Seiring perkembangan teknologi, taktik peperangan semakin kompleks. Tiongkok baru-baru ini disebutkan mengembangkan rudal yang bisa diselundupkan dan diluncurkan dalam kargo kapal kontainer. Mereka juga diketahui kembangkan teknologi lain yang dapat mengintegrasikan fungsi sipil dan militer. Mengapa ini dilakukan Tiongkok?
Kalau kalian pernah nonton film Troy yang diperankan aktor Brad Pitt tentang perang antara Yunani dan kota Troy, mungkin kalian tidak asing dengan istilah “Kuda Troya”. Di film tersebut, Yunani berpura-pura kalah lalu memberikan sebuah patung kuda kayu besar sebagai persembahan perdamaian ke Troy.
Patung kuda tersebut sesungguhnya hanyalah tipu daya, karena di dalamnya ternyata diselundupkan banyak pasukan Yunani yang pada malam hari keluar untuk kemudian membukakan gerbang kota Troy agar pasukan Yunani lainnya bisa masuk, dan menghancurkan kota Troy dari dalam.
Secara metaforis, istilah “Kuda Troya” kini mengacu pada strategi tipu daya yang membuat sasaran tertipu sehingga mengundang musuhnya ke tempat yang seharusnya terlindungi dari ancaman.
Istilah Kuda Troya beberapa waktu ke belakang ini dilekatkan dengan Tiongkok karena dilaporkan telah mengembangkan sistem rudal yang mampu diselundupkan ke dalam kontainer yang dibawa kapal sipil, dan diluncurkan di wilayah domestik negara targetnya. Sistem rudal ini bernama YJ-18C. Menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS), ini adalah rudal supersonik yang memiliki daya jangkau sampai 540 km.
Rudal ini disebutkan mampu membawa hulu ledak eksplosif dan antiradiasi. Antiradiasi adalah hulu ledak yang didesain untuk dapat mengganggu sinyal radio, kinerja alat elektronik, dan kelancaran komunikasi target serangannya.
Pengamat militer Asia dari International Assessment and Strategy Center, Rick Fish mengatakan, teknologi rudal seperti YJ-18C membuat Tiongkok kapan saja mampu mengubah kapal sipil menjadi armada militer. Negara akan sangat kesulitan dalam membedakan mana kapal yang disusupi rudal dan mana yang tidak, karena tidak dapat dibedakan dari kargo lainnya, kecuali memang diperiksa satu-satu.
Namun, ini bukan pertama kalinya Tiongkok mengembangkan teknologi yang sifatnya “abu-abu”. Sejumlah pengamat dan negara mulai khawatir dengan pengembangan teknologi Tiongkok di berbagai bidang seperti siber dan teknologi roket, yang berpotensi digunakan untuk kepentingan militer.
Terlebih lagi, Tiongkok memiliki strategi nasional yang bernama Military-Civil Fusion (MCF). Strategi ini secara sistematis mengatur ulang perusahaan sains dan teknologi Tiongkok untuk memastikan setiap inovasi baru secara bersamaan dapat memajukan pembangunan ekonomi dan militer.
Lantas, mengapa Tiongkok bersikukuh mengintegrasikan fungsi sipil dan militer?
Taktik Cerdik Atau Licik?
Pengembangan teknologi yang dapat mengintegrasikan sipil dan militer dalam pandangan politik internasional memiliki istilahnya tersendiri, yaitu dual-use technology atau teknologi penggunaan ganda. European Commission mendefinisikan dual-use technology sebagai barang apapun yang dapat digunakan baik untuk tujuan sipil maupun militer.
Dual-use technology juga dapat merujuk pada penggunaan alat yang dapat memenuhi lebih dari satu tujuan. Hal ini mencakup beberapa teknologi canggih yang tujuan awalnya adalah menguntungkan kepentingan komersial sipil, tetapi juga dapat digunakan untuk tujuan militer. Dalam konteks Tiongkok, adalah teknologi siber dan penggunaan kapal komersial yang pada awalnya mungkin berfungsi sebagai alat sipil, tetapi dengan diselundupkannya rudal YJ-18, mampu menjadi alat militer.
Permasalahan utama dari dual-use technology adalah karena dapat mengaburkan alat-alat teknologi apa saja yang sesungguhnya berbahaya bagi keamanan negara, dan dampaknya juga bisa membuat suatu negara salah sasaran dalam menentukan objek serangannya. Sederhananya, dengan memanfaatkan fungsi penggunaan ganda ini, intensi militer dapat “berkamuflase” di balik perangkat-perangkat sipil.
Dalam pandangan hukum internasional, aksi seperti ini berpotensi jatuh kepada istilah yang disebut perfidy atau kedurhakaan. Konferensi Jenewa mendefinisikan perfidy sebagai tindakan yang berniat mencederai kepercayaan negara-negara yang terbentuk berdasarkan payung rezim internasional.
Rezim internasional yang dimaksud adalah kepatuhan negara-negara pada hukum internasional yang diambil dari Konferensi Den Haag, yang salah satu bagiannya menyatakan bahwa kapal sipil boleh digunakan untuk perang, asalkan terlebih dahulu mengonversi kapal sipil tersebut sebagai kapal perang, tidak boleh dengan tiba-tiba merubahnya menjadi senjata perang di tengah pertempuran.
Namun, Tiongkok sepertinya justru memang berniat mengembangkan teknologinya ke arah ini, karena rudal YJ-18 hanya salah satu dari banyak dual-use technology Tiongkok. Meia Nouwens dan Helena Legarda dalam tulisannya China’s Pursuit of Advanced Dual-Use Technologies menilai, dalam upaya untuk mendorong Tiongkok menjadi negara yang dominan pada tahun 2049, sesuai amanat strategi nasional MCF, Presiden Xi Jinping menggunakan kekuatannya sebagai pemutus keputusan paling tinggi untuk mendorong perkembangan teknologi Tiongkok ke arah yang mampu menjawab kepentingan ekonomi dan sosial, dan di saat bersamaan juga dijadikan solusi modernisasi militer.
Nouwens dan Legarda juga mengatakan, tindakan seperti ini perlu dilakukan Tiongkok agar dapat mengejar ketertinggalan militer dan teknologinya dari negara-negara Barat. Pemerintah Tiongkok dinilai tidak punya waktu untuk tidak memanfaatkan segala potensi negaranya demi kemajuan. Tiongkok telah menetapkan rencana dan target yang jelas, mereka mendorong inovasi domestik melalui keringanan pajak, subsidi, dan cara lain, dan mereka juga telah menerapkan kebijakan proteksionis untuk memajukan industri domestik, serta internasional Tiongkok.
Di sisi lain, apa yang dilakukan Tiongkok bertepatan dengan pendeskripsian perang asimetris sebagai tren abad ke-21, oleh pengamat pertahanan dari Universitas George Washington, Robert R. Tomes. Dalam tulisannya yang berjudul Relearning Counterinsurgency Warfare, Tomes mendefinisikan perang asimetris sebagai sebuah konflik antara dua pihak yang sangat berbeda kepemilikan sumber daya dan kapabilitas perjuangannya.
Perbedaan tersebut kemudian melahirkan strategi dan taktik perang yang non-konvensional. Pejuang yang lebih lemah akan berupaya untuk menggunakan strategi yang tidak wajar dalam rangka mengimbangi kekurangan yang dimilikinya, dari segi kualitas ataupun kuantitas.
Lebih lanjut, Tomes mengatakan, pengimbangan yang sukses hanya dapat dilakukan jika negara yang tertinggal mengenali adanya saling ketergantungan antara faktor ekonomi, politik, psikologis, dan militer. Mereka akan membuat semacam sistem komando terpadu yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan sumber daya dari berbagai faktor yang disebutkan tadi secara efisien.
Kembali ke konteks Tiongkok, ini tergambarkan dengan upayanya untuk mengejar dominasi Amerika Serikat (AS) tidak hanya dalam aspek militer, tetapi di saat yang bersamaan juga dalam aspek ekonomi dan teknologi sipil.
Lantas pertanyaan besarnya, kenapa hanya Tiongkok yang terlihat berhasil dalam hal ini?
Keunggulan Negara Otoriter?
Untuk melihat mengapa Tiongkok bisa dengan lancarnya mengaplikasikan dual-use technology untuk kepentingan negaranya, kita juga perlu melihat alasan kenapa Tiongkok bisa dengan cepatnya menjadi negara pesaing AS. Kembali mengutip Nouwens dan Legarda, Tiongkok bisa menjadi pesaing negara Barat dengan cepat karena sistem yang dianut di negaranya, yaitu one-party system atau sistem satu partai.
Mereka berpendapat, dalam aspek pengembangan teknologi, sistem satu partai Tiongkok menjadi sebuah keunggulan dibanding para negara-negara pesaingnya. Sistem ini memungkinkan Tiongkok untuk mengadopsi pendekatan total dari pemerintah untuk menutup kesenjangan teknologi dengan Barat, di bidang-bidang seperti AI, teknologi roket, dan antariksa, melalui proses top-down yang sangat terorganisir. Kemampuan memobilisasi masyarakat dan industrinya untuk mengejar tujuan kepentingan nasional adalah sesuatu yang sulit dilakukan di negara demokrasi seperti AS.
Beberapa dari dual-use technology ini mungkin tidak bisa langsung dioperasionalkan dalam konteks militer. Namun, sifat penggunaan ganda yang inheren dari semua teknologi ini mengartikan, bahkan jika mereka ternyata tidak banyak berguna untuk tujuan militer, mereka tetap akan memiliki kegunaan sipil lainnya yang akan memiliki dampak besar bagi kehidupan masyarakat Tiongkok dan dunia. Singkatnya, apa yang dilakukan Tiongkok adalah pertaruhan win-win solution, Tiongkok pada akhirnya akan mendapat keuntungan dari investasinya.
Hal yang kemudian perlu diwaspadai adalah, Tiongkok telah menjadi bukti bahwa di masa depan, perang barangkali tidak akan terjadi antara militer dan militer, tetapi percampuran antara sipil dan militer. Nathan W. Toronto dalam tulisannya Military Learnings and Evolutions in Warfare in the Modern Era, mengatakan sejak akhir Perang Dunia 2, dengan adanya perkembangan teknologi, batas-batas medan perang telah semakin bercampur ke ruang sipil, sehingga pemahaman umum tentang perang konvensional tidak lagi bisa diandalkan untuk mencegah konflik di era modern.
Oleh karena itu, berangkat dari pemahaman Toronto, pendekatan yang sekiranya tepat untuk mengatasi agresi militer baru dari Tiongkok ini tidak bisa hanya dilakukan oleh aparat pertahanan negara saja, tetapi juga butuh adanya sinkronisasi yang mendalam dengan bidang teknologi, sains, dan ekonomi, agar bisa mengidentifikasi potensi-potensi ancaman apa saja yang sesungguhnya tertanam di dalam barang asing yang melintas atau berhenti di negara kita.
Jangan sampai kita kecolongan, Kuda Troya modern barangkali tidak akan berbentuk seperti patung kuda layaknya zaman dulu, tetapi bisa berupa kapal dagang, aplikasi teknologi, dan perangkat lunak lainnya. (D74)