HomeNalar PolitikPuan Punah, Prananda Berjaya?

Puan Punah, Prananda Berjaya?

Jarang mendapatkan sorotan publik, nama Prananda Prabowo,  putra Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri tiba-tiba mencuat karena dianggap berjasa dalam membawa kemenangan bagi partainya di Pilkada 2020. Lantas apakah itu adalah sinyal Prananda akan menggantikan sosok Mega sebagai Ketua Umum? 


PinterPolitik.com

Suksesi tampuk kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga hari ini masih diselimuti misteri. Belum jelas siapa yang nantinya akan maju menggantikan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum. 

Meski begitu, trah Soekarno sepertinya masih menjadi calon favorit yang akan menggantikan Mega. Ini tak bisa dilepaskan dari tradisi feodalis partai yang sangat mengultuskan keturunan sang proklamator sebagai pemimpin. 

Jika memasukkan faktor Soekarno, maka dua calon kuat pengganti Mega tak lain dan tak bukan adalah anak-anaknya sendiri, yakni putranya Prananda Prabowo atau putrinya Puan Maharani. 

Dari segi popularitas, nama Puan mungkin lebih akrab di telinga publik. Bagaimana tidak? Puan memang sudah beberapa kali mengampu jabatan penting di pemerintahan, mulai dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), hingga kini Ketua DPR. 

Selain karena jabatan publik yang dipegangnya, melambungnya nama Puan sebenarnya lebih disebabkan oleh kontroversi yang dipantiknya. Misalnya mulai dari pernyataannya yang menyinggung masyarakat Sumatera Barat, hingga keterlibatannya dalam pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang kontroversial itu.

Berbeda 180 derajat dengan Puan, nama Prananda Prabowo justru seperti asing didengar publik. Tak seperti Puan, Prananda juga belum pernah memiliki rekam jejak di pemerintahan. Sehingga menjadi wajar jika sosoknya yang disebut-sebut lebih banyak bekerja di belakang layar sebagai Ketua DPP PDIP Bidang Ekonomi Kreatif dan UMKM itu memang jarang mendapat sorotan dan atensi media.

Namun setelah PDIP diprediksi memeroleh sejumlah kemenangan dalam Pilkada 2020 lalu, nama Prananda lah yang justru mencuat. Berdasarkan pengakuan sejumlah kader di daerah, misalnya di Bali, disebutkan bahwa keberhasilan partai yang identik dengan warna merah ini tak bisa dilepaskan dari peran Prananda yang ikut memperjuangkan seluruh kader yang diusung di Bali kepada sang Ketua Umum, Megawati. 

Lantas apakah ini menjadi sinyal bahwa Prananda adalah sosok yang lebih tepat menggantikan Mega ketimbang Puan?

Puan Hadapi Resistensi 

Diskursus mengenai siapa kelak yang akan menggantikan Mega memimpin PDIP adalah wacana yang sudah cukup lama dibicarakan. Banyak yang yakin bahwa ditempatkannya Puan Maharani dalam sejumlah jabatan strategis pemerintahan mengindikasikan bahwa Mega memang telah mempersiapkan putrinya itu untuk menggantikan dirinya. 

Kendati demikian, tak semua internal PDIP menerima gagasan ini. Beberapa di antara mereka disebut-sebut menolak wacana bahwa tongkat estafet kepemimpinan PDIP diserahkan kepada Puan. 

Marcus Mietzner dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menyebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan PDIP hingga hari ini terjebak dalam krisis regenerasi adalah karena sosok Puan yang diyakini diprospek Mega untuk menggantikan dirinya masih mendapatkan resistensi di internal PDIP. 

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Resistensi ini terjadi selain dikarenakan Puan dianggap tidak berpengalaman dalam mengonsolidasikan partai, namun juga karena dirinya yang dianggap mewarisi ‘karakter’ Mega dinilai tidak terlalu menguntungkan secara elektoral. 

Sama dengan Mega, Puan dinilai sebagai tokoh dingin yang kerap menolak untuk diwawancarai jurnalis, dan terlihat tidak nyaman ketika bergaul dengan orang banyak. Mietzner menilai karakter elitis semacam ini lah yang membuat Megawati gagal memenangkan Pilpres 2004 dan juga menjadi penyebab menurunnya suara PDIP di Pemilu 2009. 

Selain menghadapi resistensi, kondisi internal PDIP yang disebut-sebut terdiri dari sejumlah faksi-faksi sepertinya juga akan menjadi faktor yang menyulitkan Puan untuk tampil sebagai pewaris Mega. 

Pengamat politik dari PARA Syndicate, Ari Nurcahyo menyebut bahwa saat ini ada tiga faksi yang berada di tubuh PDIP. Pertama adalah kelompok yang mendukung Puan Maharani, kedua adalah kelompok yang mendukung Prananda Prabowo, dan terakhir adalah kelompok yang berasal dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo). 

Meski rekam jejaknya di jabatan publik memang bisa dibilang moncer, namun kepribadiannya yang kerap memicu kontroversi dan dinilai minim pengalaman dalam mengonsolidasikan internal partai agaknya membuat figur Puan sulit untuk diterima sebagai penerus Mega. 

Sebaliknya, Prananda yang memang selama ini berkiprah sepenuhnya di internal PDIP tentu memiliki pemahaman yang lebih baik terkait manajemen kepartaian. Selain itu, pengakuan Gubernur Bali, I Wayan Koster yang menyebut peran Prananda yang kerap memberi arahan untuk mengonsolidasikan partai membuktikan figurnya memiliki kedekatan cukup baik dengan kader-kader di daerah ketimbang Puan yang selama ini lebih banyak bergaul di kalangan elite.

Dari sini, maka dapat dikatakan secara modal politik, Puan memang bisa dibilang lebih unggul. Namun dari modal sosial, posisi Prananda agaknya jauh lebih baik daripada saudarinya itu. 

Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu pernah menyebut bahwa modal sosial merupakan properti individual, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang. Ia hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memerolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status dengan mengembangkan niat baik.

Dengan adanya modal sosial ini, Prananda Prabowo bisa saja nantinya menggeser posisi Puan sebagai sosok yang selama ini diprospek untuk menggantikan Mega, sebab menurut Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam tulisannya di Semantic Scholar, modal sosial disebutkan dapat dikonversi menjadi modal politik dengan sejumlah cara. 

Lantas bagaimana dengan Mega sendiri? Apakah nantinya Mega akan benar-benar memilih Prananda untuk menggantikan dirinya ketimbang Puan?

Bukan Puan, Prananda Anak Emas Mega?

Pada medio Juli lalu, Mega sempat menyebut bahwa partainya akan melakukan regenerasi total pada 2024 mendatang. Meski tak menjelaskan secara rinci maksud regenerasi total yang Ia sampaikan, namun pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam memaknai pernyataan Mega ini sebagai buah dari refleksi atau kesadaran politik akan kebutuhan kepemimpinan baru di PDIP.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Kesadaran Mega tersebut menurutnya mungkin terinspirasi dari regenerasi yang telah dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. SBY memang telah menunjuk putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketum Demokrat 2020-2025. Menurut pengamatan Khoirul, regenerasi dari SBY ke AHY itu telah menghasilkan insentif elektabilitas bagi Partai Demokrat.

Namun ada satu hal yang cukup menarik jika kita menggunakan regenerasi di tubuh Partai Demokrat sebagai pembanding. Sebelum AHY terjun ke dunia politik, banyak yang mengira bahwa SBY mempersiapkan putra bungsunya, Edhie Baskoro atau Ibas sebagai penerusnya. Asumsi ini berangkat dari sepak terjang Ibas yang sudah berkiprah lebih dulu di dunia politik daripada AHY. 

Namun pada akhirnya, seperti yang diketahui, SBY justru memilih AHY untuk meneruskan kepemimpinannya di Demokrat. Keputusan ini bisa saja diambil karena nama AHY lebih bisa diterima publik lantaran jauh dari kontroversi jika dibandingkan dengan Ibas. 

Jika berpatok dari kasus Demokrat, maka bisa saja Mega nantinya akan mengambil langkah yang sama dengan SBY, yakni memilih sosok yang jauh dari kontroversi seperti Prananda. Keputusan untuk tidak menempatkan Prananda di pemerintahan bisa juga dianggap sebagai strategi Mega untuk melindunginya dari kontroversi yang mungkin saja timbul. 

Selain faktor politik, indikasi bahwa Mega memiliki kedekatan yang lebih baik dengan Prananda juga terbaca dari gestur-gesturnya selama ini. Dalam beberapa kesempatan, keduanya bahkan tertangkap kamera tengah berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Gestur seperti ini jarang terlihat antara Mega dengan Puan. 

Dalam masyarakat umum, memang dipercaya bahwa seorang ibu memiliki kedekatan emosional yang lebih terhadap anak laki-lakinya ketimbang anak perempuannya. Meski hanya dipandang sebagai pemahaman awam, namun sebenarnya kecenderungan ini sudah pernah dijelaskan oleh pakar psikoanalisis, Sigmund Freud melalui teori yang Ia sebut Oedipus Complex. 

Dalam karyanya yang berjudul The Interpretation of Dreams, Freud mengajukan Oedipus Complex sebagai teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya. Oleh anaknya, sang ayah dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang sang ibu. 

Berangkat dari faktor-faktor ini, maka bisa saja nantinya Mega memang akan memilih Prananda sebagai penerusnya untuk memimpin PDIP. Selain karena pengalamannya dalam mengonsolidasikan partai serta figur yang jauh dari kontroversi, jika benar Prananda lebih dekat dengan Mega ketimbang Puan secara emosional, maka itu dapat menjadi faktor penentu.

Bagaimanapun sekelumit ulasan ini hanyalah analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Siapa nantinya yang akan benar-benar menggantikan Mega sebagai Ketum PDIP hanyalah waktu yang mampu menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.  (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...