Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti para menterinya untuk memperbaiki komunikasi publik demi menyosialisasikan program vaksinasi Covid-19. Presiden tak ingin program tersebut menimbulkan gelombang protes layaknya polemik Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan presiden tersebut?
Sorotan minor dari ahli kesehatan dan epidemiolog agaknya tak mampu membendung hembusan angin segar vaksin Covid-19 yang terus digembar-gemborkan pemerintah. Ya, meski menuai keragu-raguan, namun nyatanya pemerintah tetap tak ingin mengendurkan upaya pengadaan vaksin yang dijadwalkan akan dilakukan mulai akhir 2020.
Kendati vaksin merupakan kabar baik yang amat ditunggu-tunggu untuk mengakhiri pandemi, namun nyatanya survei yang dilakukan Lapor Covid-19 justru menggambarkan bahwa jumlah masyarakat yang meragukan kabar tersebut masih cukup tinggi.
Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menduga keragu-raguan tersebut bukan disebabkan karena masyarakat memiliki sikap anti terhadap vaksin. Melainkan karena informasi-informasi yang beredar selama ini dinilai masih belum jelas.
Kekhawatiran Pandu agaknya ditangkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam rapat terbatas dengan para menteri yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden beberapa waktu lalu, Ia mewanti-wanti jajarannya untuk berhati-hati dalam mengkomunikasikan ihwal rencana proses vaksinasi kepada publik.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyadari bahwa vaksinasi memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi. Untuk itu Ia meminta para menterinya agar menaruh perhatian lebih pada sejumlah isu seperti persoalan halal-haram, harga, kualitas, hingga distribusi.
Kepala negara bahkan sampai memerintahkan jajarannya untuk memperbaiki strategi komunikasi publik. Dia tak ingin vaksinasi bernasib sama seperti pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang memantik glombang protes hingga hari ini.
Konteks pernyataan Presiden tersebut agaknya menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pasalnya, pandemi Covid-19 dan pengesahan UU Ciptaker bisa dibilang memang memiliki pangkal persoalan yang sama, yakni buruknya komunikasi publik pemerintah.
Terlebih, pernyataan tersebut bisa juga dipandang sebagai sebuah afirmasi Jokowi terhadap dugaan bahwa pemerintah memang gagal mengkomunikasikan UU Ciptaker kepada publik.
Lantas pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Apa penyebab strategi komunikasi publik pemerintah khususnya dalam dua isu krusial tersebut tak terjalin efektif?
Persoalan Transparansi dan Sinergitas?
Selain persoalan substansi, kerasnya resistensi publik terhadap polemik UU Ciptaker sebenarnya juga dilatarbelakangi faktor pengesahan yang begitu mendadak. Meski merupakan isu yang sudah cukup lama, namun pengesahan yang dilakukan secara diam-diam dan mendadak rasionalnya akan memberikan shocking therapy kepada publik.
Tak seperti polemik UU Ciptaker, pandemi Covid-19 bukanlah isu lama yang tiba-tiba menyeruak kembali ke permukaan. Sebaliknya, peristiwa tersebut masih berlangsung hingga kini dan rutin menghiasi headline-headline media massa.
Wilbur Schramm sebagaimana dikutip Walid Wardhana dalam tulisannya yang berjudul Teori dan Model Komunikasi Massa merumuskan suatu konsep yang dikenal dengan istilah hypodermic needle. Teori ini pada intinya menyebut bahwa komunikasi massa memiliki pengaruh langsung, segera dan sangat menentukan terhadap audience.
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan melalui media kepada mereka akan selalu diterima, dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan.
Meski menjadi santapan sehari-hari publik melalui media massa selama setengah tahun terakhir, nyatanya kampanye-kampanye tentang penerapan protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah tak memiliki dampak yang begitu signifikan. Hal ini bisa dibuktikan dari tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang belum juga memuaskan.
Gagalnya komunikasi publik pemerintah ihwal pandemi melalui media massa kiranya dapat dianggap sebagai indikasi adanya kesalahan dalam strategi komunikasi tersebut.
Dosen Ilmu Komunikasi UI, Whisnu Triwibowo dalam tulisannya di The Conversation memaparkan sejumlah kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam konteks komunikasi publik di tengah krisis. Di antaranya; pemerintah dianggap tidak antisipatif, kurang bersinergi dengan pejabat-pejabat daerah, hingga menggunakan bahasa teknis yang sulit dipahami masyarakat awam.
Jangankan kepada publik, sejumlah pihak menilai komunikasi antar sesama pejabat eksekutif, bahkan antara Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sekalipun juga bisa dibilang kurang baik. Getirnya, kritik itu justru datang dari relawan Jokowi sendiri.
Dalam konteks penanganan pandemi, sosok Wapres Ma’ruf Amin nyatanya memang jarang tampil bersama Presiden maupun para menteri. Inilah yang menjadi sebab publik mempersepsikan Jokowi dan Ma’ruf memang berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Hal ini tentu sangat disayangkan. Padahal, Ma’ruf dengan latar belakang agama yang kental sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup prominen untuk mengkomunikasikan program pemerintah kepada masyarakat.
Hakimul Ikhwan dalam tulisannya yang berjudul How Religions and Religious Leaders Can Help to Combat the COVID-19 Pandemic: Indonesia’s Experience mengatakan bahwa sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, agama memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempersuasi masyarakat. Hal ini lantaran tokoh agama, seperti Ma’ruf Amin adalah salah satu sosok yang paling dihormati dan didengar suaranya oleh masyarakat.
Lalu mengingat carut-marutnya komunikasi publik dalam polemik UU Ciptaker dan penanganan pandemi Covid-19, kira-kira apa yang bisa diakukan pemerintah untuk memperbaiki hal tersebut agar kegagalan serupa tak terjadi dalam proses sosialisasi vaksinasi Covid-19?
Perlu Pedoman Baku?
Meski secara struktural segala informasi mengenai penanganan pandemi dilakukan di bawah otoritas Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, namun pada praktiknya, pemerintah sepertinya tak memiliki pedoman baku dalam strategi komunikasi kepada publik. Hal ini terbukti dari bebasnya para menteri dan pembantu presiden dalam membuat pernyataan terkait pandemi, yang tak jarang justru saling bertentangan.
Getirnya, ketidakompakan itu terjadi bukan hanya dalam persoalan komunikasi, melainkan juga dalam konteks kebijakan.
Untuk mengatasi hal tersebut, sudah seharusnya pemerintah memiliki pedoman baku dalam ranah komunikasi di tengah krisis. Barbara Reynolds dan Matthew Seeger sempat memaparkan sebuah model komunikasi publik di tengah krisis yang agaknya bisa diterapkan pemerintah. Mereka menyebut konsep komunikasi krisis tersebut sebagai Crisis and Emergency Risk Communication (CERC).
CERC memiliki filosofi dasar bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi harus secara lengkap memaparkan kondisi krisis dan risiko yang ada agar membantu publik membuat keputusan rasional. Komunikasi menjadi alat agar publik mengadopsi perilaku yang diharapkan untuk mengurangi risiko.
CERC memadukan strategi komunikasi risiko (risk communication) yang umum digunakan sektor pemerintah dalam keadaan darurat dan komunikasi krisis (crisis communication) yang digunakan sektor swasta untuk menghadapi krisis organisasi. Terdapat beberapa tahapan komunikasi berkelanjutan dalam model CERC, yakni tahap sebelum krisis (pre-crisis), awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution), dan evaluasi (evaluation).
Rencana vaksinasi masuk dalam kategori tahap krisis (maintenance). Di tahap ini pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui. Pemerintah perlu melakukannya dengan cara memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengoreksi rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan pasca krisis.
Strategi komunikasi CERC telah dijadikan pedoman strandar oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC) di Amerika Serikat (AS) saat menghadapi pandemi. Pada kasus wabah ebola di tahun 2015 lalu, CDC dianggap mampu mensinergikan lembaga-lembaga pemerintah dan menjadi otoritas tunggal untuk memberikan informasi kepada publik.
Berangkat dari sini, maka pernyataan Jokowi yang meminta para pembantunya untuk membenahi komunikasi publik untuk menyosialisasikan proses vaksinasi sangatlah relevan. Hal ini lantaran strategi komunikasi yang dibangun pemerintah dalam konteks pandemi selama ini nyatanya memang buruk.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kiranya harus memperbaiki strategi komunikasi terutama yang terkait dengan transparansi dan keterbukaan. Selain itu, pemerintah juga bisa mengoptimalisasi penggunaan media dengan tetap mengedepankan konsep Right Man in The Right Place.
Tim Gugus Tugas Covid- 19 yang berperan sebagai komunikator publik resmi di tingkat pusat dan daerah, seharusnya hanya dilakukan oleh ahli atau pihak yang berlatar belakang pengetahuan dan pengalaman di bidang kesehatan atau kedokteran dan mampu berkomunikasi kepada publik dengan komunikatif. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk memiliki standar baku dalam komunikasi publik agar kesalahan dalam polemik UU Ciptaker dan penanganan pandemi tak terulang dalam proses sosialisasi vaksinasi Covid-19.
Mengingat pentingnya proses vaksinasi untuk mengakhiri pandemi, memang sudah seharusnya pemerintah berhati-hati dalam mengkomunikasikan kebijakan tersebut agar tak terjadi mispersepsi di tengah-tengah masyarakat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.