Jika anda punya KTP Indonesia, secara otomatis ada utang sebesar 13 juta rupiah menanti anda.
PinterPolitik.com
“Rather go to bed without dinner than to rise in debt” – Benjamin Franklin (1706-1790)
[dropcap size=big]U[/dropcap]tang (debt) bagi kebanyakan orang dianggap sebagai persoalan yang serius dan kalau perlu sebaiknya dihindari. Benjamin Franklin – salah satu bapak pendiri Amerika Serikat – bahkan lebih memilih untuk tidur tanpa perlu makan malam ketimbang harus bangun pagi dan menyadari kalau dirinya memiliki utang. Seburuk itukah utang?
Kabar terbaru datang dari Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, yang mengatakan bahwa saat ini utang negara Indonesia sudah sangat besar. Bahkan kalau utang tersebut dibebankan kepada setiap warga Indonesia, maka satu orang terhitung berutang 13 juta rupiah. Hal tersebut diungkapkan Sri Mulyani, dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Tangerang Selatan, pada Senin 17 April 2017.
Sri Mulyani: 1 Orang Indonesia Tanggung Utang Negara Rp 13 Juta https://t.co/xaFzxsCm34 via @detikfinance pic.twitter.com/KFKaKeb12I
— detikcom (@detikcom) April 17, 2017
Wow, itu artinya jika anda punya KTP Indonesia, secara otomatis ada utang sebesar 13 juta rupiah yang menanti anda. Dari mana jumlah itu diperoleh? Kalau ditotal, keseluruhan utang Indonesia pada tahun 2016 mencapai 3.272 triliun rupiah. Jika jumlah itu dibagi ke seluruh penduduk Indonesia (257,9 juta jiwa), maka tiap orang akan menanggung beban utang sebesar 13 juta rupiah. Bayangkan jika dalam satu keluarga ada ibu, bapak, dan dua anak, berapa jumlah utang mereka secara keseluruhan? Tentu jumlahnya sangat besar.
Apalagi, pada tahun 2017 ini utang pemerintah juga diperkirakan akan meningkat, seiring dengan defisit APBN yang dialami oleh pemerintah. Menkeu menjelaskan bahwa hal itu terlihat dari penerimaan negara tahun ini yang ditargetkan mencapai 1.750 triliun rupiah atau lebih kecil ketimbang pagu anggaran belanja pemerintah sebesar 2.020 triliun rupiah. Dengan demikian, Indonesia harus berutang sekitar 270 triliun rupiah untuk menutupi defisit tersebut.
Tentu kita bertanya-tanya, apakah dengan jumlah demikian kategori utang Indonesia sudah bisa diklasifikasikan dalam kelompok yang parah? Kita tentu ingat apa yang terjadi di Yunani ketika negara tersebut harus mengalami krisis utang parah pada tahun 2014 hingga 2015 lalu. Apakah hal yang sama bisa juga menimpa Indonesia?
Indonesia dan Utang
Sejak kapan manusia mengenal utang? Dalam bukunya “Debt: The First 5000 Years”, David Graeber – seorang antropologis berkebangsaan Inggris – menyebutkan bahwa salah satu catatan tertua tentang utang ada pada tahun 3.500 SM di Mesopotamia. Bangsa Sumeria yang hidup saat itu dipercaya sudah menjalankan sistem utang piutang. Sejak saat itu, sistem ini terus dipakai dan berkembang sampai saat ini dengan lahirnya istilah seperti ‘surat utang’ dan lain sebagainya. Utang itu sendiri juga melekat pada sejarah penggunaan uang sebagai nilai tukar.
Indonesia merupakan salah satu negara yang punya sejarah utang yang cukup panjang, terutama saat telah menjadi sebuah negara. Saat lengser pada Mei 1998, pemerintahan Presiden ke-2, Soeharto, meninggalkan utang sebesar 551,4 triliun rupiah atau setara dengan 68,7 miliar dollar AS. Saat itu, rasio utang Indonesia mencapai 57,7% terhadap keseluruhan Gross Domestic Product (GDP). Rasio utang itu sendiri bisa dijelaskan sebagai perbandingan keseluruhan nilai utang suatu negara terhadap GDP.
Hahahaha. Gaji aja kurang dari 13 juta, ini tau-tau udah di suruh tanggung utang negara 13 juta/kepala. Kumaha iyee! #NewsAndTalk
— Muhammad Decsoend (@Muhammad_D16) April 17, 2017
Pada pemerintahan selanjutnya yang dipimpin BJ Habibie (1998-1999), total utang Indonesia mencapai 938,8 triliun rupiah atau setara dengan 132,2 miliar dollar. Saat itu, rasio utang membengkak menjadi 85,4% dari total GDP.
Kemudian, pada zaman Gus Dur (1999-2001), nilai utang pemerintah membumbung tinggi di periode 2000 menjadi 1.232,8 triliun rupiah, namun dalam denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi 129,3 miliar dollar. Ketika itu, rasio utang makin parah menjadi 88,7%.
Sejak berganti kekuasaan ke Megawati Sokarnoputri dan kemudian ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang Indonesia memang mengalami penurunan, namun jumlah utang justru terus meningkat.
Di era Megawati, rasio utang paling rendah adalah 56,5% terhadap GDP yang terjadi pada tahun 2004, walaupun saat itu jumlah utang Indonesia mencapai 1.298 triliun rupiah. Di zaman SBY, prestasi rasio utang terbaik terjadi pada tahun 2012, yakni di angka 23%. Namun, jumlah utang saat itu sudah mendekati angka 2.000 triliun.
Hingga akhirnya pada zaman Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang Indonesia menyentuh angka 3.272 triliun rupiah pada tahun 2016. Jumlah ini terbilang sangat besar jika dibandingkan dengan pendapatan negara pada tahun 2016 yang hanya menyentuh angka 1.822 triliun rupiah. Berikut ini data peningkatan jumlah utang Indonesia beberapa tahun terakhir.
Peningkatan jumlah utang tersebut terjadi karena beberapa hal, misalnya karena defisit APBN yang terus terjadi, serta akumulasi utang di masa lalu, khususnya yang terjadi pada saat krisis 1998.
Jika mengikuti logika Benjamin Franklin di awal tulisan, tentu hal ini sangat buruk. Bagaimana tidak, pemerintah Indonesia punya utang yang jumlahnya melampaui pendapatan pemerintah sendiri – walaupun saat ini rasio utang masih diukur dengan menggunakan GDP. Adapun GDP Indonesia saat ini diperkirakan menyentuh angka 13.000 triliun rupiah. Pertanyaannya adalah apakah jumlah utang yang besar ini buruk bagi perekonomian kita?
Prahara Utang
Faktanya, sebagai salah satu instrumen ekonomi, utang tidaklah sepenuhnya buruk. Bahkan, utang dapat membantu menjaga kestabilan ekonomi suatu negara. Kok bisa?
Banyak ekonom yang mengatakan bahwa keberadaan utang justru membuat perekonomian suatu negara dapat berlangsung dengan lebih baik. Paul Krugman – ahli ekonomi dari City University of New York – adalah salah satu ekonom yang menganggap utang di saat yang tepat dan untuk tujuan yang tepat merupakan salah satu bentuk investasi yang baik. Saat suku bunga sedang turun misalnya, pemerintah bisa melakukan pinjaman yang kemudian digunakan untuk investasi di bidang infrastruktur dan bidang-bidang yang menguntungkan.
Selain itu, jika pemerintah mempunyai utang yang stabil jumlahnya, maka investor akan lebih percaya untuk berinvestasi dan bisa memanajemen risiko dengan lebih baik. Suku bunga juga bisa lebih stabil dan pada akhirnya ekonomi dengan sendirinya menjadi stabil. Utang membantu pemerintah mencukupi segala kebutuhan yang belum bisa terpenuhi, bahkan dana dari utang bisa dipakai sebagai investasi oleh pemerintah sendiri. Jika dikelola dengan baik, maka utang akan mendatangkan dampak ekonomi yang besar bagi sebuah negara.
Hal inilah yang menyebabkan saat ini hampir semua negara di dunia memiliki utang. Tercatat hanya ada 5 negara yang tidak memiliki utang – mengutip daftar yang dibuat oleh therichest.com. Negara-negara tersebut adalah Palau, Liechtenstein, Brunei, British Virgin Island, dan Macau.
Negara-negara dengan perekonomian kuat di dunia bahkan tercatat punya utang dengan jumlah yang fantastis. Terakhir kali Amerika Serikat bebas utang adalah pada tahun 1835, sementara Inggris sudah 3 abad terakhir punya utang. Pada tahun 2015, rasio utang Amerika Serikat terhadap GDP bahkan sudah berada di angka 104,17%, sementara Inggris berada di level 89% terhadap GDP.
Horrifying graphic from @Ricochet on progression of US debt:https://t.co/KDDppLxgg5 pic.twitter.com/cvqfwkqaDn
— MyNameIsNobody (@chrisfrantz) April 16, 2017
Lihat pula Jepang yang rasio utang terhadap GDP-nya mencapai 250% – walaupun untuk kasus Jepang, 90% utangnya berasal dari dalam negeri atau dari masyarakatnya sendiri. Untuk membahas hal ini, mungkin tulisan ini bisa menjadi sepanjang satu buku teks, oleh karena itu hal ini tidak akan dibahas secara spesifik.
Japan : High Debt Level, Negative Interest Rate Yet Safe haven Currency pic.twitter.com/voEZWKx42C
— AsianWealthCommunity (@ericchuakh) April 17, 2017
Yang jelas, utang menjadi pedang bermata dua, di satu sisi bisa mendatangkan manfaat ekonomi yang besar, namun di sisi lain jika tidak dikelola dengan baik akan mendatangkan masalah yang serius. Kasus yang terjadi pada Yunani merupakan contoh utang yang tidak dikelola dengan baik.
Haruskah Terus Berutang?
John Maynard Keynes (1883-1946) – seorang ahli ekonomi dari Inggris – pernah mengatakan bahwa dalam resesi ekonomi, pengeluaran pemerintah yang besar diimbangi dengan pajak yang rendah dapat membantu pemulihan ekonomi suatu negara. Pengeluaran yang besar bisa dilakukan pemerintah dengan menambah anggaran belanja lewat utang. Artinya utang ternyata bisa membantu pemulihan ekonomi suatu negara.
Utang memang penting, tetapi apakah kita harus terus berutang? Pemerintah memang perlu berutang. Namun, perlu dipastikan bahwa level utang Indonesia masih dalam batas aman, khususnya utang-utang yang berasal dari luar negeri. Yunani mengalami krisis karena tidak mampu membayar jumlah utang yang jatuh tempo pembayaran.
Pada akhirnya kebijakan berutang atau tidak perlu dilihat dari kacamata kondisi perekonomian global. Meminjam kata Krugman, utang akan sangat bermanfaat jika dilakukan di saat yang tepat.
Apa yang dikatakan oleh Menkeu Sri Mulyani tentang jumlah utang yang mencapai 13 juta rupiah per orang perlu dipandang sebagai pemacu bagi semua stakeholders ekonomi untuk terus giat mengembangkan perekonomian negara ini. Niscaya jika ekonomi berkembang dengan baik, cita-cita kemandirian bukanlah utopia, sebab untuk apa berutang jika bisa berdiri di kaki sendiri? (S13)