Terbentuknya AUKUS dikhawatirkan berbagai pihak memicu perlombaan senjata nuklir. Ini kemudian mengangkat kembali diskursus, apakah Indonesia perlu memiliki senjata nuklir. Apakah situasi politik internasional mengizinkan Indonesia memiliki senjata nuklir?
Pertarungan geopolitik antara dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik telah memicu potensi perlombaan senjata di kawasan tersebut. Alasannya disebabkan oleh munculnya aliansi baru bernama AUKUS yang terdiri dari tiga negara besar meliputi AS, Inggris dan Australia. Terbentuknya aliansi tiga negara ini disinyalir bisa mempengaruhi sektor keamanan karena terdapat kesepakatan untuk memberikan akses energi nuklir dari AS kepada Australia. Perwujudannya dengan rencana pembentukan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia.
Hal ini sekaligus menandakan bahwa negeri Kangguru akan menjadi negara kedua yang mendapatkan akses teknologi nuklir dari AS setelah Inggris yang sudah terlebih dahulu menerimanya pada tahun 1958. Momentum ini tercipta dengan adanya perjanjian bilateral bernama Agreement between the Government of the United States of America and the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Island for Cooperation on the uses of Atomic Energy for Mutual Defense Purposes. Perjanjian ini berisi tentang pertukaran material nuklir hingga informasi dan teknologi.
Hubungan baik antara AS dan Inggris dalam sektor keamanan ternyata juga berdampak pada Australia. Negara yang memiliki kedekatan geografis dengan kawasan Asia Tenggara ini berpotensi menjadi negara yang bisa menghasilkan nuklir. Padahal, Australia termasuk dalam negara yang terlibat dalam Perjanjian Zona Bebas Nuklir Pasifik Selatan yang dalam artian mendukung penuh kawasan Pasifik untuk bebas dari nuklir.
Negara-negara ASEAN, seperti Indonesia juga mendukung penuh upaya untuk menjamin keamanan di kawasan dengan mengacu pada sebuah traktat yang bernama Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear-Weapon-Free Zone/ SEANWFZ). Tujuan utamanya untuk melindungi kawasan Asia Tenggara dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh radio aktif dan bahan-bahan lainnya.
Baca Juga: Jokowi di Hadapan Ancaman Nuklir?
Meski negara-negara ASEAN berkomitmen untuk tidak mengembangkan nuklir, namun negara Asia di bagian lain tidak memperlihatkan kondisi yang sama. Terdapat dua negara Asia yang mengembangkan energi nuklir, yaitu India dan Jepang. Dua negara ini mematahkan monopoli nuklir yang hanya dimiliki oleh lima negara anggota Dewan Keamanan PBB yang meliputi AS, Inggris, Tiongkok, Prancis dan Rusia.
Khusus untuk India, perjalanan negara ini untuk mengembangkan energi nuklir tidaklah mulus karena sempat menghadapi berbagai tantangan, terutama ancaman dari negara tetangga, yaitu Pakistan. Sementara Jepang, saat ini fokus mengembangkan energi nuklir untuk mencegah krisis listrik.
Menurut Kissinger dalam tulisan berjudul Nuclear Weapons and Foreign Policy karya Yogesh Joshi, dijelaskan bahwa pengembangan nuklir merupakan upaya untuk mencapai sebuah tujuan yang politis serta menjadi sebuah dukungan untuk menyeimbangkan antara diplomasi dan kekuatan yang sifatnya memaksa. Selain itu, pengembangan nuklir dinilai bukan merupakan strategi untuk melakukan perang semata, namun sarat dengan sebuah kepentingan politik yang harus dicapai.
Mengacu pada pengertian ini, maka tidak heran jika negara-negara di dunia termasuk Asia juga mengembangkan energi nuklir. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Mampu Punya Senjata Nuklir?
Beberapa pejabat di Tanah Air sebenarnya sudah beberapa kali menyuarakan pendapat supaya Indonesia bisa menjadi negara yang mampu mengembangkan energi nuklir. Mulai dari Luhut Binsar Pandjaitan hingga Prabowo Subianto, keduanya pernah menyinggung peluang untuk mengembangkan energi nuklir, namun hingga saat ini belum terealisasi. Ternyata ada beberapa faktor yang membuat ‘mimpi’ tersebut belum juga bisa direalisasikan meski Indonesia dinilai memiliki sumber daya uranium yang bisa diolah menjadi energi nuklir.
Berdasarkan data dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) total sumber daya uranium yang dimiliki Indonesia sebanyak 81.090 ton dan thorium 140.411 ton. Bahan baku tersebut tersebar di tiga wilayah, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Masing-masing memiliki kuantitas yang berbeda-beda, Sumatera memiliki 31.567 ton uranium dan 126.821 ton thorium, Kalimantan dengan 45.731 ton uranium dan 7.028 ton thorium, sementara Sulawesi sebanyak 3.793 ton uranium dan 6.562 ton thorium.
Meski demikian, sampai dengan saat ini Indonesia belum juga memanfaatkan potensi tersebut untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) demi memenuhi kebutuhan pasokan listrik. Padahal, BATAN menilai ada beberapa lokasi yang bisa dimanfaatkan untuk membangun PLTN yang notabene bukan wilayah yang rawan gempa.
Baca Juga: Bila Luhut Bermimpi Punya Nuklir
Jika, Indonesia serius memiliki keinginan untuk mengembangkan energi nuklir maka ada satu hal yang sepatutnya menjadi perhatian khusus, seperti kondisi geografis yang menempatkan negara ini termasuk dalam kawasan rawan bencana atau berada di jalur Ring of Fire. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertanda bahwa pembangunan PLTN bisa berisiko tinggi karena potensi bencana alam di Indonesia cukup tinggi.
Tidak hanya itu, faktor acceptability juga penting untuk menjadi pertimbangan dalam pengembangan energi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2001-2009, Purnomo Yusgiantoro menegaskan bahwa tidak semua masyarakat setuju dengan pembangunan PLTN. Ini menandakan tidak semua jenis energi tertentu dapat diterima oleh masyarakat.
Selain faktor internal, faktor eksternal lain juga membuat ‘mimpi’ Indonesia untuk membangun nuklir semakin terkubur. Dalam konteks global, hanya negara-negara besar saja yang mampu mengembangkan energi nuklir. Negara superpower seperti AS misalnya, memiliki otoritas untuk membatasi upaya negara-negara dalam mengembangkan senjata.
Menurut laman U.S Department of State yang membahas tentang Arms Control and Non-Proliferation, dijelaskan bahwa AS memiliki peran sebagai aktor perdamaian dunia, sehingga pembatasan penggunaan senjata, termasuk nuklir, merupakan sebuah tindakan yang dinilai bisa mendukung terwujudnya kondisi tersebut.
Dari strategi tersebut, AS terlihat berusaha membendung negara lain untuk mengembangkan energi nuklir, misalnya dengan membentuk dua lembaga, yaitu The Bureau of Arms Control, Verification and Compliance (AVC) dan Bureau of International Security and Non-Proliferation (ISN). Dua lembaga ini memiliki tugas untuk mengantisipasi ancaman dari negara lain yang mengembangkan energi nuklir maupun senjata nuklir.
Tidak hanya itu, AS juga mampu memberikan sanksi kepada negara-negara yang ‘sulit’ untuk tunduk terhadap kesepakatan pembatasan nuklir dengan AS. Contohnya, Iran dan Korea Utara terdampak sanksi ekonomi oleh AS karena selalu alot dalam berunding perihal pembatasan penggunaan energi nuklir.
Fenomena ini memperlihatkan negeri Paman Sam masih memiliki power untuk mengontrol persenjataan negara di dunia termasuk senjata nuklir. Sementara negara-negara berkembang atau dunia ketiga termasuk Indonesia akhirnya tidak leluasa jika mengembangkan energi nuklir.
Ganggu Stabilitas Kawasan?
Bila mengacu pada faktor internal dan eksternal, rasanya sulit bagi Indonesia untuk membangun energi nuklir terutama jika melihat dalam konteks global. Peran dominan AS dalam mengontrol persenjataan termasuk senjata nuklir akan menjadi hambatan besar bagi Indonesia.
Namun, bukan suatu hal yang mustahil jika Indonesia berkeinginan mengembangkan energi nuklir karena Jepang yang notabene merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi, bisa mengembangkan energi nuklir. Bahkan, pada pemerintah Jepang melalui mantan Menteri Perdagangan dan Industri Jepang Hiroshige Seko sudah menawarkan transfer knowledge tentang penggunaan energi nuklir kepada Indonesia.
Apabila Indonesia memang berkomitmen untuk mengembangkan energi nuklir, maka Indonesia berpotensi bisa menjadi negara maju. Dalam tulisan Jose Goldemberg berjudul Nuclear Energy in Developing Countries, dijelaskan bahwa negara dunia ketiga yang mampu mengembangkan energi nuklir berpotensi menjadi negara maju.
Baca Juga: Prabowo dan Mimpi Nuklir Indonesia
Namun, untuk merealisasikan hal tersebut tentu ada andil dukungan AS terhadap pengembangan nuklir, baik dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) maupun teknologi. Maka, jika Indonesia memutuskan untuk mengembangkan energi nuklir, bisa saja mengundang perhatian AS untuk melakukan intervensi dalam pembangunan nuklir.
Meski ada peluang, nyatanya Indonesia sudah beberapa kali menolak kerja sama untuk mengembangkan energi nuklir. Hal ini sekaligus menjadi sebuah pertanda bahwa potensi Indonesia untuk memiliki senjata nuklir tampaknya sulit untuk terealisasi.
Apalagi, negara-negara ASEAN sudah menandatangani perjanjian zona bebas nuklir dengan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, sehingga jika ada salah satu negara, misalnya Indonesia memutuskan untuk mengembangkan nuklir hingga menjadi senjata pemusnah massal, ini jelas akan mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.