Menteri BUMN Erick Thohir diduga akan maju di Pilpres 2024. Kendati membantah tegas, kemunculan wajahnya di ATM milik bank BUMN jamak dinilai sebagai kampanye terselubung. Jika benar akan maju di 2024, mengapa Erick tidak menunjukkan gestur kentara seperti kandidat lainnya?
Genderang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah mulai ditabuh. Berbagai pihak mulai memajukan nama-nama andalannya. Ada Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, hingga Erick Thohir.
Terkhusus nama yang terakhir disebutkan, Erick agaknya cukup berbeda. Betapa tidak, sampai saat ini ia menolak dikatakan akan maju. Ini kontras dengan nama lain yang sudah memberi sinyal-sinyal lugas.
Dugaan majunya Erick sebenarnya sudah mulai tercium sejak Maret 2020. Saat itu, spanduk dukungan agar Erick maju di 2024 mencuat ke publik. Kemudian, gestur-gestur politik terkini juga dinilai oleh banyak pihak sebagai indikator keinginan sang Menteri BUMN untuk maju.
Salah satu yang ramai dibahas adalah munculnya wajah Erick di ATM milik bank BUMN. Kendati sudah dibantah Erick, publik tetap menaruh curiga bahwa itu adalah kampanye terselubung. Terbaru, ada persoalan toilet gratis Pertamina yang tengah menarik atensi luas publik.
Baca Juga: Mungkinkah Erick-Sandiaga di 2024?
Menurut pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, munculnya Erick di ATM dan permintaan agar fasilitas toilet di pom bensin digratiskan merupakan upaya untuk memoles citranya. “Bagian memoles citra agar Erick terlihat bekerja serius sebagai menteri. Tentu yang diharapkan efek positif dan bisa diperhitungkan masuk nominasi capres 2024. Sejauh ini Erick belum masuk arus utama pembicaraan pencapresan,” begitu ungkap Adi.
Lantas, jika benar Erick berambisi untuk maju di 2024, mengapa mantan bos Inter Milan ini tidak menunjukkan suara tegas atas keinginannya?
Membaca Peluang Erick
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, tentu yang paling vital untuk dibahas adalah seberapa besar peluang Erick untuk maju. Untuk kepentingan ini, kita dapat menggunakan tulisan Kimberly L. Casey yang berjudul Defining Political Capital.
Menurut Casey, modal politik (political capital) terbagi dalam berbagai jenis, seperti modal ekonomi, modal sosial, modal manusia, modal kultural, modal simbolik, dan jenis-jenis modal lainnya. Terkhusus Erick, modal terkuatnya untuk maju di Pilpres 2024 nanti adalah modal ekonomi.
Casey menjelaskan bahwa modal ekonomi dapat meliputi kekayaan personal seorang kandidat. Selain itu, modal ekonomi dapat berasal dari pendanaan yang ditujukan menjadi bagian dari upaya pencalonannya, seperti pendanaan kampanye.
Sebagai pendiri Mahaka Group, tidak dapat dipungkiri Erick memiliki modal ekonomi personal yang besar. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada September 2021, Erick memiliki harta kekayaan senilai Rp 2,312 triliun.
Selain itu, dukungan modal ekonomi Erick bisa juga datang dari modal sosial yang dimilikinya, yakni ikatan personal. Seperti yang diketahui, Menteri BUMN ini merupakan saudara dari orang terkaya ke-15 di Indonesia, yakni Garibaldi “Boy” Thohir. Menurut laporan Forbes pada tahun 2020, Boy Thohir memiliki kekayaan sekitar USD 1,65 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun.
Modal sosial yang didasarkan pada relasi seperti ini juga bisa datang dari jaringan yang dimiliki Erick di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pasalnya, pendiri Mahaka Group ini sempat menjadi pemilik saham terbesar di klub sepak bola Inter Milan di Italia dan sempat membeli saham klub basket Philadelphia 76ers di AS.
Dengan kata lain, Erick dapat memanfaatkan relasi bisnis yang luas itu untuk mencari pendanaan pencalonan dan kampanye. Tidak berlebihan kemudian jika ada yang menyebut Erick merupakan salah satu pintu untuk mengakses para konglomerat.
Selain itu, Mahaka Group yang bergerak di bidang media tentunya menjadi alat kampanye penting. Konteksnya bisa jadi sama dengan Hary Tanoesoedibjo yang memanfaatkan MNC Group untuk mengkampanyekan Partai Perindo.
Lantas, seberapa signifikan modal politik tersebut dalam menghantarkan Erick sebagai kandidat di 2024?
Konteks modal ekonomi Erick yang kuat bertalian dengan perubahan sistem patronase di Indonesia selepas runtuhnya rezim Orde Baru. Dulunya, tentu kita tahu Presiden Soeharto kerap menggunakan sistem patronase (pertukaran keuntungan) dengan para pebisnis yang ditempatkan sebagai klien (subordinat).
Baca Juga: Indonesia Butuh Erick Thohir 2?
Namun, menariknya, saat itu para konglomerat tidak diizinkan leluasa untuk masuk ke dalam politik. Selepas Reformasi, peraturan perundang-undangan kemudian menjamin semua warga negara mendapatkan hak yang sama untuk terjun ke politik.
Boleh jadi, akibat peraturan ini, kekuasaan oligarki bisnis pun mengalami perubahan karena bisa lebih leluasa masuk ke arena politik. Sekalipun tidak terjun langsung, para konglomerat berperan aktif menjadi “donatur” bagi partai politik yang didukungnya.
Kita kemudian melihat fenomena para pengusaha yang awalnya hanya berada di belakang yang kini mulai muncul dan terjun langsung ke dunia politik. Salah satu contoh suksesnya adalah Jusuf Kalla (JK) yang berhasil menjadi Wakil Presiden pada periode 2004-2009 dan periode 2014-2019.
Nah, ini lah pentingnya modal ekonomi yang dimiliki Erick. Dengan besarnya biaya politik, keberadaan dan dukungan pebisnis menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Mengutip pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, untuk pilpres membutuhkan dana sekitar Rp 3-7 triliun. Bahkan ada yang menyebut kisarannya menyentuh Rp 9 triliun. Berapa banyak kandidat yang memiliki dana sebesar itu? Rasa-rasanya bisa dihitung jari.
Lagi pula, jangankan berbicara kandidat, partai politik saja belum tentu memilikinya. Sekarang pertanyaannya, dengan signifikansi modal politik tersebut, jika benar ingin maju, mengapa Erick tidak terang-terangan menunjukkan ambisinya?
Strategi Injury Time?
Sedikit berspekulasi, Erick tampaknya tengah mengikuti nasihat-nasihat perang dari Sun Tzu. Dalam bukunya The Art of War, Sun Tzu memang memberi nasihat agar bergerak cepat dan menyerang lebih dulu. “Orang yang mau mengalahkan musuh harus mengambil peranan inisiatif dan aktif menyerang (offensive) terlebih dahulu,” tulis Sun Tzu.
Nah, selaku pebisnis ulung, Erick tampaknya membaca nasihat Sun Tzu yang lain, khususnya dalam bab “Manuver Perang”. Menurut Sun Tzu, pasukan musuh yang tiba lebih dahulu di medan perang memang memiliki keunggulan dalam hal semangat tempur yang tinggi. Namun, itu dapat disiasati dengan tidak dulu menyerang mereka, atau menunggu semangat tempurnya memudar.
Penekanan tersebut bisa kita lihat pada pernyataan Erick dalam acara Kick Andy Double Check pada 15 November. Tegasnya, “Ambisi buta bahaya”. Lanjut Erick, “Kan diceritain di media-media ada 1,8 persen bahkan ada yang bilang saya 4,3 persen. Tapi saya pakai 1,8 persen bukan yang 4,3 persen. Berarti ini jauh.”
Pernyataan-pernyataan tersebut jelas menunjukkan Erick adalah seorang yang waspada dan memiliki kalkulasi rasional yang terukur. Alih-alih menunjukkan ambisinya sejak awal dan berpotensi diserang dari kanan-kiri, Erick sedang menunggu momen yang tepat untuk masuk ke medan tempur elektoral.
Baca Juga: Jokowi Buka Jalan Erick di 2024?
Untuk saat ini, Erick tampaknya sedang melakukan “spionase”. Dalam bab “Memanfaatkan Spionase”, Sun Tzu menjelaskan bahwa spionase atau strategi mengorek informasi musuh sangatlah vital dalam perang. Ini dilakukan untuk memetakan situasi dan kondisi medan tempur.
Sederhananya, Erick sedang memetakan mana partai yang harus “disirami” dengan modal ekonominya. Pasalnya, salah “menyiram” partai akan berimbas pada pupusnya peluang untuk maju dan/atau memenangkan kontestasi pilpres.
Jika benar demikian, Erick dapat dikatakan akan menggunakan strategi injury time atau menyiram di akhir waktu. Melihat berbagai kontestasi elektoral sebelumnya, strategi ini terbukti jitu. Pada Pilpres 2019, misalnya, publik dikejutkan dengan penunjukan Ma’ruf Amin sebagai pendamping Jokowi.
Padahal, berbagai kabar menyebut posisi itu akan diberikan kepada Mahfud MD. Dan terbukti berhasil, pasangan Jokowi-Ma’ruf memenangkan Pilpres 2019 mengalahkan Prabowo-Sandiaga.
Sebagai penutup, perlu digarisbawahi bahwa sekelumit analisis dalam artikel ini bertolak pada asumsi Erick memiliki ambisi untuk maju di Pilpres 2024. Dengan demikian, semua argumentasi yang dihadirkan dapat digugurkan seketika jika ambisi itu memang tidak ada. Kita lihat saja bagaimana ke depannya. (R53)