Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melarang ekspor batu bara pada Januari 2022 demi menjaga kebutuhan pasokan energi dalam negeri. Namun, sejumlah negara – seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel) – melayangkan protes. Bisakah Jokowi “taklukkan” Jepang?
Siapa yang tidak kenal dengan permainan papan (board game) yang dikenal sebagai Monopoly atau Monopoli? Hampir setiap orang setidaknya pernah sekali berpartisipasi dalam board games seperti ini.
Sebenarnya, permainan papan satu ini hampir mirip dengan jalannya perdagangan di dunia nyata. Pemain harus melakukan sejumlah kegiatan – membeli dan menjual properti seperti rumah dan hotel – dengan tujuan untuk membuat bangkrut pemain-pemain lawan.
Mungkin, di dunia nyata, upaya untuk “membangkrutkan” lawan ini disebut sebagai kompetisi – yang mana keuntungan optimal perlu dikejar dengan cara-cara yang ada. Namun, tentunya, tidak semua perdagangan harus menihilkan pihak-pihak lain.
Dalam perdagangan antarnegara, misalnya, terdapat perbedaan komoditas yang diproduksi setiap negara. Dengan perbedaan ini, negara-negara memiliki keuntungan tersendiri bila saling menjual dan membeli barang dan jasa yang mereka miliki.
Mungkin, contohnya adalah kesepakatan pembelian jet tempur Sukhoi antara Rusia dan Indonesia yang kabarnya terancam batal. Meskipun masih belum jelas kelanjutannya, kesepakatan ini sebenarnya didasarkan pada perolehan keuntungan bagi masing-masing pihak (relative gains) yang mana Indonesia memperoleh jet tempur sedangkan Rusia mendapatkan sejumlah komoditas pangan.
Namun, tentunya, faktor keuntungan komparatif antarnegara bukanlah penentu utama dalam perdagangan internasional. Setiap negara pasti akan mementingkan kebutuhan masing-masing – entah itu kepentingan politik atau kepentingan ekonominya sendiri.
Contoh paling nyata adalah ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk melarang ekspor batu bara pada bulan Januari 2022. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pun menyebutkan kebijakan ini hanya bersifat temporer untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi batu bara bagi pembangkit listrik.
Bila dipikirkan, menjadi masuk akal apabila kebutuhan sendiri perlu didahulukan. Namun, tentu saja, keputusan seperti ini bukanlah tanpa konsekuensi.
Baca Juga: Siasat Luhut ‘Lenyapkan’ Batu Bara
Sejumlah negara – seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Filipina – telah melayangkan protes. Pada intinya, mereka merasa keberatan dengan keputusan pelarangan ekspor tersebut karena dapat mengancam pasokan batu bara yang dibutuhkan oleh ekonomi mereka.
Protes negara-negara ini sebenarnya dapat dimaknai lain melalui kacamata politik internasional. Pasalnya, bukan tidak mungkin kepentingan masing-masing negara turut campur dalam perdagangan komoditas seperti batu bara ini di tingkat internasional.
Lantas, mengapa pemerintahan Jokowi memutuskan untuk melarang ekpsor batu bara bila keputusan tersebut bisa mengancam kebutuhan ekonomi negara-negara lain? Kondisi internasional seperti apa yang mendasari?
Kembalinya Merkantilisme?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kondisi pasar dan perdagangan internasional yang dianggap ideal adalah di mana setiap negara bisa melakukan kegiatan jual beli antara satu sama lain dengan keuntungan maksimum. Namun, faktanya, unsur-unsur lain turut mempengaruhi, seperti faktor politik.
Mungkin, contoh nyata dari masuknya kepentingan politik dalam perdagangan internasional adalah perang dagang yang sempat meletus antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 2018 silam. Salah satu alasan Presiden AS Donald Trump kala itu adalah agar perusahaan-perusahaan negeri Paman Sam dapat bersaing dengan lebih adil (fair).
Apa yang dilakukan pemerintahan Trump kala itu bisa diamati dengan salah satu pendekatan dalam teori-teori ekonomi politik internasional (EPI), yakni merkantilisme. Mengacu pada tulisan karya Laura LaHaye yang berjudul Mercantilism, merkantilisme merupakan pendekatan ekonomi nasionalisme yang bertujuan untuk membangun negara yang lebih kaya dan lebih kuat.
Bagaimana caranya? Biasanya, negara-negara akan membuat sejumlah instrumen kebijakan perdagangan – seperti penerapan tarif dan kuota dalam ekspor dan/atau impor. Apapun cara yang digunakan, negara seperti ini ingin memperoleh posisi yang lebih menguntungkan (advantage) dalam neraca perdagangannya.
Pendekatan ekonomi seperti ini banyak digunakan pada abad ke-16 hingga abad ke-18 di Eropa karena negara-negara saat itu banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dagang seperti East India Company (EIC) dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Buruknya adalah, bila sengketa dagang terjadi, konflik bersenjata dan perang malah turut membara.
Baca Juga: Di Balik Jokowi dan Pengusaha Batu Bara
Era merkantilisme sebenarnya telah berakhir dengan berkembangnya konsep perdagangan bebas (free trade) ala liberalisme. Rezim internasional yang didasarkan pada perdagangan tanpa batas dan liberalisasi pasar ini pun semakin berkembang setelah Perang Dunia II berakhir – dengan kehadiran General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 dan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995.
Bukan tidak mungkin, rezim perdagangan bebas ini kini mulai meluruh. Edward Alden dalam tulisannya yang berjudul “Free Trade Is Dead. Risky ‘Managed Trade’ Is Here.” di Foreign Policy menjelaskan bahwa rezim ini telah berakhir dengan adanya berbagai ancaman keamanan baru, seperti ancaman Tiongkok terhadap AS dan perubahan iklim.
Belum lagi, WTO kini dianggap telah melemah dengan hilangnya hegemoni utama yang bisa memimpin rezim ini – akibat kebijakan-kebijakan nasionalis Trump di AS dan meningkatnya persaingan negara itu dengan Tiongkok. WTO yang biasanya mengatur penyelesaian sengketa pun semakin tidak efektif.
Dengan berubahnya rezim perdagangan kini, lantas, bagaimanakah pengaruhnya terhadap Indonesia dalam panggung politik internasional? Mungkinkah ini saatnya Indonesia mengambil kesempatan demi pemenuhan kebutuhannya sendiri?
Bisa “Taklukkan” Jepang?
Pemerintahan Jokowi bisa saja dianggap mendukung sejumlah nilai dalam perdagangan bebas – seperti dengan menerima investasi yang menguntungkan dari negara mana pun. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Jokowi juga menerapkan sejumlah kebijakan proteksionis.
Pelarangan ekspor bijih nikel pada awal tahun 2020 lalu, misalnya, merupakan upaya pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan ambisi perekonomiannya, yakni hilirisasi. Dengan hilirisasi nikel, diharapkan Indonesia mendapatkan keuntungan lebih bagi negaranya sendiri dengan menjual produk jadi dari nikel, seperti baterai litium untuk kendaraan bertenaga listrik.
Selain nikel, pemerintahan Jokowi juga baru-baru ini mencanangkan pelarangan ekspor batu bara pada bulan Januari 2022 – meski kini telah diizinkan kembali. Alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik PLN.
Kebijakan ini akhirnya langsung diprotes oleh sejumlah negara. Salah satunya adalah Jepang yang menganggap batu bara Indonesia sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan aktivitas ekonominya.
Baca Juga: Mampu Indonesia Lepas dari Batu Bara?
Konsekuensi ini menarik untuk diamati. Pasalnya, reaksi Jepang, Korsel, dan Filipina menunjukkan bahwa negara-negara tersebut secara tidak langsung bergantung dengan kehadiran Indonesia.
Menariknya, batu bara sebagai sumber energi ini menjadi faktor penting dalam politik internasional – khususnya bila diamati dari kacamata realisme. Giedrius Česnakas dalam tulisanya yang berjudul Energy Resources in Foreign Policy menjelaskan bahwa sumber energi menjadi salah satu jenis kekuatan keras (hard power) sebuah negara dalam menjalankan politik luar negeri.
Bukan tidak mungkin, posisi Indonesia sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia – yakni sebesar 455 juta ton (2019) – memberikan negara kepulauan ini hard power yang bisa digunakan dalam bermanuver di panggung politik dunia. Pasalnya, bagaimana pun juga, dalam dunia politik yang anarki ini, Indonesia perlu menghalau pengaruh-pengaruh asing yang memiliki kepentingan tertentu.
Jepang, misalnya, dinilai memiliki dominasi teknologi terhadap Indonesia – khususnya dunia otomotif. Mungkin, inilah mengapa Jepang menjadi salah satu negara yang bereaksi keras ketika pemerintahan Jokowi ingin mengembangkan kendaraan bertenaga listrik yang disebut-sebut menjadi pesaing utama bagi kendaraan berbahan bakar fosil – yang mana pasarnya di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang.
Selain itu, pemerintahan Jokowi bisa saja menggunakan kebijakan dagang ini sebagai daya tawar terhadap Jepang. Salah satunya adalah soal kereta cepat Jakarta-Surabaya yang akan dibantu pembangunannya oleh negara tersebut.
Namun, silang pendapat dikabarkan terjadi karena pemerintahan Jokowi menginginkan agar jalur kereta cepat tersebut dapat digabungkan dengan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung yang digarap oleh konsorsium Indonesia-Tiongkok. Padahal, Tiongkok sendiri merupakan rival Jepang saat menawarkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Lagipula, seperti yang dijelaskan oleh Peter van der Wint dalam tulisannya yang berjudul Bargaining in International Relations, kekuatan fisik dan sumber seperti ini bisa menjadi sejumlah determinan dalam daya tawar (bargaining power). Meski begitu, itu semua kembali pada pertimbangan dan kepentingan pemerintah Indonesia sendiri dalam menghadapi Jepang – entah itu kepentingan dagang, bisnis, atau politik.
Seperti permainan Monopoli yang disebutkan di awal, tujuan pemain dalam gim tersebut adalah untuk menguntungkan diri sendiri dan menghabisi para lawan. Meski begitu, dunia politik internasional tidaklah sesederhana itu dengan banyaknya lapisan kepentingan yang ada. Bukan begitu? (A43)
Baca Juga: Jokowi dan Populisme Batu Bara
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.