HomeNalar PolitikKenapa Partai Tidak Gugat Preshold 20 Persen?

Kenapa Partai Tidak Gugat Preshold 20 Persen?

Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), karena presidential threshold (PT/preshold) 20 persen bersinggungan dengan partai politik, maka partai yang berhak mengajukan gugatan, bukannya individu perseorangan. Lantas, jika benar preshold 20 persen sangat merugikan, mengapa belum ada partai yang menggugat?


PinterPolitik.com

“If you would take, you must first give, this is the beginning of intelligence.” – Lao Tzu, filsuf Tiongkok

Firli Bahuri, nama satu ini menarik atensi luas publik setelah terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019. Namun, bukan isu-isu cerah yang kerap menghinggapi, melainkan awan mendung sinisme. Puncaknya adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat Novel Baswedan Cs terdepak dari lembaga anti-rasuah. 

Menarik untuk dilihat, awan mendung tersebut telah menjadi langit cerah setelah Firli memberikan komentar terkait presidential threshold (PT/preshold) 20 persen. “Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu, Pak, kalau kita ingin mengentaskan korupsi,” ungkapnya pada 10 Desember. 

Bertolak dari kunjungannya ke berbagai daerah, Firli menilai preshold menjadi penyebab korupsi dan tingginya mahar politik. 

Berbagai respons menghujani. Umumnya mendukung dan memberi apresiasi. “Kali ini sepakat sama Ketua KPK, jos gandoss,” ungkap seorang warganet di unggahan infografis PinterPolitik di Instagram. Tidak hanya warganet, berbagai elite politik juga memberikan jempol. Penggugat lama preshold seperti Rizal Ramli jelas tersenyum manis.

Sebagaimana diketahui, telah berulang kali preshold digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Desember 2021 saja, sudah ada tiga gugatan yang dilakukan oleh Gatot Nurmantyo, Ferry Juliantono, dan Bustami Zainudin. Secara keseluruhan, sampai saat ini setidaknya sudah ada dua belas gugatan terhadap preshold.

Pada 14 Januari 2021, MK memberikan penjelasan menarik mengapa gugatan Rizal Ramli ditolak. “Maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik,” ungkap Hakim Konstitusi, Arief Hidayat.

Disebutkan, Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terhadap ambang batas presiden. Mengacu pada ketentuan Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945, yakni capres dan cawapres diusung oleh partai atau gabungan partai politik, maka yang memiliki kedudukan hukum untuk menggugat preshold adalah partai politik.

Di sini konteksnya menjadi semakin menarik. Mengapa sampai saat ini tidak ada partai yang melayangkan gugatan ke MK? Bukankah preshold 20 persen disebut sangat merugikan partai?

Mengacu pada penjelasan MK, jika gugatan dilakukan oleh individu perseorangan, perubahan atas aturan preshold tampaknya tidak akan pernah terjadi.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Parpol Terjebak Sunk Cost?

Terkait preshold, ada komentar menarik dari Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. “Adanya presidential threshold sebagai bentuk insentif atau penghargaan kepada partai politik yang sudah berjuang di pemilu,” ungkapnya pada 15 Desember. 

Dalam kacamata studi Ekonomi Perilaku (Behavioral Economics), pernyataan tersebut dapat dikaji melalui konsep sunk cost fallacy. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, menyebut sunk cost fallacy adalah bias kognitif yang berdiri di balik beratnya hati seseorang dalam meninggalkan investasinya, sekalipun diketahui tidak menguntungkan.

Amerika Serikat (AS) yang melanjutkan perang dengan Vietnam disebut Dobelli sebagai salah satu contohnya. Karena sudah begitu banyak investasi yang dikeluarkan, baik berupa waktu, tenaga, uang, dan nyawa, awalnya AS begitu berat untuk menyerah di perang Vietnam. 

Contoh menarik lainnya adalah pernikahan. Kendatipun diketahui tidak berjalan baik, bahkan menderita luka, berbagai pihak umumnya sangat berat untuk memutuskan cerai karena begitu banyak cost yang sudah dicurahkan, khususnya cost emosi. Kalkulasinya semakin rumit apabila telah memiliki anak.

Konteks serupa dapat dilihat di kasus partai politik. Dengan besarnya cost pemilu, disebut mencapai ratusan miliar sampai triliunan rupiah, sulit membayangkan investasi sebesar itu tidak mendapat reward. Partai politik tentunya tidak ingin investasinya menguap begitu saja. Partai ingin investasi sebesar itu terkonversi menjadi hak khusus, berupa preshold.

Ini kemudian menjawab, mengapa partai besar seperti PDIP, Golkar, dan Nasdem menolak penurunan dan penghapusan preshold. Partai-partai tersebut telah menghabiskan dana, waktu, dan energi yang luar biasa besar untuk mendapatkan kursi-kursi elektoral. Tentu sulit membayangkan, mereka berkenan diposisikan sama dengan partai yang mengeluarkan cost yang lebih kecil.

Seperti yang disebutkan Jean-Marie Huriot dan Lise Bourdeau-Lepage dalam tulisannya Utopia, Equality and Liberty: The Impossible Ideal, gagasan kesetaraan dan kebebasan yang kita yakini dan perjuangkan selama ini, mungkin adalah suatu utopia yang mustahil terwujud. 

Selain itu, penghapusan preshold dapat pula dikatakan melawan hasrat alamiah manusia untuk mendapatkan reward atau penghargaan. Dalam otak manusia, terdapat reward system (sirkuit mesocorticolimbic), yakni sekelompok struktur saraf yang bertanggung jawab atas keinginan untuk mendapatkan insentif.

Reward system membuat organisme mendekati atau terlibat dalam faktor-faktor yang memberi potensi insentif, seperti makanan untuk mendapatkan energi, hubungan asmara untuk mendapatkan afeksi, dan pejabat untuk mendapatkan dukungan politik. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Disebutkan, tanpa adanya reward system kelangsungan hidup sebagian besar spesies mungkin akan terancam. Kita mungkin tidak akan mencari kerja meskipun mengetahui ada insentif gaji dan kebutuhan membeli makanan.

Preshold Akar Korupsi?

Di titik ini, mungkin banyak yang tidak setuju dengan argumentasi di atas. Seperti pernyataan Firli Bahuri, preshold membuat korupsi menjadi marak terjadi. Besarnya mahar politik membuat pemenang pemilu melakukan balas jasa, baik kepada partai politik maupun oligarki yang memberi bantuan dana.

Pertanyaannya, bagaimana jika preshold bukan akar dari korupsi?

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Tiga Solusi Untuk Selesaikan Korupsi dan Mahfud Akui Pelemahan KPK?, akar yang lebih mendasar atas masalah mahar politik adalah tidak adanya kemandirian finansial partai. Masalahnya, dalam ketentuan Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, tidak diizinkannya partai politik untuk mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha, berkonsekuensi membuat partai kesulitan memenuhi kebutuhan logistiknya.

Ini kemudian membuat Pasal 40 ayat (3) dilanggar, yakni terjadi praktik lumrah partai dalam menerima sumbangan dari pihak asing, perseorangan, perusahaan atau badan usaha, serta menggunakan fraksi di berbagai lembaga pemerintahan sebagai sumber pendanaan.

Oleh karenanya, suka atau tidak, Pasal 40 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik harus direvisi. Penekanan ini selaras dengan teori hukum responsif yang dijelaskan Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Law and Society in Transition: Towards Responsive Law

Dalam hukum responsif, hukum bertindak sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka. Tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.

Nah, jika perilaku koruptif partai, seperti menetapkan mahar politik terjadi karena kesulitan memenuhi kebutuhan logistik, hukum harus meresponsnya dengan melakukan revisi terhadap Pasal 40 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Jika tidak ingin direvisi, negara harus mengambil langkah konsekuen untuk mendanai kampanye partai politik. Namun, dengan anggaran negara yang terbatas, solusi ini tentunya sulit dibayangkan terjadi. 

Well, sebagai penutup, mungkin jawaban dari tidak adanya partai yang menggugat preshold 20 persen adalah, karena adanya kesadaran kolektif atas reward system. Para elite partai sangat paham betapa mahal dan beratnya menjalankan partai dan memenangkan pemilu. Mungkin demikian. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...