Tidak lama setelah tim nasional (timnas) Indonesia kalah dari timnas Thailand pada Final Piala ASEAN Football Federation (AFF) leg 1, situs Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) diretas. Peretasnya menyatakan rasa kekecewaan pada PSSI. Fenomena peretasan “kegundahan hati” ini sendiri bukan yang pertama kalinya terjadi di Indonesia, bahkan saat ini semakin marak. Apa penyebabnya?
Indonesia saat ini sepertinya sedang berkabung, lantaran tim nasional (timnas) kesayangan kita harus menelan kekalahan dalam laga final Piala ASEAN Football Federation (AFF) melawan timnas Thailand, dengan skor 0 banding 4 pada leg 1.
Akan tetapi, ada sebuah kejadian menarik tidak lama setelah pertandingan leg 1 selesai. Tiba-tiba saja situs Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dikabarkan diretas oleh oknum peretas yang menamakan dirinya “Anon 7”.
Aksi peretasan tersebut menyerang salah satu artikel yang berjudul Ayo…Tetap Semangat di Laga Kedua. Artikel yang tadinya membahas tentang pertandingan leg ke-2, diganti menjadi tampilan berlatar belakang hitam dengan poster Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, yang menampilkan gambar dirinya bersama foto timnas Indonesia, yang sempat ia unggah di media sosial. Gambar itu diberi tanda silang tepat di wajah sang ketua umum dan secara otomatis diputar lagu berjudul Garuda Di Dadaku karya kelompok musik, Netral.
Selain itu, peretas juga meninggalkan pesan: “Indonesia mainnya bapuk apa karena Ketum PSSI masuk kamar ganti pemain? Yok Indonesia bisa yok, masih ada leg 2, semangat!”
Sejumlah media kemudian menduga peretasan ini terjadi selain akibat kekecawaan kekalahan pada Thailand, tetapi juga karena ketidaksukaan publik pada perilaku Iriawan yang akhir-akhir ini menuai kontroversi. Seperti poster yang menampilkan foto dirinya lebih besar dari foto timnas, lalu unggahan video Iriawan yang berencana masuk ke ruang ganti pemain pada final Piala AFF 2020.
Banyak yang menilai Iriawan bertindak tidak tepat dan cenderung mempolitisasi timnas Indonesia.
Namun, fenomena peretasan yang berupaya menyalurkan kegundahan pribadi ini tidak hanya terjadi pada PSSI, faktanya beberapa kali Indonesia mendapat serangan peretasan jenis ini. Pada tahun 2020 contohnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) juga pernah diretas oleh oknum yang diduga seorang siswa SMK, yang menginginkan agar sistem pembelajaran tatap muka kembali dilakukan.
Lantas, mengapa peretasan yang bersifat “aktivisme” ini semakin marak terjadi di Indonesia?
Baca juga: Mengapa BIN Jadi Target Peretasan?
Era Aktivisme Digital
Sebelum kita telisik lebih lanjut, kita perlu memahami terlebih dahulu bentuk-bentuk dari peretasan.
Perusahaan keamanan siber, Mitnick Security dalam artikel What Are the Different Types of Hackers?, menyebutkan ada tiga kategori utama peretas. Pertama adalah black hat hackers, ini adalah kategori yang menjadi cerminan pandangan buruk khalayak tentang komplotan peretas.
Mereka adalah ahli digital yang menggunakan kemampuannya untuk tujuan-tujuan buruk. Mereka meretas tanpa izin, dan tujuan mereka biasanya untuk menyebabkan kerusakan sistem digital suatu lembaga dengan mencuri atau menghancurkan data, menghentikan operasi teknologi, atau tindakan kejam lainnya.
Kedua, white hat hackers. Kategori ini adalah kebalikan dari black hat, mereka merupakan ahli teknologi informasi (TI) yang menggunakan pengetahuan mereka tentang sistem digital untuk “kebaikan”. Seringkali, peretas jenis ini sering dijadikan sebagai penguji penetrasi suatu sistem siber dan pakar keamanan siber, dengan tujuan membantu suatu lembaga menemukan kerentanan dalam sistem mereka dan membangun pertahanan siber yang lebih kuat.
Ketiga, adalah grey hat hackers, yang merupakan kategori peretas atau pakar keamanan siber yang terkadang melanggar hukum atau standar etika umum, tetapi biasanya tidak memiliki niat jahat seperti black hat hackers. Peretas-peretas ini sering disebut juga sebagai hacktivist, gabungan kata hacker dan activist, karena umumnya mereka menerobos sistem pertahanan digital untuk menyampaikan sebuah pesan yang muncul dari motivasi sosial, ekonomi, maupun politik.
Dari ketiga kategori ini, oknum yang menyerang situs PSSI bisa kita masukan ke kategori grey hat hacker, atau hacktivist, karena yang mereka hanya ingin suaranya dapat tersampaikan ke pihak PSSI dan masyarakat umum. Sebuah bentuk aktivisme digital.
Andrew R. Schrock dalam tulisannya Civic Hacking as Data Activism and Advocacy: A History from Publicity to Open Government Data, mengatakan aktivisme digital muncul karena perkembangan teknologi telah menjadi alat untuk memaksakan transparansi. Keterbukaan informasi yang semakin hari semakin mudah digali oleh teknologi dimanfaatkan sebagai celah partisipasi politik yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Peretasan kemudian juga menjadi bentuk aktivisme dan advokasi era digital.
Orang-orang ini umumnya mengklaim beroperasi dengan niat altruistik, yang berarti tidak ingin menyebabkan kerusakan berbahaya, melainkan hanya ingin menarik perhatian publik pada suatu peristiwa penting di mata para hacktivist.
Schrock pun mengatakan, hacktivist sesungguhnya adalah realis utopis yang mengharapkan kemajuan teknologi dapat menjadi pembawa transformasi dunia politik. Dalam prosesnya, para peretas aktivis ini telah menjadi pionir dari pelanggaran batas-batas partisipasi politik konvensional.
Angan-angan utopia, sebuah dunia ideal yang seharusnya muncul dengan kekuatan teknologi menjadi pendorong yang kuat bagi para hacktivist melakukan aksinya. Sejarawan budaya dari Universitas Stanford, Joseph J. Corn, dalam bukunya Imagining Tomorrow: History, Technology, and the American Future, menjelaskan perkembangan teknologi yang pesat telah dianggap sebagai sarana untuk mencapai bentuk masyarakat yang ‘sempurna’.
Para utopis ini yakin bahwa kemajuan teknologi memberikan solusi untuk berbagai masalah kronis di masyarakat, seperti ketidak adilan, kelaparan, penyakit, perang, dan bahkan isu-isu sosial mendasar seperti tuntutan kebebasan dan hak berpendapat.
Melihat teknologi sebagai penyelamat kehidupan juga sempat diungkapkan oleh pemikir Jerman, Karl Marx. Ia percaya bahwa perkembangan teknologi adalah “tangan kanan” dan demokrasi adalah “tangan kiri” dari apa yang disebutnya tentang perpindahan dari ranah kebutuhan ke ranah kebebasan. Dia berpendapat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan membantu mendelegitimasi aturan dan kekuasaan dari kapitalis.
Lalu, bagaimana kita menyikapi fenomena baru ini?
Baca juga: Siapkah Jokowi Perang Siber?
Perlu Ada Pengkajian Mendalam?
Sejatinya, hacktivisme seperti yang terjadi pada PSSI kemarin merupakan perwujudan naluri manusia yang tidak bisa dihindari. Plato dalam bukunya Republic menjelaskan bahwa sudah menjadi bagian dari jiwa seorang manusia untuk merasa diakui dan didengarkan, ini ia sebut sebagai thumos atau semangat.
Baca juga: Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi?
Oleh karena itu, setiap individu ataupun kelompok sosial akan selalu berusaha untuk menyuarakan identitas ataupun kepentingannya agar mendapatkan pengakuan. Tetapi dalam pengaplikasiannya, sesuai perkembangan zaman, hasrat untuk dapat diakui akan tersalurkan melalui cara-cara yang mungkin akan kita anggap melanggar aturan, contohnya seperti aktivisme peretasan ini.
Jonathan Potter, dkk dalam tulisan Hacktivism, Democratic or Destructive? Mengatakan, karena internet adalah platform yang sangat luas, mudah diakses dan sulit untuk disensor, ini telah menjadi saluran alami untuk menyampaikan pesan kepada khalayak yang lebih luas. Lebih jauh lagi, karena internet dapat dilihat sebagai “level playing field” atau arena bermain yang adil bagi semua orang di dalamnya, internet adalah platform yang ideal untuk wacana demokrasi.
Namun, mereka yang melihat hacktivisme sebagai potensi pembangkangan sipil mengakui bahwa peretasan aktivisme juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi, ataupun sosial bagi para korban, karena mereka yang menjadi target menjadi bahan bulan-bulanan publik.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa aktivisme penyaluran suara meskipun adalah aksi yang ilegal, mereka tidak menimbulkan konsekuensi yang setara dengan peretasan black hat.
Oleh karena itu, sesungguhnya peretasan yang terjadi pada PSSI adalah sebuah cubitan kecil tentang penanganan tindakan peretasan pada umumnya di Indonesia. Tentu, ini terkait dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sampai saat ini belum tercantum pendefinisian khusus dari jenis-jenis peretas.
Peretasan aktivisme digital memang melanggar hukum, tetapi apa yang mereka lakukan tidak bisa disamakan dengan tindakan peretasan black hat. Hingga sekarang, belum ada pengecualian bagi peretas ilegal, meskipun aktivitasnya justru membantu suatu lembaga. Sekalipun pelakunya memenuhi unsur peretasan beretika, ia tetap berisiko mendapatkan ancaman hukuman bila pihak yang diretas tidak senang dengan tindakan peretasan tersebut.
Hal yang dapat diharapkan saat ini adalah bagaimana pihak berwajib dapat menempatkan diskresinya secara proporsional, apalagi bila tidak ditemukan kerugian, bahkan justru membantu pihak yang diretas. Peretas tersebut justru malah dapat dibina untuk membantu negara memperkuat pertahanan siber.
Di sisi lain, apa yang dilakukan hacktivist seperti Anon 7 berpotensi besar dapat terjadi lagi oleh oknum-oknum peretas lainnya, karena kembali lagi, ini adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi dan demokrasi. Jika negara ingin benar-benar mengatasi ini, aturan mengenai aktivitas digital perlu dipertajam agar upaya yang bisa dilakukan tidak hanya penanggulangan saja, tetapi juga bisa mencegah. (D74)
Baca juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?