protestant Ethic of Spirit Capitalism, bahwasanya hadirnya kapitalisme terjadi berkat religiositas agama yang bahkan terjadi secara masif sejak revolusi industri.
Oleh karena itulah kemudian muncul gagasan teologi pembebasan, yang meskipun dalam praktiknya kurang berhasil di semua tempat dalam memisahkan secara murni antara agama dengan kepentingan politik kekuasaan maupun ekonomi-politik.
Sampel Turki dan Tiongkok adalah dua kontradiksi. Ketika negeri Atatürk yang cenderung progresif dengan kekuatan barunya dalam konservatisme agama dan perlahan menjauh dari sekularisme. Sementara Negeri Tirai Bambu justru melesat menjadi negara kuat saat ini dengan memisahkan agama dengan urusan berbangsa dan bernegara, bahkan sejak di ranah kurikulum pendidikan formal.
Namun di samping itu semua, Indonesia memiliki dimensinya tersendiri. Dalam konstelasi kontemporer, relasi antara agama dan politik kekuasaan atau politik praktis terlihat secara terang-terangan dalam beberapa kesempatan. Ihwal yang kemudian memunculkan istilah political ulama seperti yang pernah disinggung oleh Greg Fealy di New Mandala.
Tak hanya berlatar belakang motif politik kekuasaan, esensi ekonomi-politik juga memainkan perannya. Terutama ketika relasi agama dan politik cukup menguntungkan dari ranah yang lebih luas, seperti komoditas bersertifikasi halal, perkembangan tren busana agama, hingga pelabelan ustaz tertentu yang kemudian berbagai variabel itu bermuara pada apa yang disebut sebagai komodifikasi serta kapitalisasi agama, di samping politik transaksional.
Bagaimanapun, meski ada “justifikasi” atas fenomena komodifikasi serta kapitalisasi agama, plus relasinya dengan politik kekuasaan seperti yang dijelaskan di atas, narasi yang justru menciptakan kesenjangan dan klasifikasi abstrak antarsesama terkait aliran keagamaan dan ideologi Pancasila agaknya tetap kurang tepat disampaikan oleh Gus Miftah. Apalagi di dalam sebuah kesempatan acara pertemuan koalisi parpol penguasa yang bisa saja memunculkan interpretasi tertentu.
Jimly Asshidiqqie dalam Menuju Negara Hukum yang Demokratis, menyebut bahwa nilai-nilai Pancasila semakin menampakkan kesenjangan di dunia nyata, yang kemudian menyebabkan “harga” Pancasila menjadi jauh berkurang. Di titik itulah keteladanan para pemimpin, penguasa, dan pejabat negara yang lantas menjadi strategis untuk mendekatkan nilai Pancasila dalam dunia nyata.
Tak hanya Pancasila, nilai-nilai keagamaan yang inklusif juga kiranya dapat dibangun dan bermula dari para pendakwah maupun ulama untuk membangun masyarakat beragama, berbangsa, dan bernegara yang solid, bukan justru sebaliknya. (J61)
Baca Juga: Yenny Wahid, Kunci Poros Islam?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.