Di tengah perdebatan wacana terkait revisi Undang-undang Pemilu, Partai NasDem mengambil sikap yang berseberangan dengan partai-partai koalisi pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Akankah ini jadi momentum bagi NasDem untuk segera angkat kaki dari gerbong Istana?
Pada saat momen pelantikan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden hampir dua tahun lalu, Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh sempat membuat pernyataan yang mengejutkan. Saat itu Ia menegaskan bahwa partainya siap apabila harus menjadi oposisi pemerintahan Jokowi.
Konteks pernyataan Surya tersebut disampaikan untuk menanggapi bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi pemerintah. Surya kala itu menilai jika semua partai bergabung ke gerbong pendukung pemerintah, maka hal tersebut dapat membahayakan sistem checks and balances.
Meski hingga kini masih berada di kubu pemerintahan, namun tak dapat dipungkiri, Partai NasDem beberapa kali mengirimkan sinyal ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan Presiden Jokowi dalam mengelola koalisinya. Ini misalnya kentara terlihat ketika jajaran petinggi NasDem saling berbalas kunjungan dengan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang notabene merupakan oposisi tulen pemerintahan Jokowi.
Kendati telah lama tak bersua, romantisme NasDem dan PKS rupanya masih cukup bersemi. Baru-baru dua partai tersebut kembali menunjukkan gelagat kekompakan.
Di saat hampir semua partai pendukung pemerintah menolak wacana perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, NasDem justru bergabung dengan PKS, dan Demokrat sebagai pihak yang mendesak adanya revisi.
Salah satu pembahasan penting mengenai revisi beleid tersebut adalah berkaitan dengan pelaksanaan dua Pilkada serentak. Undang-undang yang ada saat ini mengamanatkan Pilkada di daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 diserentakkan digelar pada 2024 nanti.
Di sini, NasDem dan PKS mendesak revisi agar keserentakan Pilkada dinormalisasi. Artinya, Pilkada pada 2022 dan 2023 harus digelar sesuai siklus lima tahunannya. Normalisasi dinilai perlu dilakukan demi memenuhi hak dasar politik rakyat serta menghindari masalah kelelahan penyelenggara seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam.
Menyikapi hal ini, mungkinkah polemik Pilkada ini benar-benar akan jadi momentum bagi NasDem untuk angkat kaki dari koalisi pendukung Jokowi?
Illusion of Control
Tak hanya dari kalangan parpol, menariknya Presiden Jokowi sendiri melibatkan diri dalam diskursus ini. Beberapa waktu yang lalu, Presiden mengumpulkan mantan-mantan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional-nya (TKN) yang terdiri dari sembilan parpol koalisi, termasuk perwakilan Partai NasDem, ke Istana Negara.
Eks jubir TKN dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani menyebut dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi meminta setiap parpol serius memikirkan segala kepentingan terkait pelaksanaan Pilkada. Jokowi, dikatakan Arsul, ingin setiap partai memerhatikan manfaat dan mudarat jika Pilkada digelar lebih cepat dari UU Pemilu saat ini.
Kendati demikian, undangan dari Presiden sekali pun nyatanya tak membuat sikap politik Partai NasDem goyah. Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad Ali justru kembali memberikan penegasan bahwa tidak ada amanat konstitusi yang membuat pemerintah dapat menghilangkan atau menunda Pemilu dan Pilkada.
Gagalnya upaya Presiden yang terlihat ingin menyatukan suara seluruh partai koalisinya dalam menyikapi wacana revisi UU Pemilu ini, kemungkinan besar mengindikasikan bahwa Kepala Negara telah mengalami apa yang disebut dengan illusion of control atau ilusi kontrol.
Ellen J. Langer dalam publikasinya yang diterbitkan Journal of Personality and Social Psychology mengatakan bahwa ilusi kontrol terjadi ketika seseorang memiliki harapan yang tinggi terhadap kesuksesan diri sendiri untuk mengendalikan keadaan di sekitarnya, padahal ekspektasi semacam ini bisa dibilang tidak sesuai dengan probabilitas obyektif yang ada.
Dengan kata lain, ilusi kontrol ini mungkin telah membuat Presiden lupa bahwa dalam konteks politik, conflict of interest dan kepentingan sektoral adalah faktor inheren yang pasti ada dalam setiap aktor-aktornya, apalagi partai politik. Di saat yang sama, hal ini juga menandakan bahwa Kepala Negara tampaknya tak memiliki kontrol politik yang cukup terhadap koalisi besar yang telah dibentuknya di periode kedua ini.
Hal ini kemudian membuka ruang bagi partai-partai yang ada di dalamnya untuk bisa terpecah sewaktu-waktu jika dirasa orientasi kepentingan yang dimilikinya sudah tak lagi sejalan. Dalam konteks ini, gelagat yang diperlihatkan NasDem mungkin adalah contoh yang paling kentara.
Anies adalah Kunci?
Tak hanya mendekati PKS, gelagat NasDem yang mulai berselingkuh dari koalisi pendukung pemerintah bisa juga dilihat dari manuvernya yang mulai mendekati Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sinyal ini ditunjukkan bukan hanya dari kunjungan Anies ke kantor DPP Partai NasDem, melainkan juga dalam konteks kebijakan di mana anggota DPRD dari partai tersebut kerap membela kebijakan-kebijakan Anies.
Dari manuver-manuver ini, tentu sulit untuk tak berspekulasi bahwa NasDem tengah membidik Anies dan PKS untuk membentuk koalisi baru di Pilpres 2024 mendatang.
Kemudian terkait sikap NasDem yang kini menginginkan revisi UU Pemilu, tampaknya sebagai cara untuk merawat elektabilitas Anies agar dapat bersaing di Pilpres 2024 mendatang.
Lalu, mudah juga dipahami, jika NasDem benar-benar mengusung Anies, maka partai biru mestilah bergandengan dengan PKS. Konteks ini sangat menarik, pasalnya, jika koalisi ini nantinya terbentuk, dapat dipastikan NasDem dapat memiliki koalisi otonom dan keluar dari bayang-bayang partai besar lainnya, seperti PDIP.
Lalu, jika melihat dari gelagat sebelum-sebelumnya, yang mana NasDem baru terang-terangan memamerkan kemesraannya dengan PKS maupun Anies setelah bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi pemerintahan Jokowi, patut diduga kuat bahwa hal tersebut merupakan sumber kekecewaan NasDem terhadap koalisinya tersebut.
Hal itu sekaligus dapat menjawab pertanyaan mengapa kemudian NasDem berubah sikap dalam menyikapi keserentakan Pilkada 2024 yang sebelumnya justru didukungnya.
Kemudian, berangkat dari kekecewaan ini, maka tak heran jika kemudian NasDem seolah mengincar posisi yang lebih otonom dengan mengambil langkah sedini mungkin untuk mendekati pihak-pihak yang berpotensi menjadi mitra koalisinya di kemudian hari.
Mengutip studi gabungan yang dilakukan Columbia University dan sejumlah universitas lainnya, Julie Beck dalam tulisannya yang berjudul People Want Power Because They Want Autonomy, akan membuat kita memahami mengapa koalisi otonom ini penting bagi NasDem. Dalam tulisannya, Beck memaparkan dua jenis konsepsi mengenai kekuasaan atau power.
Pertama, kekuasaan untuk mengendalikan orang lain, yang mana ini berkorelasi dengan tanggung jawab. Kedua, kekuasaan otonom yang memungkinkan seseorang untuk mengabaikan dan menolak pengaruh orang lain.
Menariknya, studi tersebut menemukan fakta bahwa kekuasaan otonom dinilai lebih memuaskan ketimbang kekuasaan untuk mengendalikan orang lain. Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa ambisi NasDem untuk membentuk koalisi otonom dan keluar dari bayang-bayang partai besar lainnya, menjadi mudah dimaklumi.
Di titik ini, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah mampukah NasDem mewujudkan ambisinya tersebut?
Modal Politik Mumpuni
Meski baru mengikuti dua kali perhelatan Pemilu, namun modal politik NasDem tak bisa dianggap remeh. Mengacu pada data yang dirilis oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Pemilu 2019 lalu, disebutkan 20 dari 31 caleg petahana justru pindah parpol ke NasDem.
Temuan serupa juga dipaparkan oleh Koodinator Konsorsium LSM Bengkulu, Syaiful Anwar yang menyebut bahwa sebanyak 195 kepala daerah di Indonesia telah menjadi kader NasDem sebelum gelaran Pemilu 2019 dilaksanakan.
Tak berhenti sampai disitu, signifikansi kekuatan politik NasDem diduga karena didukung oleh ketersediaan modal ekonomi yang mumpuni. Seperti yang jamak diketahui, di tubuh Partai NasDem sendiri banyak terdapat pengusaha-pengusaha yang tentunya dapat menunjang performa partai dalam menghadapi Pemilu.
Selain tentunya Sang Ketua Umum, Surya Paloh, nama-nama macam Rachmat Gobel yang merupakan orang terkaya ke-119 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai Rp 3,69 triliun, serta Ahmad Sahroni yang tercatat memiliki harta kekayaan hingga Rp 200 miliar adalah sekelumit pengusaha-pengusaha kaya yang berstatus sebagai kader NasDem.
Terkait dengan hal tersebut, pakar politik dan sosiologi James Coleman pernah mengungkapkan teorinya tentang pilihan rasional atau rational choice theory. Dalam pemikirannya, Ia menyebut bahwa manusia sebagai makhluk rasional akan memilih tindakan yang dapat memaksimalkan utilitas atau memilih tindakan yang paling dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka.
Mempertimbangkan posisi Presiden Jokowi yang sudah tak bisa lagi mencalonkan diri di Pilpres 2024 mendatang, serta menggabungkan modal politik yang dimiliki, maka opsi untuk segera angkat kaki dari koalisinya saat ini bisa dibilang merupakan pilihan yang rasional bagi NasDem. Kasus PAN di akhir periode pertama pemerintahan Jokowi adalah contoh riil dari pilihan rasional. Pasalnya, dengan basis massa yang mendukung Prabowo, ada kemungkinan PAN akan gagal masuk ke Parlemen di Pemilu 2019 jika mendukung Jokowi di Pilpres 2019.
Pada akhirnya, apakah polemik Pilkada ini akan menjadikan NasDem benar-benar berpisah jalan dengan kekuatan politik Jokowi hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Namun yang jelas, Dalam dinamika politik, pergeseran loyalitas adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Masih tersisa banyak waktu menuju perhelatan Pilpres 2024 mendatang, dan apa pun masih bisa terjadi. Menarik ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.