Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah jadi bulan-bulanan publik lantaran mengklaim bahwa Indonesia telah sukses menangani dua krisis sekaligus, yakni krisis pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi. Wajar klaim tersebut menuai sinisme masyarakat, sebab selama sebulan terakhir kasus positif Covid-19 di Indonesia cenderung meroket alih-alih melandai. Lantas mengapa kemudian Presiden membuat pernyataan tersebut?
Di tengah peningkatan kasus Covid-19 sejak sebulan terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan. Beberapa waktu lalu, kepala negara justru mengungkapkan rasa syukurnya bahwa Indonesia berhasil menangani dua krisis sekaligus, yakni krisis kesehatan di tengah pandemi dan krisis ekonomi.
Ironisnya, hanya selang sehari setelah klaim kesuksesan tersebut, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 justru mengumumkan bahwa angka kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menyentuh bilangan jutaan. Sontak, klaim kesuksesan Presiden itu pun menjadi bulan-bulanan masyarakat.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, misalnya, berpendapat klaim Jokowi tersebut hanya untuk menutupi kegagapan pemerintah. Sebab, menurutnya, selama ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan negara untuk penanganan pandemi tidak ada yang matang.
Pakar sosiologi bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir juga memberikan respons serupa. Ia menilai, klaim Jokowi hanya sebatas pernyataan politik yang bertujuan menghindari kecaman publik.
Tak hanya dari kalangan pengamat, klaim Jokowi itu pun juga menuai sinisme dari sejumlah pihak lain, mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga para penyintas Covid-19. Mereka ramai-ramai mempertanyakan apa parameter kesuksesan yang digunakan Jokowi.
Kendati begitu, sepertinya terlalu naif jika kita menyimpulkan bahwa Presiden sengaja menyuarakan klaim keberhasilan tersebut demi menutupi kegagapan pemerintah dalam penanganan pandemi.
Sebagai seorang kepala negara, Ia pasti sudah berhitung bahwa klaim-klaim yang tak didukung oleh bukti yang akurat tentu akan menjadi bumerang yang menyerang dirinya sendiri. Lantas pertanyaannya, mengapa kemudian klaim semacam ini tetap dilakukan Presiden?
Jokowi The Prozac Leader?
Pernyataan yang dinilai tak sesuai kenyataan atau terlalu optimis sebenarnya bukan baru kali ini saja dikemukakan Jokowi. Dalam beberapa kesempatan sebelum-sebelumnya, termasuk dalam konteks penanganan pandemi, Presiden sudah pernah melakukan hal serupa.
Dalam program vaksinasi, misalnya, sebelum akhirnya dimulai, Presiden awalnya sempat menggembar-gemborkan program tersebut akan dilakukan pada November 2020. Padahal saat itu belum ada satupun kandidat vaksin yang melaporkan hasil uji klinis tahap ketiganya.
Alhasil, ternyata ambisi itu tak terwujud. Program vaksinasi sempat molor beberapa kali, hingga akhirnya baru benar-benar dimulai pada pertengahan Januari 2021 lalu.
David Collinson, Profesor dari Lancaster University yang secara spesifik fokus dalam mempelajari studi tentang kepemimpinan dan organisasi punya istilah khusus untuk menyebut karakter pemimpin yang selalu optimis dan berpikir positif seperti Jokowi ini. Ia menyebut gaya kepemimpinan semacam ini sebagai prozac leadership.
Dalam tulisannya yang berjudul Prozac Leadership and the Limits of Positive Thinking, Collinson menyebut bahwa pemimpin yang menerapkan prozac leadership biasanya percaya pada retorika mereka sendiri bahwa semuanya berjalan dengan baik. Dalam beberapa kesempatan, para pemimpin jenis ini kerap mempertontonkan optimisme yang berlebihan.
Dalam diskursus kepemimpinan, optimisme dan positive thinking memang terkadang punya signifikansinya tersendiri. Namun, ketika optimisme semacam ini dieksploitasi secara berlebihan, hal itu juga dapat menjadi backlash yang merugikan.
David Niven dalam tulisannya yang berjudul The Other Side of Optimism: High Expectations and the Rejection of Status Quo Politics mengatakan bahwa penggunaan optimisme yang berlebihan oleh para pemimpin dapat membentuk ekspektasi yang tinggi di masyarakat.
Kemudian dengan semakin tingginya ekspektasi tersebut, maka potensi kekecewaan yang akan terjadi jika optimisme yang dijanjikan tidak terwujud akan semakin besar, sehingga mengurangi kepercayaan pada pemerintah dan kepercayaan pada sistem yang ada.
Indikasi bahwa kepala negara juga lebih mengutamakan persepsi positif ketimbang transparansi dalam penanganan pandemi sudah lama terbaca dalam diri Presiden Jokowi.
Misalnya, Presiden sempat mengakui bahwa pemerintah memang sengaja tak mempublikasikan sejumlah informasi mengenai Covid-19 karena tak ingin terjadi kepanikan di masyarakat. Situasi itu juga semakin mendapatkan afirmasinya dari gelagat jajaran kabinet yang kerap meremehkan pandemi Covid-19 ketika awal-awal virus tersebut teridentifikasi masuk ke wilayah Indonesia.
Kedua fakta tersebut nyatanya kini kerap dijadikan titik serang sejumlah pihak ketika mengkritisi kebijakan pandemi pemerintah. Lantas jika sudah demikian, mengapa kemudian Presiden Jokowi tak kapok menggunakan strategi yang sama?
Bukan Menyasar Publik?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kiranya kita perlu memahami dulu di mana konteks klaim keberhasilan penanganan pandemi Presiden ini diucapkan. Sebagaimana diberitakan, Presiden menyampaikan klaim itu saat berpidato membuka acara Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melalui tayangan YouTube Yakoma PGI.
Dalam strategi komunikasi publik, isi pidato memang tak jarang disesuaikan dengan konteks kepada siapa sang pembicara berbicara – tergantung pendengarnya.
Tom Ricci dalam tulisannya di The American Society of Mechanical Engineers mengatakan bahwa untuk dapat menarik perhatian, pembicara harus menyusun pidato berdasarkan topik yang dianggap penting bagi audiens. Selain itu, penting juga untuk mengetahui tingkat pengetahuan yang mereka miliki tentang topik, sehingga para pembicara dapat menyajikan informasi dengan tepat.
Dalam konteks ini kiranya dapat diduga Presiden Jokowi sebenarnya tak memaksudkan klaimnya itu menjadi diskursus publik, melainkan hanya khusus kepada audiens yang merupakan para pengurus PGI yang notabene merupakan kalangan pemuka agama Kristen.
Ini kemudian menjadi masuk akal jika kita mengingat bahwa pemuka agama punya signifikansi tersendiri dalam memengaruhi persepsi masyarakat termasuk dalam konteks penanganan pandemi. Dengan membuat para pemuka agama ini optimis akan prospek tersebut, tentu diharapkan mereka dapat menyebarkan positivisme itu kepada para jemaat-jemaatnya melalui cara-cara yang lebih halus.
Kendati begitu, tetap saja agaknya terlalu naif jika kita menganggap Presiden tak mengkalkulasikan bahwa pidato yang disiarkan di internet itu tak akan menjadi diskursus publik. Oleh karenanya, kecurigaan bahwa presiden memang sengaja mengklaim keberhasilan itu tetap sulit dihindari.
Namun jika memang benar demikian, untuk apa kemudian Presiden memberi pernyataan yang jelas-jelas akan menuai sinisme publik ini?
Signifikansi Sinisme
Ansgar Allen dalam tulisannya yang berjudul What Can We Learn from Ancient Cynicism? menyebutkan bahwa sinisme dalam kehidupan modern, tidak melulu merupakan ancaman. Sinisme sebaliknya, bisa saja punya peran positif bagi keberlangsungan institusi, kepercayaan sosial, ataupun keterikatan politik.
Allen menilai dengan menjaga agar kritik tetap aktif namun terkendali, para pemimpin dapat memastikan bahwa setiap orang menjalankan fungsi sosialnya sesuai peranannya. Mereka sinis, tetapi taat pada pemimpin mereka.
Berangkat dari sini, maka klaim Jokowi kendati menuai sinisme publik tentu dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sebab, logikanya dengan melakukan klaim tersebut, Jokowi hanya memantik diskurusus yang di mana di satu sisi ada pihak-pihak yang kontra, dan di sisi lain ada juga yang tetap mendukung Presiden dan pemerintah.
Namun sebaliknya, jika Jokowi mengakui kesalahan dan kegagalan pemerintah dalam penanganan pandemi, maka hal itu berpotensi membentuk semacam konsensus yang justru bisa saja memiliki dampak lebih berbahaya bagi kekuasaannya.
Barbara Kellerman dalam tulisannya yang berjudul When Should a Leader Apologize—and When Not? mengatakan bahwa mengakui kesalahan bagi politikus merupakan langkah berisiko tinggi, baik untuk diri mereka sendiri maupun organisasi yang mereka wakili.
Barbara menilai para politikus biasanya baru mau mengakui kesalahan secara terbuka ketika mereka mengetahui bahwa risiko tidak mengakui kesalahan akan lebih besar daripada mengakuinya di depan publik. Atau singkatnya, mereka akan mengakui kesalahan ketika kesalahan tersebut sudah terlalu sulit untuk diperbaiki.
Di titik ini, setidaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa langkah Presiden Jokowi yang mengklaim keberhasilan tersebut sebenarnya berangkat dari optimismenya sendiri bahwa kekeliruan dalam penanganan pandemi Covid-19 adalah sesuatu yang masih bisa diperbaiki. Oleh karenanya, untuk saat ini Ia merasa belum perlu mengakui kesalahan dan kegagalan pemerintah dalam konteks tersebut.
Pada akhirnya, yang tahu maksud sebenarnya dari klaim keberhasilan Jokowi terkait penanganan pandemi adalah yang bersangkutan sendiri. Namun setidaknya Presiden seharusnya sadar bahwa optimisme dan harapan yang terus menerus digelorakan tanpa adanya niat yang serius untuk mewujudkannya bisa saja berbahaya bagi dirinya sendiri.
Maka dari itu, kiranya sudah saatnya pemerintah benar-benar serius untuk membenahi strategi penanganan pandemi. Apalagi kasus positif Covid-19 di Indonesia sendiri kini tengah dalam fase yang mengkhawatirkan. Mari berdoa saja semoga pandemi ini bisa segera berakhir. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.