Keputusan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel menuai kecaman karena dianggap sebagai pengkhianatan terhadap upaya kemerdekaan Palestina. Namun secara mengejutkan Arab Saudi selaku kekuatan utama di Semenanjung Arab hanya berkomentar diplomatis. Apakah makna dari sikap lunak Riyadh tersebut?
South Lawn, Gedung Putih, Washington D.C, menjadi saksi penandatanganan salah satu dokumen perjanjian paling bersejarah dalam geopolitik di Timur Tengah. Masing-masing perwakilan dari Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Israel dan Amerika Serikat (AS) secara resmi mengukuhkan proses normalisasi hubungan diplomatik yang dikenal dengan sebutan Abraham Accord.
Penggunaan nama Abraham atau Ibrahim dalam perjanjian tersebut seolah ingin memberi penekanan terhadap pola relasi antara umat Yahudi dan Islam. Selain itu, penggunaan nama tersebut juga dapat merujuk pada aspek historis bahwa orang-orang Arab dan Yahudi memang memiliki garis keturunan yang sama-sama berawal dari sosok Ibrahim.
Meski UEA dan Bahrain bukanlah negara Arab pertama yang menormalisasi hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, namun kesepakatan ini nyatanya cukup mendapat sambutan positif dari media-media AS. The Washington Post bahkan menjuluki perjanjian ini dengan istilah kemenangan diplomasi yang tak akan pernah diakui oleh para pembenci Trump.
Di sisi lain, tak sedikit pula yang justru skeptis terhadap perjanjian ini. Sebagian pihak bahkan menuding manuver ini hanyalah ‘gimmick’ untuk mendompleng popularitas Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu yang sedang marak dikritik terkait penanganan pandemi Covid-19, ataupun Trump yang akan kembali maju pada Pemilu AS November tahun ini.
Terlepas dari berbagai perdebatan yang ada, yang pasti perjanjian ini bukanlah kabar baik bagi Palestina. Sejak terbentuk pada 1948, sebagian besar negara Arab memang memboikot hubungan diplomatik dengan Israel hingga konflik dengan Palestina dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, menjadi sangat wajar jika langkah UEA dan Bahrain ini memantik emosi sejumlah negara Islam. Normalisasi ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap upaya perdamaian antara Israel-Palestina.
Arab Saudi sendiri selaku kekuatan utama di Jazirah Arab terlihat tak mau banyak berkomentarterhadap keputusan UEA dan Bahrain. Riyadh hanya bersikap diplomatis dengan menegaskan kembali komitmennya terhadap upaya perdamaian untuk Palestina.
Kendati begitu, beberapa pengamat meyakini bahwa langkah yang diambil UEA dan Bahrain sebenarnya didukung oleh Saudi. Mereka meyakini mustahil UEA dan Bahrain berani mengambil langkah yang cukup ekstrem tanpa mendapatkan lampu hijau dari Arab Saudi.
Lantas jika kecurigaan ini benar adanya, maka pertanyaannya, apa kira-kira motif tersembunyi Riyadh memberi restu terhadap normalisasi hubungan diplomatik tersebut?
Dilema Keamanan Saudi
Melunaknya sikap Arab Saudi terhadap kemesraan hubungan UEA-Bahrain dengan Israel tentu sedikit banyak akan memberikan implikasi terhadap peta politik di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan persepsi pemimpin pemerintahan terhadap sebuah situasi internasional dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri terhadap lingkungan eksternal.
Thomas M. Franck dan Edward Weisband dalam Foreign Policy by Congress menyebut cara dua negara saling melihat satu sama lain dan memandang persoalan eksternal seringkali menentukan cara mereka berinteraksi. Pilihan negara untuk menjalin kerja sama bilateral dan multilateral tergantung pada bagaimana cara negara menilai perubahan politik internasional yang sedang terjadi.
Pemikiran Franck dan Edward tersebut kiranya dapat menjawab mengapa UEA-Bahrain memutuskan untuk menormalisasi hubungannya dengan Israel. Langkah itu bisa dianggap sebagai respons atas perubahan politik internasional yang tengah terjadi.
Dalam konteks panggung politik dunia, khususnya Timur Tengah, dinamika hubungan antarnegara hampir dipastikan akan selalu bersinggungan dengan persoalan pertahanan dan keamanan. Hal ini dikarenakan tatanan sistem internasional memiliki corak yang cenderung bersifat anarki, di mana tiap-tiap negara membutuhkan instrumen kekuatan serta keamanan.
Kemudian untuk mendeskripsikan tentang dinamika keamanan tersebut, para pakar hubungan internasional kerap menggunakan istilah security dilemma, atau dilemma keamanan. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh pakar hubungan internasional AS, John H. Herz dalam bukunya yang berjudul Political Realism and Political Idealism.
Ia berpendapat bahwa dilema keamanan adalah sebuah gagasan struktural di mana upaya-upaya yang diambil oleh sebuah negara untuk menjaga keamanannya sendiri, terlepas dari apapun niatnya, cenderung memicu ketidaknyamanan bagi negara-negara lainnya, terutama negara yang berada di sekitarnya. Hal ini dikarenakan setiap negara akan memandang upaya tersebut sebagai tindakan defensif, sementara upaya yang sama yang diambil negara lain dipandang sebagai tindakan ofensif.
Dalam perkembangannya, dilema keamanan kerap kali memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena dalam panggung global. Fenomena tersebut terbentuk dari keadaan spiral mode (mode spiral) di mana terdapat sebuah kondisi negara yang kerap meningkatkan pertahanannya dalam segi kekuatan militer atau juga membentuk sebuah aliansi dengan negara lain.
Tindakan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi negara lain khususnya negara tetangganya, untuk juga melakukan tindakan serupa. Hal tersebut dapat berimplikasi pada peningkatan ketegangan yang pada akhirnya akan menciptakan situasi konflik, terutama pada suatu kawasan internasional.
Berangkat dari pemikiran tersebut, kiranya dijadikan pembenaran terhadap kecurigaan yang menyebutkan bahwa Saudi sebenarnya memiliki kepentingan pragmatis dalam normalisasi hubungan UEA-Bahrain dengan Israel. Kepentingan ini tentu berkaitan dengan keinginan Saudi untuk membendung kekuatan Iran di kawasan teluk.
Kepentingan Saudi dalam memerangi Iran tersebut memaksanya untuk membentuk sebuah aliansi dengan negara lain, dalam hal ini AS dan Israel meski dilakukan secara ‘siri’ melalui UEA dan Bahrain. Hal ini kemudian memicu reaksi keras dari Palestina yang merasa dikhianati oleh negara-negara Arab.
Singkatnya, dapat dikatakan posisi Saudi saat ini berada dalam dilema keamanan, antara kepentigan memerangi Iran dan membela kepentingan Palestina. Langkah yang diambil Saudi untuk salah satu kepentingan tersebut akan menimbulkan reaksi negatif pada kepentingan yang lainnya.
Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia dalam dinamika teranyar geopolitik di Timur Tengah ini?
Sama-sama Dilema
Meskipun tak memiliki hubungan diplomatik secara resmi, bukan berarti Arab Saudi tak menjalin kerja sama apapun dengan Israel. Faktanya, negeri Petrodolar itu memang menjalin kemitraan strategis di beberapa sektor dengan Tel Aviv, termasuk dalam sektor militer dan intelijen.
Sama seperti kemitraan senyapnya dengan Israel, Saudi tidak bisa begitu saja memamerkan dukungannya terhadap normalisasi hubungan UEA-Bahrain dengan Tel Aviv. Abdus Sattar Ghazali dalam tulisannya yang berjudul Why Saudi Arabia Declines Relations with Israel? Telah menjelaskan secara gamblang mengapa posisi Saudi dalam perjanjian ini terkesan ‘malu-malu kucing’.
Ia mengatakan gelar Saudi sebagai ‘Penjaga Dua Masjid Suci’ di Makkah dan Madinah, membuatnya tidak dapat mempertontonkan dukungannya secara penuh karena berpotensi membuat marah jutaan orang Arab dan Muslim yang menuntut keadilan bagi Palestina. Selain itu, fakta bahwa Arab Saudi merupakan ketua 57 anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga membuat Saudi tak bisa begitu leluasa bersikap.
Posisi Saudi tersebut sebenarnya sudah cukup menggambarkan posisi Indonesia dalam persoalan ini. Sama seperti Saudi, meski Indonesia secara resmi tak memiliki hubungan diplomatik, namun tak bisa dinafikkan bahwa pemerintah memang menjalin kerja sama dengan Israel sejak bertahun-tahun lalu.
Kerja sama ‘senyap’ Indonesia degan Israel dimulai di era Presiden Soeharto. Kala itu, Indonesia disebut-sebut membeli lebih dari 30 pesawat tempur Skyhawk dari Israel yang dilakukan secara rahasia melalui operasi Alpha. Para pilot Indonesia juga dilatih di negara itu oleh instruktur Israel.
Setelah Soeharto lengser, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahkan berencana membawa hubungan Indonesia-Israel selangkah lebih maju. Meski tidak secara langsung mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik, namun Gus Dur saat itu berkeinginan untuk membuka beberapa kanal perdagangan dengan Israel. Namun, gelombang penolakan atas rencana tersebut segera membesar.
Setelah itu, kerja sama Indonesia-Israel nyatanya masih terus belanjut. Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), hubungan ini terus dipertahankan dalam ruang gelap.
Terlepas dari faktor sejarah, hubungan Indonesia-Israel sebenarnya berpotensi menjadi hubungan yang produktif jika kedua negara sepakat membuka hubungan diplomatik, terutama dalam sektor pertahanan dan keamanan. Apalagi Israel merupakan salah satu negara yang memiliki teknologi pertahanan terkuat di dunia.
Akan tetapi, tampaknya konflik Israel-Palestina tentunya masih memiliki pengaruh yang besar terhadap hubungan Israel dan Indonesia. Tak jauh berbeda dengan Saudi, predikat Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar juga menjadi tembok yang menghalangi terjalinnya hubungan antara Jakarta dan Tel Aviv.
Dalam konteks geopolitik teranyar, singkatnya posisi Indonesia dan Arab Saudi-pun tak terlalu berbeda, sama-sama berada dalam dilema. Hal ini tampaknya menjadi alasan hubungan Indonesia dan Israel tak akan mengalami banyak kemajuan dalam waktu dekat.
Pada akhirnya, tak dapat dipungkiri, perjanjian Abraham Accord tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap geopolitik di Timur Tengah. Apalagi Presiden AS Donald Trump mengklaim masih ada lima negara lagi yang akan mengikuti jejak UEA-Bahrain. Apakah hal itu benar-benar akan terjadi? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.