Baru-baru ini, Bloomberg menerbitkan analisisnya yang menyebut bahwa program vaksinasi Indonesia baru akan rampung dalam waktu 10 tahun. Sontak publikasi tersebut menuai sanggahan dari para pejabat negara, tak terkecuali Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Sudah tepatkah sikap Moeldoko tersebut?
Jamak diketahui publik bahwa vaksinasi adalah solusi andalan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Bahkan jauh sebelum program vaksinasi dimulai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah kerap menggembar-gemborkan bahwa program tersebut akan dimulai dalam waktu dekat.
Ketika akhirnya benar-benar dimulai pada bulan lalu, Presiden pun mematok target yang cukup ambisius. Kepala Negara menginginkan vaksinasi terhadap 181,5 juta penduduk dilakukan hanya dalam waktu kurang lebih setahun. Untuk mencapai target itu, pemerintah berambisi menyuntikkan vaksin kepada satu juta penduduk per hari.
Sontak target tersebut menuai skeptisme dari sejumlah pakar. Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman misalnya menganggap keinginan Presiden itu tidak realistis lantaran ada sejumlah persoalan yang berpotensi menghambat proses vaksinasi, mulai dari permasalahan data hingga ketersediaan vaksin itu sendiri.
Tak hanya dari kalangan pengamat, analisis dari media asal Amerika Serikat (AS) Bloomberg juga berpendapat demikian. Mereka menilai kecepatan vaksinasi Indonesia masih kalah jauh dibanding negara-negara lain.
Data Bloomberg mencatat saat ini sudah ada 119 juta dosis vaksin didistribusikan dan disuntikkan ke orang-orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dari data yang dirilis itu, Indonesia menempati urutan ke-10 dari negara-negara yang telah melakukan vaksinasi dengan jumlah cukup tinggi.
Kendati demikian, Bloomberg mencatat bahwa sejauh ini, Indonesia hanya mampu melakukan vaksinasi sebanyak 60.433 dosis vaksin per hari. Ini masih jauh dari jumlah kasus infeksi Covid-19 secara nasional yang mencapai 1,13 juta dengan jumlah kematian mencapai 31,2 ribu orang.
Dari hitung-hitungan tersebut, Bloomberg kemudian memprediksi Indonesia baru akan merampungkan proses vaksinasi dalam kurun waktu 10 tahun.
Hasil analisis tersebut kemudian dikutip oleh media-media nasional, dan menuai komentar dari pejabat pemerintah. Mereka kompak membantah prediksi tersebut.
Namun dari sekian banyak komentar pejabat negara, pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko bisa dibilang menjadi yang paling menyita perhatian publik. Menariknya, Ia justru meminta pihak Bloomberg belajar lagi sebelum menerbitkan hasil analisis data.
Tipikal pembelaan pejabat negara yang cenderung menolak prediksi ilmiah semacam ini sebenarnya bukan baru-baru ini saja terjadi. Sudah sejak lama, para ilmuwan dan pakar memang mengkritisi sikap pemerintah karena enggan mendengarkan masukan dari para ilmuwan terkait penanganan pagebluk. Padahal prediksi-prediksi tersebut bisa saja dijadikan bahan evaluasi bagi pemerintah.
Menyikapi hal ini, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa pemerintah cenderung menolak begitu saja prediksi-prediksi ilmiah yang cenderung tak menguntungkan posisinya?
Sains adalah Political Target
Dari kacamata psikologi, kecenderungan manusia untuk mengabaikan fakta-fakta yang bertentangan dengan pemahamannya dikenal dengan istilah confirmation bias. Namun dalam konteks kebijakan publik, sikap pejabat yang tak terlalu mempedulikan penilaian ilmiah bisa juga disebabkan oleh sifat relasi dari politik dan sains itu sendiri.
Untuk memahami konteks ini, pakar psikologi politik Elizabeth Suhay pernah memaparkan analisis yang cukup menarik untuk direnungkan. Dalam tulisannya yang berjudul Why Politicians Think They Know Better Than Scientists, Ia mengatakan sains adalah political target atau target politik.
Suhay berpendapat hal ini terjadi lantaran sains memiliki otoritas epistemik, yang mengukuhkan posisi sains sebagai metode terbaik yang dimiliki manusia untuk memahami apa yang benar tentang dunia. Oleh karenanya keputusan kebijakan publik tentu diharapkan berdasar pada sains dan kesimpulan ilmiah.
Kendati begitu, di saat yang sama otoritas epistemik tersebut justru membuat sains menjadi sangat rentan untuk dibengkokkan.
Dalam konteks politik strategis, Suhay mengakui bahwa bukti ilmiah memang bukan satu-satunya pertimbangan sah yang mendasari keputusan kebijakan. Ada juga komitmen ideologis yang lebih besar dipertaruhkan, atau pun kepentingan konstituen yang perlu diperjuangkan.
Masalah yang timbul bagi sains dan kebijakan berbasis bukti muncul ketika politisi dan aktor politik lainnya memutuskan untuk mendiskreditkan sains yang menjadi dasar kesimpulan. Singkatnya, para politikus ini cenderung akan membelokkan sains untuk mendukung posisi kebijakan mereka. Ia menyebut fenomena ini sebagai ‘bukti berbasis kebijakan’ sebagai kebalikan dari ‘kebijakan berbasis bukti’.
Rational Irrational Theory
Meski sikap irasional politikus yang mengabaikan penilaian sains kerap dikritik para ilmuwan, namun Profesor Filsafat dari Colorado University, Michael Huemer punya penjelasan masuk akal untuk memahami fenomena ini. Ia mengistilahkannya sebagai rational irrational theory atau teori irasionalitas yang rasional.
Huemer menyebut bahwa ada risiko yang harus dibayar manusia ketika berpikir secara rasional, yaitu seseorang mungkin tidak dapat mempercayai hal-hal yang ingin dipercayainya. Oleh karena adanya risiko tersebut, Ia menilai kebanyakan orang baru akan berpikir rasional jika sudah mengetahui manfaatnya lebih besar daripada berpikir tidak rasional.
Akan tetapi, menurut Huemer, dikarenakan individu hampir tidak menerima manfaat apa pun dari bersikap rasional tentang masalah politik, maka kemudian orang-orang akan cenderung memilih untuk menjadi tidak rasional secara epistemis tentang masalah-masalah politik.
Bertolak dari pemikiran Huemer ini, maka sikap Moeldoko yang menolak hitung-hitungan Bloomberg terkait vaksinasi tersebut sebenarnya dapat dimaklumi. Sebab, pada kenyataannya, memang tak ada keuntungan apa pun yang akan didapatkan pemerintah jika mengakui hitung-hitungan itu benar.
Selain itu, pemerintah sepertinya punya alasan lain untuk tak mengakui prediksi-prediksi ilmiah yang cenderung tak menguntungkan. Konteks ini bisa kita baca dari pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang menegaskan pentingnya upaya membangun kepercayaan masyarakat melalui komunikasi publik dengan narasi positif terhadap program vaksinasi.
Dugaan tersebut juga didukung oleh analisis peneliti ISEAS dari Yusof Ishak Institute, Made Supriantna yang menilai bahwa program vaksinasi merupakan strategi pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada warganya. Sehingga menjadi masuk akal jika Moeldoko tak ingin mengafirmasi prediksi-prediksi yang dapat mendiskreditkan program tersebut.
Di sisi lain, kendati Moeldoko memang punya alasan logis untuk menolak prediksi Bloomberg, namun tak dapat dipungkiri kekhawatiran para pakar akan persoalan-persoalan yang berpotensi menghalangi program vaksinasi tetaplah belum terbantahkan. Di titik ini kemudian yang menjadi pertanyaan, apa kira-kira yang bisa dilakukan pemerintah agar prediksi tersebut tidak benar-benar terjadi?
Masih Ada Harapan?
Kembali pada pernyataan Dicky Budiman, Ia menegaskan ada dua persoalan utama yang menghantui proses vaksinasi di Indonesia, yakni persoalan data dan ketersediaan vaksin.
Terkait persoalan data, hal tersebut sudah diakui sendiri oleh Menkes Budi Gunadi. Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Ia tegas menyebut kapok untuk menggunakan data dari kementeriannya sendiri yang dinilai tidak sesuai data riil di lapangan.
Untuk mengatasi hal itu, Menkes pun berjanji akan mengubah strategi vaksinasi dengan memanfaatkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai lebih aktual karena baru diperbarui setelah gelaran Pemilu 2019 dan Pilkada 2020.
Terkait ketersediaan vaksin, pemerintah mengklaim bahwa Indonesia sejauh ini telah mengamankan sekitar 3 juta dosis vaksin. Jumlah ini tentu masih jauh dari target pemerintah yang menginginkan vaksinasi terhadap 185,1 juta warganya.
Selain terus mengupayakan pembelian vaksin kepada para produsen, upaya jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah berdiplomasi dengan sejumlah negara dengan populasi yang relatif sedikit agar mau memberikan kelebihan jatah vaksinnya.
Salah satu negara yang diprediksi memiliki stok vaksin berlebih adalah Kanada. Negara di Amerika Utara ini disebut-sebut telah memesan 400 juta dosis vaksin, padahal jumlah penduduknya yang tercatat pada tahun 2019 hanya mencapai 37,59 juta jiwa.
Selain itu, meski kedudukan vaksin yang berperan sebagai game changer dalam penanganan pandemi selama ini dipahami sebagai barang publik, namun keterlibatan pihak swasta agaknya dapat membantu pemerintah dalam menyukseskan program vaksinasi. Keterlibatan swasta tersebut nyatanya juga diterapkan pemerintah Amerika Serikat (AS), di mana negara adidaya itu melibatkan dua jaringan farmasi besar, yakni CVC dan Walgreens dalam program vaksinasi mereka.
Lesmana R. Andhika dalam kajiannya yang berjudul Meta Theory: Kebijakan Barang Publik untuk Kesejahteraan Rakyat mengatakan bahwa dalam hal di mana terdapat keterbatasan kapasitas negara, yang mencakup ketidakmampuan teknis penyediaan, hingga kekurangan dukungan anggaran, maka dimungkinkan terjadinya peralihan sifat barang publik menjadi barang umum.
Namun hal ini harus dilakukan dengan catatan bahwa negara tetap berkewajiban untuk memastikan kontrol regulasi, mulai dari rantai produksi hingga ujung distribusi untuk menjamin tidak terjadinya kekacauan, manakala sebuah barang publik mengakseptasi peran pihak swasta.
Pada akhirnya, meski langkah Moeldoko yang menyangkal prediksi Bloomberg memang bisa dimaklumi, namun hal tersebut tetap tak bisa membantah bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam program vaksinasi yang tengah digarap pemerintah. Di titik ini, yang penting dilakukan oleh negara adalah terus melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkala, agar hitung-hitungan tersebut tidak menjadi kenyataan. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.