“Berbicara politik sebagai debat kebijakan, bukan kasak-kusuk elite berebut kekuasaan” – Najwa Shihab, jurnalis
Gengs, tampaknya nggak berlebihan deh kalau banyak orang yang kerap membanding-bandingkan nasib hidup di Indonesia dengan Malaysia. Ya kalian cukup lihat aja deh di film Tanah Surga Katanya yang mempertontonkan adegan seorang ayah pergi dari Indonesia untuk kerja di Malaysia karena keterjaminan hidup di sana.
Maksud mimin tuh bukan hendak menggugat apalagi nggak nasionalis ya. Tetapi coba kita memaklumi anggapan orang yang mungkin menganggap hidup di Malaysia lebih baik dan kadang-kadang lebih seru.
Contohnya soal demokrasi. Setidaknya itu terlihat dari perbandingan sidang parlemen Malaysia dengan sidang parlemen Indonesia.
Kalian pernah melihat kan saat pemimpin parlemen Malaysia, Pandikar Amin Mulia, berusaha mengendalikan situasi persidangan yang gegap gempita penuh perdebatan. Dan itu dipertontonkan di layar televisi, ketika kubu-kubu saling kritik dan serang.
Terlepas dari konteks mencekamnya, sebetulnya di situlah sisi demokrasi berjalan. Parlemen benar-benar adu argumen demi mengupayakan yang terbaik untuk masyarakat atau minimal konstituennya. Sudah begitu ditayangkan di televisi pula, yang membuat masyarakat tuh paham soal kinerja mereka.
Coba sekarang tengok tuh persidangan parlemen di Indonesia saat membahas peraturan yang sangat vital, yakni RUU Cipta Kerja beberapa hari lalu. Emang sih ada juga perdebatan yang sengit ketika interupsi dari Partai Demokrat seolah nggak digubris. Bahkan mereka terkendala mikrofon yang tiba-tiba mati.
Kejadiannya dimulai saat Sekretaris Fraksi Demokrat, Marwan Cik Hasan, berbicara soal pandangan partai. Dirasa melewati batas waktu bicara, mikrofon Marwan langsung dimatikan sepihak. Padahal Marwan sedang masuk pada poin masalah lho.
Dan kalian tahu apa yang dibilang pimpinan sidang? Begini: “Tolong lima menit ya, Pak Marwan. Ini (mikrofon mati) otomatis, Pak.” Saat itu emang yang jadi pimpinan sidang adalah politikus Partai Golkar Azis Syamsuddin.
Hadeh. Ini mah namanya membatasi fungsi suara legislatif. Terlepas dari persoalan aturan berapa menit berbicara, hendaknya memang nggak di-mute begitu aja. Ngurang-ngurangi keindahan demokrasi loh. Makanya jangan salahkan netizen yang menyerang Ketua DPR Puan Maharani. (F46)